SELAMAT DATANG DI website SEKSI URUSAN AGAMA ISLAM KEMENTERIAN AGAMA LOMBOK BARAT, ... SELAMAT MENIKMATI…………

Senin, 16 November 2009

SOSIALISASI SERTIFIKASI PRODAK HALAL




"Halalnya suatu prodak makanan akan membuat para konsumen merasa aman untuk mengkonsumsinya" sebagian ini sambutan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Lombok Barat (Drs.H.Muslim, M.Ag) pada acara Sosialisasi Sertifikasi Prodak Halal yang dirangkaikan dengan Pembinaan Kemitraan Umat dan Dialog Pimpinan Umat Beragama sekaligus membuka secara resmi yang bertempat di Aula Kantor Departemen Agama Kabupaten Lombok Barat Girimenang Gerung pada tanggal 16 Nopember 2009.

Hadir pada acara tersebut antara lain semua Kepala KUA Kecamatan se Kabupaten Lombok Barat, Pimpinan Pemuka Agama Islam (Drs.H.Anang Zainuddin) Kristen Protestan (Dimon Sianturi, S.Th) Katholik (Kristianus Mateseto) Hindu (I Nyoman Gunante, A.Md) dan dari Agama Budha (Artadi Wijaya, S.Ag) dan dari Badan POM yg diwakili oleh L.Satriawandi sekaligus selaku nara sumber Prodak Halal.

Pada laporan Kepala Seksi Urusan Agama Islam (M.Abu Arif Aini, S.Ag, M.Pd) selaku Ketua Panitia mengatakan dalam laporannya antara lain : sosialisasi ini sangat perlu disampaikan kepada masyarakat melalui Kepala KUA, karna saat ini sudah banyak prodak yg meresahkan masyarakat tentang kehalalannya.

Senin, 28 September 2009

Senin, 14 September 2009

Kemudahan berpuasa

KEMUDAHAN BERPUASA DALAM ISLAM DAN EKSESNYA BAGI KESEHATAN

Penelitian mengenai fungsi-fungsi anggota tubuh pada setiap tahap pelaporan telah membuktikan bahwa adanya kemudahan berpuasa dalam Islam. Hal ini sebagaiman Firman Allah dalam Surat al-Baqarah : 185. yg artinya :
"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu"
Dalam menafsirkan ayat ini, al-Razi berkata, "Sesungguhnya Allah mewajibkan berpuasa bagi seseorang atas dasar kemudahan. Puasa tidak di wajibkan kecuali beberapa hari saja dalam satu tahun. Jumlah waktu yang sedikit ini pun tidak diwajibkan bagi orang yang sakit atau orang yang berpergian".


Kemudahan berpuasa dalam Islam juga tampak pada kebebasan mengonsumsi makanan apapun yang sesuai dengan kebutuahan tubuh saat berbuka. Islam tidak mengharamkan segala jenis makanan asalkan bermanfaat bagi tubuh. Berpuasa dalam Islam berarti menahan makan dan minum pada waktu tertentu saja, yaitu mulai dari terbitnya matahari hingga terbenam, Setelah itu, mereka bebas makan dan minum pada malam harinya. Dengan demikian, Puasa dalam Islam diwajibkan bagi seseorang untuk dilakukan sebatas perubahan jam makan dan minum saja, tidak diwajibkan bagi seseorang untuk memutuskan sama sekali dalam tempo satu hari-satu malam.
Semua ini adalah untuk kemudahan dan keringanan yang diberikan Allah SWT kepada umat Nabi Muhammad Saw. Kemudahan ini tampak semakin jelas seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan di zaman sekarang. Beberapa referensi medis mengelompokkan at-tajwi' (upaya pelaparan) ke dalam tiga tahap, yaitu tahap sementara, sedang dan lama. Proses pelaparan dalam puasa secara Islam di awali sejak berakhirnya masa penyerapan makanan. Yaitu sekitar lima jam setelah makan, hingga sekitar dua belas jam setelah itu. Akan tetapi menurut sebagian ahli waktu tersebut kadang memanjang hingga empat belas jam. Pada masa itulah puasa secara Islam terlaksana. Menurut standar ilmiah, penghematan makanan semacam ini diangap aman.
Selama tidak mengonsumsi makanan dan minuman dalam kadar tertentu, tubuh melahirkan senyawa keton. Lemak tidak teroksidasi pada masa keton budies (senyawa keton dalam tubuh) ini. Karena itu, glukosa merupakan satu-satunya energi bagi otak. Protein juga tidak digunakan untuk memproduksi energi sebab dalam ukuran tertentu, penggunaan protein dapat mengakibatkan rusaknya keseimbangan nitrogen dalam tubuh. Hal ini berbeda dengan puasa yang di lakukan dalam Islam. Puasa secara Islam yang dilakukan selama dua belas jam hingga enam belas jam, terbagi atas dua tahap, yaitu tahap penyerapan dan tahan pasca penyerapan. Pada tahap itu system penyerapan dan metabolisme terjadai secara seimbang. Penguraian glikogen terstimulasi, lemak-lemak teroksidasi dan terurai, pemecahan protein pun terjadi hingga membentuk glukosa yang baru. Tidak terjadi kerusakan apapun dalam tubuh termasuk keseimbangan nitrogen, sebab pembakaran protein terjadi secara seimbang.
Berdasarkan hal itu sebagian ilmuan berpendapat masa setelah penyerapan makanan merupakan tahap pelaparan. Kondisi di atas membuktikan bahwa puasa dalam Islam mengandung kemudahan yang tidak dapat dipersamakan dengan tahapan proses pelaparan lainnya. Pemasokan energi bagi otak, sel darah merah dan system syaraf bergantung pada glukosa. Puasa yang dilakukan secara medis baik dalam waktu sebentar maupun lama, tidak hanya memperanguhi keaktifan berbagai system dalam tubuh, tetapi mempengaruhi banyak hal selain itu. Akibatnya puasa secara medis dapat mengakibatkan kerusakan pada beberapa fungsi organ tubuh.
Puasa secara Islam merupakan model system pencernaan yang paling ideal. Hal ini di sebabkan terjadinya dua tahapan di sana, yakni tahap pembentukan dan tahap penghancuran. Usai berbuka dan makan sahur, terjadi proses pembentukan susunan penting dalam sel tubuh melalui pembaruan zat yang disimpan untuk diproduksi sebagai energi. Usai masa penyerapan makanan yang berlangsung sesudah makan sahur, terjadilah proses penghancuran cadangan makanan yang berupa glikogen dan lemak untuk diurai menjadi energi yang digunakan pada siang harinya. Karena itu Rasulullah sangat menekankan dan menganjurkan seseorang untuk makan sahur. Diriwayatkan oleh Anas bin Malik, Rasulullah Saw bersabda :
تسحروا فإن في السحور بركة (متفق عليه)
"Makan sahurlah kalian karena di dalam makan sahur terdapat keberkahan" (HR. Muttafaqun 'alaih).
Makan sahur berguna untuk menyuplai kebutuahan tubuh dengan makanan pembentuk yang proses penyerapannya berlangsung sekitar lima jam sesudah berhenti makan. Dengan makan sahur, masa pasca penyerapan dalam tubuh menjadi berkurang. Karena itu Rasulullah Saw juga menganjurkan untuk menyegerakan berbuka, tentunya untuk memperpendek pasca penyerapan (tahap pelaparan). Sabda beliau :

لا يزال الناس بخير ما عجلوا الفطر (متفق عليه)
"Orang—orang senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan dalam berbuka" (HR. Muttafaqun 'alaih).
Rasulullah Saw juga menganjurkan seseorang yang berpuasa untuk mengakhirkan makan sahur. Diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit bahwa dirinya berkata, "Kami makan sahur bersama Rasulullah SAW di lanjutkan dengan menunaikan shalat subuh. Ditanya kepadanya, "Berapa waktu diantara keduanya"? Beliau menjawab, "Kira-kira bacaan lima puluh ayat". (HR. Muttafaqun 'alaih). Anjuran ini dimaksudkan untuk meminimalkan waktu berpuasa sehingga seseorang tidak lekas-lekas melewati batas waktu penyerapan. Disamping itu, puasa secara Islam juga tidak menyebebkan tekanan pada jiwa seseorang sehingga tidak pula membahayakan tubuhnya.
Berdasarkan hal ini dapat dipastikan bahwa tidak ada system terhanti fungsinya selam berpuasa kecuaIi pencernaan dan penyerapan. Proses penyediaan dan penerimaan gizi terus berlangsung. Sel-sel tubuh tetap bekerja secara normal dan mendapatkan semua kebutuhan yang diperlukannya dari cadangan makanan yang telah terurai. Keadaan ini biasa disebut dengan pencernaan di dalam sel. Melalui reaksi kimia, enzim mengubah glukogen menjagi glukosa. Lemak menjadi asam lemak, dan protein menjadi asam amino. Semua ini adalah bukti keagungan dan kekuasaan Allah SWT yang membuat manusia takjub.
Khusus wanita hamil dan menyusui, dari sisi medis di sarankan untuk tidak berpuasa karena asupan makanan yang dibutuhkan bertambah karena adanya janin, Jika dilakukan, hal ini akan mengakiatkan bertambahnya rasio keton bodies (senyawa koton dalam tubuh) yang membahayakan janin. Keadaaan ini juga berlaku bagi wanita yang sedang menyusui. Kelenjar susunya akan mengalami penyusutan kadar air susu pada saat berpuasa, terlebih bila cuaca dan hari sedang panas. Karena itu, jika dilakukan khawatir anak kekurangan ASI.
Akhirnya. Ada banyak keutamaan berpuasa di bulan ramadhan. Melalui berpuasa, cadangan glikogen dan lemak dalam tubuh akan terus mengalami perputaran dan pembaruan. Dengan begitu, tubuh tercegah dari pengonsumsi makanan yang melampaui kebutuhan. Hal ini dapat mengurangi dan menghindari kelebihan cadangan makanan dalam sel tubuh. Selain itu melalui puasa, tubuh mengistirahatkan beberapa organnya, seperti organ pencernaan, hati dan ginjal.
Puasa dengan keutamaannya itu dapat menghindarkan seseorang dari ancaman anteriosklerosis atau penyumbatan pembuluh darah. Hal ini baik dan aman untuk dilakukan, terutama mengingat kondisi manusia di abad dua puluh satu ini hidup dalam tingkat modernitas yang tinggi dan rentan terhadap berbagai penyakit berbahaya.


Minggu, 13 September 2009

Risalah Jum'at

POKOK-POKOK RISALAH JUM’AT DALAM PERBINCANGAN SYAFI’IYYAH DAN MAZHAB LAINNYA
Oleh : M. Abu Arif Aini


1. Pengertian dan Tujuan Jum’at
a. Shalat Jum’at merupakan pengganti shalat Dzuhur yang dikerjakan pada waktu Dzuhur dan hukumnya fardhu ‘ain bagi tiap Laki-laki yang merdeka, baligh, berakal, sehat jasmani dan rohani, bertempat tinggal secara menetap di mana shalat jumat tersebut didirikan (musthauthin). Shalat Jum’at wajib dikerjakan secara berjamaah yang di dahului oleh dua khutbah sebelum shalat dan ada izin pemerintah. Menurut Mazhab Syafi’i, shalat jum’at tidak wajib hukumnya bagi wanita, anak kecil, orang gila, sakit keras, pingsan atau koma, budak atau sahaya, kafir, murtad, orang yang sedang musafir, orang yang sedang tinggal diperkemahan atau pemondokan yang tidak ada majelis jum’at ditempat itu dan mereka tidak mendengar suara azan jum’at ---jika mereka mendengar azan jum’at maka wajib mendatangi tempat jum’at yang terdengar suara azannya tersebut, musthauthin yang jumlahnya kurang dari empat puluh orang dan mereka tidak mendengar suara azan jum’at dari tempat lain ---tetapi jika mereka mendengar suara azan maka wajib mereka mendatangi tempat jum’at dimana suara azan tersebut dikumandangkan.  


Demikian juga tidak wajib jum’at bagi mukimin yang tidak mendengar suara azan jum’at sekalipun jumlah mereka lebih dari empat puluh orang. Mukimin adalah orang yang tadinya musafir, kemudian tinggal di suatu tempat melebihi empat hari dan atau sampai batas waktu yang tidak ditentukan, namun dalam hati mereka tetap berniat atau berkeinginan suatu saat akan kembali ketempat asal mereka. Mengenai orang yang buta, wajib jum’at apabila jarak masjid dengan rumahnya tidak jauh dan ada orang yang menuntunnya ke masjid ---meskipun dengan cara mengupah atau menyewa orang, dan di masjid tersebut ada tempat duduk yang ia dapat bersandar, apa bila tidak ada yang menuntun dan dimungkinkan akan lebih banyak mudharat maka tidak wajib jum’at. 

Adapun prihal izin pemerintah, Hanafi mensyaratkan wajib ada izin pemerintah, jika tidak ada izin maka tidak sah mendirikan jum’at, sedangkan tiga imam yang lain (Maliki, Syafi’i dan Hambali) soal adanya izin pemerintah statusnya sunnat, bila tidak mendapatkan izin pemerintah, pada prinsipnya hukum jum’atnya sah. Karena itu Hanafi membolehkan berbilang-bilang jum’at di satu tempat asal ada izin pemerintah, juga ---menurut Hanafi--- orang musafir boleh mendirikan jum’at bila mendapat izin pemerintah, meskipun orang musafir itu berada di wilayah yang ada jum’atnya. Demikian pula Ahlul Jum’at (baik musthauthin atau mukimin) yang keluar dari rumahnya atau keluar dari wilayah dimana ada jum’atnya ke tempat baru yang tidak ada jum’atnya, maka sah mendirikan jum’at menurut Hanafi ---lebih-lebih ada izin pemerintah.  

b. Maksud dan tujuan disyariatkannya shalat Jum’at sebagaimana namanya yaitu untuk mengumpulkan atau menghimpun manusia di satu tempat guna beribadah kepada Allah SWT secara khusyu’, memperkokoh ikatan hati diantara mereka, memperkuat hubungan silaturrahim, agar tumbuh dalam diri mereka rasa cinta dan kasih sayang, akan mematikan rasa benci dan dendam kesumat, masing-masing diantara mereka akan memandang yang lainnya dengan tatapan penuh kasih sayang, yang kuat akan menolong yang lemah, yang kaya membantu membahagiakan yang miskin, yang besar akan menyayangi yang kecil, yang kecil menghormati yang besar, mereka akhirnya akan merasa menyatu dalam ibadah kepada Allah SWT.

Berangkat dari maksud dan tujuan inilah, para imam mujtahid dan ulama masing-masing mazhab berbeda pendapat tentang shalat jum’at yang lebih dari satu atau berbilang-bilang di satu tempat. Sebagian berpandangan bahwa berbilang-bilang Jum’at di satu tempat tidak sah karena berlawanan dengan maksud disyariatkannya shalat jum’at seperti keterangan di atas dan juga akan menyebabkan perpecahan umat. Sebagian lagi berpendapat boleh, karena alasan hajat. 


2. Masalah Waktu dan Tempat Mendirikan Jum’at
a. Waktu Jum’at
Waktu jum’at sama dengan waktu zohor, yaitu setelah zawal (tergelincir) matahari dan tidak sah pada waktu istiwa’ (saat matahari pas berada di tengah-tengah, dimana bila orang berjemur dibawahnya maka tidak tampak bayangan orang tersebut), kecuali Imam Hambali membolehkan memulai jum’at pada waktu istiwa’.

b. Tempat Jum’at
Jum’at lebih afdhol dilaksanakan di masjid, bahkan sebagian pendapat di Mazhab Maliki wajib mendirikan jum’at di masjid. Masih menurut ulama’ Mazhab Maliki, ada yang membolehkan jum’at meskipun tidak di masjid asalkan di tempat yang bangunanya permanen semacam gedung atau tempat belajar, tidak sah di rumah (yang dipakai sebagai tempat tinggal), juga tidak sah di tempat yang lapang (yang tidak ada bangunanya), juga tidak sah di padang pasir. Sementara menurut Syafi’i, boleh jum’at di suatu bangunan yang tidak permanen, seperti bangunan yang terbuat dari bambu, kayu, alang-alang dan sebagainya, juga boleh di tempat yang lapang/terbuka ---karena tempat yang semula dipakai jum’at (masjid) sedang dipugar--- asalakan tempat yang lapang tersebut diberi pagar yang memperjelas batas-batasnya, walaupun dari kayu, bambu atau tali. Sedangkan menurut Hanafi dan Hambali, boleh mendirikan jum’at di luar masjid atau di tempat terbuka yang lapang asalkan jaraknya dekat dari tempat yang semula dipakai jum’at (jarak yang dimaksud menyebabkan orang tidak boleh meng-qashar atau men-jama’ shalat).  


3. Hukum dan Syarat Sah Shalat Jum’at

Hukum shalat Jum’at adalah wajib. Syarat-syaratnya sebagai berikut :
a. Mazhab Hanafi, membagi syarat shalat Jumat menjadi dua yaitu syarat-syarat wajib dan syarat-syarat sah. Adapun syarat wajib ada enam : (1) Laki-laki (2) Merdeka (3) Sehat jasmani dan rohani (4) Bertempat tinggal di mana shalat Jumat tersebut didirikan (5) Berakal (6) Baligh. Adapun syarat sahnya ada empat yaitu : (1) Ada izin dari pemerintah ; (2) Masuk waktu ; (3) Khutbah sebelum shalat ; (4) Berjamaah.
b. Mazhab Maliki, sama seperti Hanafi Mazhab Maliki juga membagi syarat jumat menjadi dua : syarat-syarat wajib dan syarat-syarat sahnya. Syarat-syarat wajibnya sama seperti yang disyaratkan Hanafi, dengan beberapa tambahan (1) Tidak adanya uzur (2) Sehat penglihatan (tidak buta) (3) Tidak tua renta yang menyulitkan untuk hadir (4) Tidak dalam kondisi sangat panas atau sangat dingin (5) Dalam kondisi aman. Adapun syarat sahnya ada lima : (1) Mustauthin ; (2) Jumlah jamaahnya sekurang-kurangnya 12 orang selain imam ; (3) Imamnya langsung sebagai khatib ; (4) Dua khutbah ; (5) Dilaksanakan di tempat tertutup/berbentuk sebuah bangunan permanen ; 
c. Mazhab Syafi’i, sama seperti Hanafi dan Maliki, Syafi’i juga membagi syarat jumat menjadi dua : syarat-syarat wajib dan syarat-syarat sahnya. Adapun syarat wajib seperti tersebut di atas dengan beberapa tambahan sebagai berikut : (1) Bertempat tinggal di tempat Jumat dilaksanakan atau di satu tempat yang dekat dengan pelaksanaan Jumat dengan catatan mendengar suara azan dari Jumat dimaksud ; (2) Mustauthin (orang yang tinggal menetap dan berniat akan sehidup semati di tempat itu). Adapun syarat sahnya : (1) Dilaksanakan secara berjamaah ; (2) Tidak boleh kurang dari 40 orang ; (3) Didahulukan oleh dua khutbah.
d. Mazhab Hambali, sama seperti Hanafi, Maliki dan Syafi’i, Hambali juga membagi syarat Jum’at menjadi dua : syarat-syarat wajib dan syarat-syarat sahnya. Syarat-syarat wajib dan syarat-syarat sahnya sama dengan mazhab Syafi’i.


4. Hukum Berbilang-Bilang Jum’at di Satu Tempat

a. Mazhab Syafi’iyyah berpendapat : 
• Apabila di satu tempat ada dua atau lebih majelis Jum’at dan tidak karena alasan hajjah yang dibenarkan syara’ --seperti karena masjid tempat jum’at yang semula tidak memadai/tidak menampung jama’ah, atau lainnya ---maka yang sah jum’atnya adalah yang lebih dahulu; azannya atau takbiratul ihramnya atau shalatnya.
• Point yang pertama diatas, bila mana diketahui secara pasti dan didasarkan keyakinan yang kuat mengenai ada yang lebih dahulu jum’atnya dari yang lainnya, akan tetapi bila tidak tahu, atau ragu atau mengetahui secara pasti bahwa pelaksanaan jum’atnnya bersamaan, maka Jum’at keduanya atau lebih di satu tempat tersebut (yang bersamaan tadi) tidak sah, wajib di ulang jum’atnya secara bersama di satu masjid bila cukup waktu, tetapi apabila tidak cukup waktu maka wajib shalat zohor secara berjamaah. 
• Apabila berbilang-bilang jum’at di satu tempat karena ada hajjah yang dibenarkan syara’ maka semua jum’at tersebut secara hukum sah, akan tetapi disunnatkan shalat zohor secara berjamaah setelah pelaksanaan shalat jum’at tadi.

b. Mazhab Malikiyah berpendapat : 
• Apabila di satu tempat ada dua atau lebih majelis jum’at, maka juma’at yang sah adalah jum’at yang paling dahulu didirikan di tempat tersebut, meskipun jum’at yang baru dilaksanakan di masjid yang paling tua umurnya. 
• Jum’at kedua atau ketiga di satu tempat tadi akan menjadi sah apa bila memenuhi empat syarat sebagai berikut; (1) Telah mendapat persetujuan dari hakim (pemerintah); (2) Mukimin atau mustauthin pada jum’at pertama lebih suka dan pindah melaksanakan sholat pada jum’at lainnya meskipun dengan tampa alasan uzur; (3) Masjid atau tempat jum’at yang pertama tidak menampung lagi; dan (4) Masyarakat takut melaksanakan jum’at di tempat pertama karena ada fitnah atau karena tidak aman. 

c. Mazhab Hambaliyah berpandangan :
• Pada prinsipnya, berbilang-bilang jum’at di satu tempat hukumnya sah karena dua alasan pokok, yaitu, pertama ada persetujuan/izin pemerintah dan kedua karena alasan hajjat, sekalipun tidak mendapatkan izin pemerintah.
• Apabila tidak karena alasan hajjat, hukumnya sah apabila ada izin pemerintah, dan sebaliknya tidak ada izin pemerintah dan tidak karena hajjat serta diketahun secara pasti jum’at yang mana lebih dahulu takbiratul ihram, maka jum’at yang lebih dahulu itulah yang sah. Tetapi apabila diketahui bersamaan atau tidak diketahui secara pasti mana yang lebih dahulu, maka jum’at semuanya tidak sah, maka wajib di ulang jum’atnya secara bersama-sama, tetapi apabila tidak cukup waktu maka wajib shalat zohor secara berjamaah.

d. Mazhab Hanafiyah berandangan bahwa pada prinsipnya berbilang-bilang jum’at di satu tempat itu tidak mengapa, asalkan telah memenuhi syarat dan rukun jum’at, kendatipun ada salah satunya yang lebih dahulu pelaksanaannya.

5. Masalah Persyaratan Jumlah Minimal Jama’ah Shalat Jum’at

Ittifaq para aimmatul arba’ah (imam mazhab yang empat) bahwa shalat jum’at wajib dilaksanakan dengan berjamaah, kendatipun mereka berselisih dalam menentukan syarat minimal jumlah person dalam jmaa’ah dimaksud, sebagai berikut :
a. Mazhab Maliki berpendapat bahwa sekurang-kurang jumlah person dalam jama’ah shalat jum’at adalah 12 (dua belas) orang selain imam dengan syarat-syarat; (1) Semua jama’ah tersebut adalah person yang terkena hukum wajib (mukallif) jum’at oleh syara’; (2) Musthauthin ; (3) Semua jamaah dimaksud hadir sejak awal khutbah pertama sampai selesai shalat (kalau batal salah satu dari mereka sebelum imam salam pertama maka batallah jum’at dimaksud); (4) Dipersyaratkan bahwa semua jamaah tersebut menganut mazhab Maliki atau Hanafi.

b. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa sekurang-kurang jumlah jamaah shalat Jumat adalah tiga orang selain imam, dengan syarat-syarat sebagai berikut : (1) Semuanya laki-laki baik dia berstatus hamba, sakit, musafir, dia orang bodoh atau tuli asalkan dia shalat bersama imam minimal sejak takbiratul ihram sampai salam; (2) Tidak disyaratkan khatibnya jadi imam shalat Jumat. (3) Tidak disyaratkan keberadaannya sejak awal khutbah (4) Disyaratkan bahwa imam shalat Jumat tersebut adalah pemerintah atau petugas yang ditunjuk oleh pemerintah.

c. Mazhab Syafi’i, memberi beberapa syarat pada jamaah shalat jum’at sebagai berikut; (1) Jumlahnya minimal 40 orang sekalipun termasuk imam (sekiranya bila terjadi kurang dari atau tidak bisa mencapai 40 orang, shalat jum’at tetap harus dilaksanakan dengan cara taklid kepada imam yang membolehkan kurang dari 40 orang (dengan catatan tidak boleh talfiq). Taklid adalah mengikuti ajaran suatu mazhab dalam hal ibadah, (misalnya shalat jum’at mulai dari tata cara berwudhu' sampai dengan teknik shalatnya), sementara talfiq adalah mencampur adukkan tata cara ibadah dua atau beberapa mazhab, sebagai contoh, berwudhu’ menggunakan Syafi’i sedangkan shalatnya mencampukan antara cara shalat Syafi’i dengan praktek shalat menurut Maliki atau Hanafi; (2) Person dari jamaah shalat Jumat tersebut semuanya telah wajib Jumat (merdeka, laki-laki, mukallif, mustauthin di satu tempat); (3) Mereka bersama dengan imam sekurang-kurangnya sebelum berakhir rakaat pertama; (4) Disyaratkan juga jumlah jamaahnya tidak kurang dari 40 orang sampai berakhir shalat, jika jumlahnya pas 40 orang dan salah satu dari mereka batal, maka batallah Jumat seluruhnya dan wajib diulang jum’atnya apabila cukup waktu, jika tidak cukup waktu maka diwajibkan shalat Dzuhur, sunnat secara berjamaah. Yang dimaksud dengan cukup waktu adalah dimungkinkan dapat melaksanakan dua khutbah dan shalatnya, meskipun hanya rukun-rukunnya saja; (5) Disyaratkan juga para makmum dapat takbiratul ihram sebelum imam bangkit dari ruku’ rakaat pertama, tetapi apabila imam bangkit dari ruku’ dan semua makmum belum melakukan takbiratul ihram maka tidak sah jum’atnya; (6) Disyaratkan juga agar para makmum berniat makmuman lil imam jika tidak maka tidak sah Jumatnya.

d. Mazhab Hambali memberi syarat pada jamaah Jumat sebagai berikut : (1) Tidak boleh kurang dari 40 orang sekalipun bersama imam ; (2) Jamaah Jumat dimaksud adalah orang-orang yang dihukumi syara’ wajib Jumat (laki-laki, merdeka, balig, musthautin, bukan termasuk muqimin) ; (3) Disyaratkan untuk hadir (minimal 40 orang) sejak khutbah ; 

 Beberapa pendapat ulama’ mengenai persyaratan minimal jumlah jamaah jum’at : 
• Imam An-Nakho’i dan Ahlul Zohir berpendapat bahwa jum’at sama seperti shalat berjamaah lainnya, yaitu minimal dua orang (satu makmum dan seorang imam)
• Abu Yusuf, Muhammad dan Al-Laits berpendapat, bahwa sekurang-kurang jamaah jum’at adalah tiga orang (seorang imam dan dua makmum)
• Imam Hanafi dan Supyan Ats-Tsaury, mensyaratkan minimal 4 (empat) orang.
• Menurut Akromah minimal 7 (tujuh) orang.
• Minimal 9 (sembilan) orang menurut Robi’ah
• Imam Malik mensyaratkan minimal 12 (dua belas) orang
• Ishak mensyaratkan minimal 13 orang
• Minimal 20 orang menurut Ibnu Habib dari salah satu riwayat Maliki
• Imam Syafi’i dan Hambali mensyaratkan minimal 40 (empat puluh) orang termasuk imamnya
• Menurut Umar bin Abdul Aziz adalah 41 orang dengan imamnya (40 orang makmum)
 

6. Masalah Seputar Khutbah

a. Syarat-syarat khutbah
 Menurut Imam Hanafi memberikan beberapa syarat khutbah, yaitu : (1) Khutbah disampaikan dengan jelas dan terang agar didengar seluruh jamaah; (2) Khutbah boleh tidak memakai Bahasa Arab, sekalipun dari makmumnya ada orang Arab; (3) Tidak boleh ada pasal atau jarak yang terlalu lama antara dua khutbah; (4) Lama duduk antara dua khutbah tidak melebihi waktu membaca tiga ayat; (5) Disunnatkan khotib membaca khutbah dalam keadaan berdiri, selain berdiri makrukh; (5) Sunnat khotib memegang tongkat dengan tangan kiri; (6) Sunnat khotib duduk diatas mimbar/podiom sebelum memulai khutbah pertama.

 Imam Maliki memberikan syarat-syarat khutbah, sebagai berikut ; (1) Khutbah wajib disampaikan dengan bahasa Arab, sekalipun jamaahnya orang ajamiyah (bukan Orang Arab); (2) Disampaikan dengan suara keras dan jelas; (3) Wajib membaca shalawat kepada Nabi Saw antara dua khutbah; (4) Sunnat khotib berdiri dan menyampaikan khutbah diatas mimbar/podiom; (5) Mengulang sebagian / pokok-pokok isi khutbah pertama pada khutbah kedua; (6) Sunnat memulai dan mengakhiri khutbah dengan salam; (7) Sunnat khotib memegang tongkat ketika berkhutbah.

 Imam Syafi’i mensyaratkan khutbah jum’at; (1) Sunnat rukun khutbah disampaikan dengan bahsa Arab, lebih afdhol khutbah dengan bahasa Arab; (2) Disampaikan dengan suara terang dan jelas; (3) Duduk antara dua khutbah dan tidak boleh terlalu lama jarak waktu antara keduanya (maksimal ukuran waktu shalat dua rakaat); (4) Sunnat khotib berdiri dan menyampaikan khutbah diatas mimbar/podiom, atau di tempat yang agak tinggi bila tidak ada podiom ---apabila khotib sengaja tidak berdiri padahal ia mampu berdiri maka batal khutbahnya; (5) Sunnat memulai khutbah dengan salam sebelum duduk menjelang khutbah pertama; (6) Sunnat khotib memegang tongkat ketika berkhutbah; (7) Sunnat azan sebelum khutbah pertama; (8) Khutbah harus didengar secara langsung oleh sekurang-kurangnnya 40 jamaah; (9) Sunnat khotib memengang tongkat; (10) Mimbar podiom harus berada di sebelah kanan imam.

 Imam Hambali berpendapat, bahwa syarat khutbah antara lain; (1) Tidak sah khotbah disampaikan dengan selain bahasa Arab apabila mampu, lebih-lebih ayat Al-Qur’an, jika tidak bisa membaca ayat al-Qur’an dengan Bahasa Arab, maka hendaklah si khotib diam seukuran lamanya membaca ayat tersebut; (2) Disampaikan dengan suara jelas dan terang agar didengar oleh sekurang-kurangnya 40 orang, jika tidak bisa didengar oleh 40 orang maka tidak sah khutbahnya; (3) Disampaikan diatas mimbar dengan cara berdiri; (4) Sunnat memulai dan mengakhiri dengan salam; (5) Sunnat duduk setelah memberi salam dan mendengarkan azan sebelum memulai khutbah pertama; (6) Sunnat duduk antara dua khutbah sekira-kira lamanya membaca surat Al-Ikhlas; (7) Sunnat memegang tongkat; (8) Sunnat khutbah singkat dan ringkas dan khutbah pertama harus lebih panjang dari khutbah kedua.  


b. Rukun Khutbah
• Imam Hanafi berpandangan bahwa rukun khutbah itu satu, yaitu menyampaikan kalimat tayyibah yang bertujuan zikir (mengingat) Allah AWT, seperti membaca tahmid (Alhamdulillah) atau tasbih (subhanalloh) atau membaca tahlil (La Ilaaha illa Allah). Adapun membaca shalawat kepada Nabi, membaca ayat-ayat Al-Qur’an, mau’izoh hasanah, membaca doa dan memohonkan ampun bagi mukminin dan mukminat hukumnya sunnat (tidak masuk rukun khutbah).  

• Imam Malik berpandangan bahwa intinya rukun khutbah itu satu yaitu isi khutbah hendaknya mengandung kabar gembira (tabsyir) dan peringatan (tahzir). Selain itu hukumnya sunnat, termasuk membaca hamdalah, shalawat kepada Nabi, membaca ayat-ayat Al-Qur’an, mau’izoh hasanah, membaca doa dan memohonkan ampun bagi mukminin dan mukminat. 

• Imam Syafi’i berpendapat bahwa rukun khutbah ada lima, yaitu membaca hamdalah pada tiap-tiap khutbah, shalawat kepada Nabi di kedua khutbah, pesan taqwa kedua khutbah, membaca ayat-ayat Al-Qur’an salah satu dari dua khutbah ---lebih afdhol di khutbah pertama, membaca doa dan memohonkan ampun bagi mukminin dan mukminat khusus di khuitbah kedua. 

• Imam Hambali berpendapat bahwa rukun khutbah ada empat, yaitu membaca hamdalah, shalawat kepada Nabi, pesan taqwa dan membaca ayat-ayat Al-Qur’an pada kedua khutbah. 

c. Masalah Tarqiyah
Tarqiyah adalah membaca lafaz Inna Alloha wa malaaikatahu yusholluuna alan Nabi dan kemudian membaca hadis Nabi Iza qulta lishohibika wal imamu yakhtubu yaumal jumuati anshit, faqod laghauta sebelum khutbah, menurut Imam Syafi’i adalah hasanah meskipun tidak dilakukan Rasululloh dan para Shabat, sementara menurut Imam Hambali tidak mengapa asalkan disampaikan sebelum khotib naik ke mimbar. Menurut Imam Malik adalah bid’ah dan hukumnya makhruh, bahkan Imam Hanafi menghukuminya makhruh tahrim.




Munakahat

MunakKAJIAN SUBSTANSI HUKUM MUNAKAHAT
FORUM KOMUNIKASI KEPALA KUA (FK-3) KABUPATEN LOMBOK BARAT



BAB I
PENDAHULUAN

A. Krangka Acuan

Pembangunan nasional yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia pada hakekatnya merupakan pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya, baik spiritual dan materiil, fisik dan non fisik, dunia dan akhirat ---temasuk di dalamnya adalah pembinaan keluarga. Keluarga merupakan lembaga sosial bersifat universal, terdapat di semua lapisan dan kelompok masyarakat di dunia ini. Keluarga merupakan miniatur masyarakat, bangsa dan negara. Untuk memelihara, melindungi keluarga serta meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga disusunlah undang-undang yang mengatur perkawinan dan keluarga, yaitu Undang-Undang No. 22 tahun 1946 dan Undang-Undang No. 1 tahun 1974.
Seperti diketahui, selama berabad-abad penduduk Indonesia beragama Islam tidak memiliki hukum perkawinan tertulis. Keadaan ini sebagai konsekuensi dari pasal 163 Undang Undang Hindia Belanda (ISR), yang menempatkan penduduk pribumi sebagai golongan penduduk yang mengikuti hukum adat. Apa bila golongan penduduk asli, golongan pribumi, penduduk mayoritas di negeri ini tidak mempunyai hukum tertulis, maka sebaliknya, justru kelompok-kelompok minoritas seperti golongan Eropa dan yang disamakan, golongan pribumi beragama Kristen serta Timur Asing Cina telah lama mempunyai hukum perkawinan tertulis. Undang-undang tersebut adalah Buku I Burgerlijke Wetboek (BW, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Stb.1840 No. 2), Reglemen, hukum perkawinan untuk orang-orang Kristen Maluku, Menado, Ternate, dan Timor (Stb. 1874 N0. 63 jo. Stb. 1861 No. 38), Peraturan Perkawinan Orang-Orang Kristen untuk Jawa dan Madura (Stb. 1933 No. 74) dan Peraturan Perkawinan Campuran (Stb. 1898 No. 158).
Sudah lama umat Islam Indonesia ingin memiliki hukum perkawinan tertulis. Keinginan ini sudah muncul pada masa kolonialis dan era penjajahan Jepang, dan terus berlanjut sampai masa kemerdekaan. Harapan memiliki hukum perkawinan tertulis tersebut baru terwujud pada tahun 1946 dengan disahkannya UU No. 22 tahun 1946 dan disempurnakan kemudian dengan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-undang yang disebut terakhiri ini, disetujui DPR setelah melalui perjuangan panjang yang tak mengenal lelah. Pada awalnya, RUU yang diserahkan pemerintah kepada DPR adalah hasil rancangan Ali Murtopo dan kawan-kawannya di CSIS (Center Studies For International Strategis). Rancangan ini oleh ulama dan para ahli hukum Islam dinilai sekuler dan banyak mengandung unsur-unsur yang di pandang bertentangan dengan hukum Islam. Setelah pemerintah mengirim Menteri Agama Prof. DR. Mukti Ali pada tangggal 22 Desember 1973 dengan membawa rancangan baru, masyarakat dan DPR dapat menyetujui dan pada tanggal 2 Januari 1974 diundangkan sebagai UU No. 1 tahun 1974 (Lembaran Negara tahun 1974 No: 1). Undang-undang perkawinan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975.
Kini, jika dihitung sejak disahkannya UU No. 1 tahun 1974, maka undang-undang ini telah berusia 33 tahun. Seiring dengan masa pemberlakuannya yang telah mencapai sepertiga abad, masih terdapat banyak kendala sehingga belum efektif, mulai masalah kultur, pandangan bahwa pernikahan dihadapan Tuan Guru dan Kyai lebih afdhal ketimbang di depan para petugas KUA, lemahnya pengawasan dan ringannya sangsi hukum. Sehingga kasus pernikahan liar (nikah sirri), dan sederet persoalan lain masih terus menyertai penerapannya. Belum lagi masalah kurang lengkapnya undang-undang dimaksud dalam mengcover seluruh lika-liku persoalan pernikahan dan kenyataan hampir 60 % penyelesaian permasalahan perkawinan masih merujuk kepada pendapat para fuqoha dan ahli fikih Islam di kitab-kitab kuning. Problem tidak berhenti di sini, khilafiyah dan ragam pendapat para ulama, ternyata justru menyumbang persoalan baru dan menjadi permasalah tersendiri. Alih-alih memudahkan dan membantu KUA dalam penanganan masalah pernikahan, malah sebaliknya, dengan pertentangan pendapat ulama dalam kasus perkawinan, menyebabkan KUA dalam posisi dilematis. Belum lagi munculnya masalah-masalah kontemporer, seperti akad nikah, penyerahan wali, akad talak dan rujuk jarak jauh melalui HP, SMS, telephon, internet dan teleconference, yang belum terdapat bahasannya dalam kitab-kitab kuning. Alhasil, kembali ke kitab kuning, ternyata juga belum dapat menyelesaikan seluruh permasalah perkawinan.
Dengan demikian, dirasakan betapa sangat urgent, relevan dan mendesak diadakan kajian-kajian pendalaman terhadap materi substansi pernikahan, dengan melibatkan para ulama, tuan guru, para fakar dan ahli hukum Islam, kalangan akademisi dan para praktisi dari lingkup KUA ---terutama telaahan kitab-kitab kuning dengan interpretasi baru (i’adhatun nazar) terhadap masalah-masalah kekinian di bidang munakahat (hukum perkawinan). Untuk itulah, Forum Komunikasi Kepala KUA (FK-3) Kabupaten Lombok Barat telah menggelar kegiatan Bahtsul masaail tentang masalah-masalah kontemporer (al-waqi’iyyah) dan kajian substansi hukum munakahat, pada hari Sabtu dan Ahad, tanggal 11 s/d 12 April 2009, bertempat di Aula Kantor Departemen Agama Kabupaten Lombok Barat.
Adapun kegiatan Bahtsul Masaail yang di selenggarakan Forum Komuikasi Kepala KUA Lombok Barat ini mengambil konsentrasi bahasan tentang Kajian Substansi Hukum Munakahat terkandung maksud, tujuan,target dan sasaran kegiatan sebagai berikut :
1. Maksud : Kegiatan ini dimasudkan untuk :
• Mendalami substansi hukum munakahat.
• Menyamakan persepsi dalam bidang hukum pernikahan
• Menyusun standar hukum dan menetapkan sumber referensi fikih munakahat.

2. Tujuan : Kegiatan ini bertujuan agar :
• Terciptanya kondusifitas dan meminimalisir kasus-kasus pernikahan.
• Terwujudnya kepastian hukum dalam aspek perkawinan
• Terlaksananya ketentuan perundang-undangan di bidang perkawinan.

3. Target dan Sasaran :
Dari kegiatan ini diharapkan dapat melahirkan satu produk hukum terapan di bidang perkawinan yang praktis, detail dan komprehensif dengan mengkaji, menelaah dan mereinterpretasi kitab-kitab kuning menggunakan berbagai pendekatan dan paradigma pemikiran Islam secara kontekstualis (fiqh maudlu’i).


Kegiatan ini melibatkan nara sumber, panelis dan peserta sebagai berikut :

a) Nara Sumber dan Panelis, berasal dari unsur :
• Kanwil Depag Prop. NTB 1 Orang
• Departemen Agama Kabupaten Lombok Barat 2 Orang
• Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Prop. NTB 1 Orang
• Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Lombok Barat 2 Orang
• Kalangan Pesantren 5 Orang
• Akademisi 2 Orang
• Praktisi (Kepala KUA) 15 Orang

b) Peserta :
• Semua Penghulu KUA se-Lombok Barat sebanyak 22 orang
• Perwakilan P3N Lingkup Depag Lobar sebanyak 150 orang

Kegiatan ini mengangkat bahasan seputar masalah munakahat dengan cakupan topik, materi dan bahan kajian, antara lain :

1) Materi, meliputi :

a) Materi Pengantar / Penunjang :
 Kebijakan pembangunan bidang agama
 Problematika hukum pernikahan di Indonesia dan pengembangan hukum terapan bidang munakahat
 Peta pemikiran hukum perkawinan dalam ranah hukum positif dan hukum adat di Indonesia
 Metodologi bahtsul masaail dan pendekatan istimbat hukum Islam
 Kontekstualisasi pemikiran fikih dalam setting ke-Indonesia-an
 Pendekatan ushul fiqh dan qawaidul fiqh dalam penyelesaian kasus-kasus perkawinan
 Instrumen analisis dan nalar fikih munakahat Indonesia
 Genealogi dan reinterpretasi kitab kuning sebagai sumber referensi fikih perkawinan


b) Materi pokok :

1. Ijab dan Qabul pada nikah, thalaq dan ruju’ jarak jauh melalui HP, SMS, telephon. Internet, dan teleconference.
2. Taukil wali jarak jauh via alat komunikasi
3. Wali nikah anak titipan dalam rahim perempuan lain
4. Wali nikah bayi tabung dan nasabnya
5. Penentuan wali nasab berdasarkan tes DNA
6. Suami istri memiliki anak hasil bayi tabung (tidak pernah berhubungan badan) apakah talaknya beriddah ?
7. Kewilayahan Wali Hakim
8. Wali Hakim Presiden Wanita
9. Tasharruf wali nikah prempuan pada lelaki yang akan menjadi suaminya
10. Wali nikah anak wathi’ subhat
11. Wali berwakil hadir dalam majelis akad
12. Nikah mahar muqoddam
13. Suami mengaku tidak beristri
14. Wali anak zina perempuan yang ‘iddahnya kurang dari empat tahun
15. Menikahi janda yang tidak haid lagi sebelum menopaus
16. Menikahi anak tiri
17. Imro’atul mafqud
18. Nikah berganti kelamin
19. Nikah dua wali
20. Nikah tahlil dengan aqad talaq ba’da dukhul
21. Nikah Muaqqit
22. Nikah dipaksa sebab zina
23. Nikah wanita hamil dengan lelaki yang bukan menghamilinya
24. Pernikahan imro’ah wuludul ‘am dengan ayah biologisnya
25. Rumah tangga beda agama
26. Nikah diluar Islam dan implikasi hukum setelah masuk Islam



2) Bahan Kajian :
1. Kitab Al-Um karya Imam Syafi’i
2. Kitab Muharrar karya Rafi’i (623)
3. Kitab Minhajut Thalibin karya Zakaria An-Nawawi (678)
4. Kitab Kanzur Raghibin karya Mahalli (864)
5. Kitab Manhajut Thullab karya Anshari (926)
6. Kitab Tuhfatul Muhtaj karya Ibnu Hajar (973)
7. Kitab Nihayatul Muhtaj karya Ramli (1004)
8. Kitab Mugniul Muhtaj karya Syarbini (977)
9. Kitab Hasyiyah karya Qolyubi dan Umaira’
10. Kitab Fathul Wahab karya Anshari (926)
11. Kitab Iqna’ karya Syarbini (977)
12. Kitab Taqrir karya Awwad
13. Kitab Tuhfatul Habib karya Bujaerimi (1100)
14. Kitab Hasyiyah karya Al-Bajuri (1277)
15. Kitab I’anatut Thalibin karya Sayyid Al-Bakir (1300)
16. Kitab Tarsyih Mustafidin karya Alwi Assegaf (1300)
17. Kitab Muqaddimah Al-Hadlramiyah karya Abdullah bafadlal
18. Kitab Syarah Minhajul Qowwim karya Ibnu Hajar Al-Haetami
19. Kitab Syarah Ala Bafadlal karya Kyai Mahfuz Kediri Jatim (1338)
20. Kitab Busyra Al-Karim karya Said Ibnu M. Ba’asyim
21. Kitab Al-Hawasyi Al-Madaniyyah karya Sulaiman Al-Kurdi (1092)
22. Kitab Syarqawi Ala Ttahrir karya Zakaria Al-Anshari
23. Kitab Ibanatul Ahkam karya Ibnu Hajar Al-Asqolani
24. Kitab Al-Muhazzab karya Ibnu Ishaq Fairuzzabadi Asy-Syirozi
25. Kitab Fiqih Mazahibul Arba’ah karya Abdurrahman Al-Juzairi
26. Kitab Mizanul Qubra karya Sya’roni Al-Anshari
27. Kitab Tausyih karya Kyai Nawawi Banten
28. Kitab Al-Majmu’ Ala Muhazzab karya Nawawi
29. Kitab Bughyatul Mustarsyidin karya Sayyid Abdurrahman Ba’alwi
30. Kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusydi
31. Kitab Fatawa As-Syar’iyyah karya Hasanain Makhluf
32. Kitab Al-Mudawanah Kubro Karya Imam Malik
33. Kitab al-Mugni wa al-Syarah al-Kabir karya Ibnu Qudamah Al-Hambali
34. Kitab Thabaqatus Syafi’iyyah karya Subki
35. Kitab Asnal Mathalib karya Zakaria
36. Kitab Fatawi Kubro karya Ramli
37. Kitab Ghoyah Takhlish al Murad karya Ibnu Ziyad
38. Kitab Nihayatuz Zain karya Kyai Nawawi Banten
39. Kitab Tarsikh Mustarsyidin karya Alwi As-Saqaf
40. Kitab Faidlul Qadir karya Almanawi
41. Kitab Al-Azizi karya Rafi’i
42. Kitab Al-Hijaz karya Abu Yusuf Al-Hanafi
43. Kitab Al-Hidayah karya Al-Marghinani Al-Hanafi
44. Kitab Al-Jami’ Al-Ahkam Al-Fiqhiyyah karya Qurtubi
45. Khasiyah Al-Audhah karya Abdul Kadir Audhah
46. Kitab Az-Zawajir karya Ibnu Hajar
47. Kitab Majmu’ Fatawa karya Ibnu Taimiyah
48. Kitab Syarah Al-Kabir karya Ahmad Dardiri Al-Maliki
49. Kitab Fiqh As-Sunnah karya Sayid Sabiq
50. Kitab al-Asybah wa al-Nadzair karya Jalaluddin As-Suyuthi (911 H)
51. Kitab al-Syarwani ala al-Thuhfah
52. Kitab Kifayatul Akhyar
53. Kitab Ahkamul Ahkam karya Taqiuddin Ibnu Daqiqil ‘Id (706 H)
54. Kitab Hikmatul Tasyri’ wa Falsafatuhu
55. Kitab Tharaiq al-Hukum fi Al-Syari’ah al-Islamiyah
56. Kitab Takmilah al-Majmu’
57. Kitab Bada’i al-Shona’i
58. Kitab Al-Burhan Fi Ushulil Fiqh
59. Kitab Thuruqu al-Hukmiyyah fi al-Siyasiyyah al-Syar’iyyah
60. Kitab Khasyiyatul Iwadh ‘ala Iqna’
61. Kitab Itsmadul ‘Ainaini karya Ibnu Hajar al-Haetami
62. Kitab Fatawa Syar’iyyah li al-Syaikhi Hasanain Muhammad Mahluf
63. Kitab Rahmatul Ummah karya Abdurrahman Addamsyiqi
64. Kitab Tanwirul Qulub
65. Kitab Raudhatut Thalibin karya Zakaria An-Nawawi (678)
66. Kitab Tafsir Qurthubi
67. Kitab Tafsir Baidhawi
68. Kitab Tafsir al-Munir
69. Kitab Tafsir Ibnu Katsir karya Abi Fida’ Isma’il bin Ibnu Katsir (774 H)
70. Tafsir al-Maraghi karya Ahmad Musthafa al-Maraghi


B. Metodologi
1. State Of Maind


Melihat nalar (pemikiran) fikih di Indonesia, saat ini, lebih didominasi oleh fikih Syafi’iyah, tak terkecuali nalar fikih munakahat. Aturan-aturan menyangkut pernikahan, baik Undang-undang No. 1 tahun 1974, maupun Kompilasi Hukum Islam, hampr 80 % dihegemoni oleh pemikiran model Syafi’iyyah. Padahal, dahulu umat Islam Indonesia mayoritas menganut Mazhab Hanafi. Pergeseran dari corak pemikiran Hanafi ke berfikir ala mazhab Syafi’i, lebih merupakan sebuah proses sejarah. Masuknya faham Syafi’iyyah ke Indonesia di bawa oleh para santri yang belajar pada ulama yang bermazhab Syafi’i di Timur Tengah, maupun oleh para penyebar Islam dari India. Berawal dari seorang ulama bernama Sayyid Kholiq belajar tariqat Naqsabandiyah di Nakspon India. Sayyid Kholiq ini adalah seorang Turki dari Kurdistan, dari Dare Parker. Dari dahulu orang Turki itu bermazhab Syafi’i. Dari Dare Parker (sebelah timur Syiria) dia merambat ke Halp di Aloppo di Pantai Laut Tengah (sebelah barat Syiria). Dari sana dia terus ke Madinah dan akhirnya bermukim di Makkah. Banyak santri-santri dari tanah air pada abad ke 18 – 19 belajar kepada beliau. Para santri inilah yang membawa faham Syafi’iyah ke Indonesia. Makanya, tidak mengherankan bila Kitab Fathul Mu’in, yang nalar fikihnya dipengaruhi oleh pemikiran fikih Sulaiman Al-Kurdi, sangat digandrungi di pesantren-pesantren sampai saat ini.
Wael B. Hallaq salah seorang pemikir kenamaan Islam kontemporer, mendistingsi pemikiran hukum Islam ke dalam tiga tipologi, konservatif (tradisional), utilitarianisme religius (modern) dan liberalisme religius (liberal). Tipologi konservatif (tradisional), menurut Hallaq, merupakan kecendrungan pemikiran hukum Islam yang menggunakan pendekatan formalis dan mencurahkan perhatiannya pada aspek –aspek material disiplin ilmu fikih dan ushul fikih yang telah baku. Pendekatan formalis ini lebih banyak bergelut dengan realitas fikih yang sudah jadi, lepas dari dimensi kesejarahan. Pendekatan ini lazim disebut pendekatan tekstual yang lahir dari kalangan muslim skripturalis. Arkoun menyebutnya sebagai pendekatan logosentrisme, sebuah pendekatan yang membatasi dirinya pada teks-teks tertulis dan kurang menaruh perhatiannya pada ranah tradisi keislaman (the living islamic tradition). Sedangkan tipologi utilitarianisme religius atau modern adalah kecendrungan pemikiran hukum Islam yang berpandangan bahwa al-Qur’an sebagai sumber hukum yang menyajikan hal-hal yang umum, bukan khusus. Sehingga al-Qur’an tidak harus dipahami secara ketat harfiyah, tetapi lebih pada semangatnya, pada tujuannya (maqasid al-syari’ah). Menurut tipologi ini, yang mendesak untuk dilakukan adalah perumusan kembali teori hukum ke dalam suatu cara yang membawa pada suatu sintesa antara nilai-nilai keagamaan Islam pada satu sisi dan suatu hukum substansif yang cocok untuk kebutuhan masyarakat modern yang selalu berubah di sisi lain. Tipologi ini lebih mengarahkan perhatiannya dan melandaskan metodologinya pada konsep maslahah. Kepercayaan terhadap konsep istislah dan kebutuhan (necessity) dalam pengambilan keputusan hukum, inilah yang menjadi kekhasan dalam teori-teori hukum mazhab utilitarianisme religius. Tipologi yang ketiga adalah liberalism religious. Obsesi yang dilakukan oleh kelompok ini adalah upaya untuk menangkap esensi wahyu, makna di luar arti lahiriah dari kata-kata. Mereka bersedia meninggalkan makna lahir dari teks untuk menemukan makna dalam dari konteks. Dengan demikian perhatian utamanya adalah sekitar interpretasi ulang terhadap konsep syari’ah untuk menemukan penyelesaian bagi persoalan realitas kontemporer. Tokoh yang cenderung dalam kategori ini menurut Hallaq adalah Fazlur Rahman dan Mohammad Shahrur.
Mansour Fakih, membedakan maind set umat Islam dalam megaitkan kondisi mereka dengan persoalan umat kekinian, menjadi empat paradigma, yaitu; pertama, paradigama tradisionalis, adalah cara pandangan dalam melihat persoalan yang menimpa umat Islam, seperti kebodohan, kemiskinan, kterbelakangan, dan sebagainya, lebih merupakan sebuah ujian atau cobaan dari Tuhan. Karenanya, Tuhan peru “dirayu” sedemikian rupa agar mau mencabut cobaan-Nya. Kedua, paradigma modernis, yaitu suatu visi (pandangan) dalam melihat keterpurukan umat Islam adalah akibat dari kesalahan umat Islam sendiri dalam memahami teks-teks agamanya (al-Qur’an dan as-Sunnah). Ketiga, paradigma fundamentalis, adalah suatu prame of reference dalam memahami persoalan yang menimpa umat Islam, menurutnya adalah karena ekses orang lain, akibat “musuh-musuh” Islam, seperti Yahudi, Barat dan sekutunya. Paradigma keempat, adalah paradigma transpormatif, yakni melihat perlunya umat Islam melalukan transformasi pemikiran dalam pandangan keagamaan dari cara pandangan yang legal-formalistik menuju cara pemahaman yang lebih kontekstual dan flaksibel. Perlu dilakukan reinterpretasi (i’adatun nadzar) terhadap teks-teks agama dari cara berpikir tekstual ke pemikiran yang kontekstual.
Peta pemikiran mayoritas ulama saat ini, lebih-lebih di Pulau Lombok, masih belum banyak sepakat dengan gerakan ijtihad sebagaimana yang digelorakan oleh kaum pembaharu. Di lingkungan Nahdlatul Wathan (NW) sendiri, memahami istilah ijtihad ataupun istinbati adalah berkonotasi mengeluarkan hukum-hukum dari al-Qur’an dan al-Sunnah melalui kerangka teori yang dipakai oleh Ulama ushul. Bagi ulama NW, otoritas ijtihad dengan menggunakan perangkat ushul fiqh seperti itu hanya berlaku bagi mereka yang memenuhi kualifikasi sebagai mujtahid mutlak. Dan itu selesai pada era mazhab empat. Bagi NW, semua jawaban permasalahan cukup dengan merujuk pemikiran ulama yang terabstraksikan dalam kitab-kitab fiqh. Mayoritas kajian hukum, terutama fikih munakahat, di Lombok, berpegang pada dua prinsip, yaitu prinsip graduasi pengambilan hukum dan prinsip berorientasi kepada mazhab.
Yang dimaksud dengan prinsip graduasi dalam pengambilan hukum adalah pemahaman terhadap nash-nash sumber hukum Islam (al-Quar’an dan al-Hadis) tidak dilakukan dengan metode literal (lafziyah), mengingat resiko pembiasan postulasi sebagai akibat pemaksaan potensi individu dalam mengungkap maksud dari nash-nash sumber hukum Islam. Cara memahami maksud ungkapan dari suatu nash dilakukan dengan menggunakan metode abstraksi. Penalaran deduksi terhadap nash-nash, dipercayakan kepada para ahlinya, dalam hal ini para mufassir al-Qur’an, pensyarah kitab-kitab hadis, istinbat para fuqaha’ dan istidlal-nya. Fakta historis seputar perujukan pemikiran hukum Islam kepada sumber skunder yaitu tafsir ayat, syarah hadis dan hasil ijtihad fuqaha’, mencerminkan betapa diusahakan semaksimal mungkin agar rantai transmisi pengetahuan agama Islam dan pengamalannya terjadi secara berkesinambungan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Akar pola pemikiran hukum Islam semacam itu pernah ditawarkan oleh al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustasyfa, ketika ia mengupas sumber hukum Islam yang ketiga yaitu ijma’. Tawaran tersebut menarik untuk dicermati mengingat bahwa pada ijma’ mujtahidin itu telah terjadi akumulasi penafsiran atas nash-nash yang hemogen. Uji validitas atas pemahaman mujtahidin masa lalu bisa diukur dari fakta dukungan terhadap doktrin hukum oleh ulama’ generasi berikutnya. Sejalan dengan pengujian sejarah atas pemikiran mujtahidin masa lalu, indikator munculnya kitab syarah, kitab berformat hasyiyah atau mukhtasar (ringkasan) bisa difungsikan sebagai uji validitas doktrin sekaligus pengukur kadar popularitas (i’tibar al-sihhah dan i’tibar al-shuhrah).
Sedangkan prinsip kedua adalah prinsip berorientasi kepada mazhab. Ranah empirik menyodorkan fakta, dimana yang terjadi dalam praktek perujukan setiap pemikiran hukum Islam, mazhab al-Syafi’i lebih dominan dijadikan referensi dan uniknya hampir tidak ditemukan pendapat al-Syafi’i yang dikutip langsung dari kitab karya beliau, seperti al-Umm, al-Risalah, Ahkam al-Qur’an dan sejenisnya. Hal itu terjadi, karena karya ilmiah al-Syafi’i menggunakan bahasa sulit dan lirik prosanya yang sangat metaforis dan mujmal, terbukti ketiadaan ulama’ yang berani mensyarahi kitab-kitab karyanya. Justru saduran qaul qadim dan qaul jadid yang tertuang dalam kitab-kitab karya para mujtahid pengikut Imam Syafi’i lebih sering dibuat sebagai rujukan fatwa hukum. Oleh karenanya yang lebih dominan adalah kitab-kitab fuqaha syafi’iyah, seperti karya Imam al-Nawawi (w.676 H), Imam al-Rafi’i (w. 623 H), Ibnu Hajar al-Haytami (w. 973 H), Imam al-Ramli (w. 1004 H) dan lain-lain.
Berdasarkan penelitian Ahmad Zahro, dari sisi frekwensi penggunaan referensi kitab-kitab mazhab empat, menunjukkan bahwa kitab-kitab rujukan didominasi oleh kitab-kitab Syafi’iyah, sedangkan 44 kitab yang lain (28,8%) berasal dari non Syafi’iyah dengan perincian, 28 kitab (18,4%) merupakan kitab rujukan umum, 10 kitab (6,5%) dari Malikiyah, 4 kitab (2,6%) dari mazhab Hanafi dan 2 kitab (1,3%) dari mazhab Hambali. Warna dominasi fikih mazhab al-Syafi’iyyah dalam fatwa hukum munakahat lebih didasarkan pada pertimbangan praktis, antara lain karena doktrin fuqaha Syafi’iyah terkesan lebih ihthiyat atau lebih hati-hati dibanding ketiga mazhab yang lain. Di samping itu juga didasarkan pada kenyataan bahwa penerimaan mayoritas masyarakat terhadap hukum munakahat, adalah yang bercorakkan nalar fikih ala Syafi’iyah. Akibat dari kedua prinsip tersebut di atas, maka corak pemahaman fikih terhadap masalah munakahat kelihatan bersifat skriptualis dan doktriner. Artinya, dalam menghadapi persoalan atau masalah yang muncul, jawabannya selalu dirujukkan kepada pendapat-pendapat fuqaha’ yang bertebaran dalam kitab-kitab klasik yang lazim disebut al-Kutub al-Mu’tabarah (kitab-kitab yang dapat dijadikan pegangan) atau al-Kutub al-Mauthuq bih (kitab-kitab yang dapat dipercaya). Model pemahaman keagamaan dari penjawaban masalah sebagaimana tersebut kemudian dikenal dengan istilah Mazhab Qauli. Tipologi pemikiran fikih dengan model bermazhab secara qauli ini, menurut Hallaq, merupakan kecendrungan pemikiran hukum Islam yang menggunakan pendekatan formalis dan mencurahkan perhatiannya pada aspek-aspek material disiplin ilmu fikih dan ushul fikih yang telah baku. Pendekatan formalis ini lebih banyak bergelut dengan realitas fikih yang sudah jadi, lepas dari dimensi kesejarahan. Pendekatan ini lazim disebut pendekatan tekstual yang lahir dari kalangan muslim skripturalis.


2. Metode Kajian
Ada dua model metode yang dipakai dalam kajian ini, yaitu pendekatan qauli dan pendekatan manhaji. Pendekatan qauli adalah metode analisa hukum dengan mengambil jawaban langsung pada teks-teks kitab kuning, sedangkan pendekatan manhaji digunakan apabila tidak ditemukan jawaban dan penjelasan terhadap masalah-masalah hukum di kitab-kitab kuning. Metode ini memakai teknik telaahan hukum dengan berbasiskan pada penalaran (ra’yu) menggunakan rumusan-rumusan ushul fiqh dan qaidul fiqh. Kajian hukum menggunakan pendekatan qauli mengikuti ketentuan; pertama, mengambil pendapat yang lebih maslahat dan atau yang lebih kuat; kedua sedapat mungkin dengan merujuk pemikiran hukum dengan memilih :
• Pendapat yang disepakati oleh al-Syaikhani (al-Nawawi dan al-Rafi’i)
• Pendapat yang dipegangi al-Nawawi saja.
• Pendapat yang dipegang al-Rafi’i saja.
• Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama’.
• Pendapat ulama’ yang terpandai.
• Pendapat ulama’ yang paling wira’i.

Di dalam menentukan status hukum persoalan yang dihadapi, pendekatan qauli menggunakan langkah-langkah sebagai berikut :
a) Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan di sana hanya terdapat satu qaul/wajh, maka dipakailah qaul/wajh itu sebagaimana diterangkan dalam ibarat kitab tersebut.
b) Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan di sana ternyata terdapat lebih dari satu qawl/wajh, maka dilakukan taqrir jama’i untuk memilih satu qaul/wajh,.

Adapun metode analisis dengan pendekatan manhaji memakai teknik :
1) Ilhaq al-masail bi nazaairiha, yaitu mengaitkan penalarannya dengan masalah yang sepadan secara jama’i oleh para ahlinya. Hal ini dilakukan bila mana tidak ada qaul/wajh sama sekali yang memberikan penyelesaian.
2) Istinbat jama’i dengan prosedur bermazhab manhaji oleh para ahlinya, dipergunakan manakala tidak ada qaul/wajh sama sekali dan tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka harus dilakukan.
Penerapan metode ilhaq dan metode manhaj, harus dibarengi atau dilandasi oleh keberanian moral untuk melakukan i’adatun nazar (penafsiran ulang) terhadap teks-teks kitab kuning. Mengadakan kajian kritis terhadap kitab kuning, mengikuti prosedur sebagai berikut : Pertama, teks kitab harus dipahami secara sesuai dengan konteks sosial historisnya. Kedua, perlu dikembangkan kemampuan observasi dan analisa terhadap teks kitab. Ketiga, perlu dilaksanakan studi konveratif (muqabalah) mengenai masalah-masalah yang mukhtalaf ‘anhu (debatable) dengan kitab lain. Keempat, perlu dilakukan kajian lintas disiplin ilmu terkait dengan materi yang tercantum dalam kitab. Kelima, menghadapkan kajian teks kitab klasik dengan wacana aktual dan bahasa yang komunikatif.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan beberpa hal yaitu :
 Nalar fikih munakahat di Indonesia, masih didominasi pemikiran fikih model mazhab Syafi’i, baik yang terkodifikasi dalam kitab-kitab kuning, sebagai salah satu suber referensi fikih munakahat, maupun terlihat pada aturan-aturan formal tentang perkawinan.
 Secara umum dalam memecahkan persoalan hukum dibidng munakahat, masih berpatokan pada cara berpikir menurut mazhab qauli.
 Cara terbaik untuk memahami dan mengamalkan ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah adalah dengan sistem bermazhab. Bermazhab itu ada dua, yaitu bermazahab secara qouly dan secara manhaji. Bagi orang awam dianjurkan untuk bermazhab secara qauli, sedangakan bagi ulama yang telah memenuhi kualifikasi sebagai mujtahid mutlak dipersilahkan untuk bermazhab secara manhaji. Bermazhab secara manhaji dilakukan secara kolektif (istinbat jama’i) setelah dalam masalah yang dibahas tidak ditemukan aqwal (pendapat) dari mazhab empat. Jika terdapat aqwal namun masih mukhtalaf fiha, maka ditempuh taqrir jama’i (penyelesaian pendapat secara kolektif). Bermazhab secara manhaji maupun aqwali dilakukan dalam bingkai al-mazahib al-arba’ah.
 Munculnya gagasan bermazhab secara manhaji, didasarkan pada paradigma; Pertama, para ulama menyadari bahwa hukum Islam yang terabstraksikan dalam kitab-kitab fikih lebih merupakan produk sejarah yang dalam batas-batas tertentu diletakkan sebagai justifikasi terhadap tuntutan perubahan sosial, budaya dan politik. Oleh karena itu, dalam konteks ini hukum Islam dituntut lebih akomodatif terhadap persoalan-persoalan umat tampa harus kehilangan prinsip-prinsip dasarnya. Fakta empiris berupa perbedaan pendapat diantara ulama yang tertuang dalam kitab-kitab syarah, hasyiyah dan ta’liqat, baik yang berbentuk kritik, penolakan (radd) maupun perlawanan merupakan indikasi kuat bahwa latar belakang sosio-budaya dan sosio-politik sangat mempengaruhi bagaimana keputusan hukum difatwakan. Para ulama harus berani melakukan “ijtihad” dalam rangka memecahkan persoalan yang muncul, agar hukum Islam tidak kehilangan aktualisasinya. Sebab apabila hukum Islam tidak kontekstual dalam arti tidak mampu memberikan jawaban yang memuaskan, akan secara perlahan-lahan ditinggal umat Islam. Kedua, rumusan fikih yang dikonstruksi ratusan tahun yang lalu jelas tidak lagi memadai untuk menjawab persoalan yang terjadi saat ini. Hal tersebut disebabkan karena fikih yang selama ini berkembang dan beredar di Indonesia sarat dengan fikih Hijah, Mesir ataupun India. Sebagai contoh, Kitab I’anatutthalibin syarah dari Kitab Fathul Mu’in, dikarang oleh ulama dari India. Sehingga sangat logis jika banyak dari produk-produk hukumnya tersebut tidak maching dengan kondisi obyektif di Indonesia. Kalaupun dipaksakan, maka akan terjadi banyak masalah-masalah yang tidak ditemukan jawabannya (mauquf). Dan ini, sangat dihindari oleh ulama. Sehingga perlu rumusan “fikih baru” yang dapat mengakomodir semua persoalan yang terus bermunculan.

























BAB II
PAPARAN HASIL KAJIAN


A. MATERI PENUNJANG (MASAILAH WAQI’IYAH)

1. Peta Pemikiran dan Problematika Hukum Perkawinan dalam Ranah Hukum Positif di Indonesia

Secara yuridis formal, UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan berlaku secara efektif sejak diundangkannya PP No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1/1974. Dengan demikian pemberlakuan UU perkawinan ini belum sepenuhnya efektif meskipun telah dilakukan sosialisasi di semua lapisan masyarakat. Hal ini terlihat dari masih terdapatnya pelaksanaan pernikahan yang tidak sesuai dengan UU perkawinan dimaksud, seperti pernikahan sirri, poligami liar, perkawinan beda agama dan perceraian di luar Pengadilan Agama. Belum lagi masih terjadi dualisme pandangan di kalangan teoritisi dan praktisi terkait keabsahan sebuah pernikahan dalam perspektif hukum positif. Ada dua pendapat dalam hal ini; pertama, sahnya suatu perkawinan apabila telah memenuhi ketentuan syari’at agama, sementara mengenai pencatatan nikah oleh PPN tidaklah merupakan syarat sahnya nikah, tetapi hanya kewajiban administratif. Pendapat kedua, menyatakan bahwa sahnya suatu pernikahan harus memenuhi ketentuan UU perkawinan, pasal 2 ayat (1) mengenai landasan agama dan ayat (2) mengenai pencatatan nikah oleh PPN. Karena itu, perkawinan yang dilakukan menurut ketentuan syari’at agama saja tampa pencatatan oleh PPN, bukanlah dianggap suatu pernikahan yang sah. Dalam mengomentari kedua pendapat tersebut, Prof. H. Masyfuk Zuhdi, menyatakan bahwa pendapat yang lebih kuat dan mendasar, baik dari segi hukum Islam maupun dari segi hukum positif, adalah pendapat kedua, dengan alasan; a) mentaati perintah agama dan pemerintah adalah wajib, sebagaimana Surat An-Nisa ayat 59; b) pencatatan nikah untuk mendapatkan buku nikah itu sangat penting untuk syadduzzari’ah dan maslahah mursalah; c) Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga menguatkan bahwa pencatatan nikah oleh PPN menjadi syarat sahnya pernikahan.
Nikah “dibawah tangan” (istilah bagi pernikahan yang tidak tercatat oleh PPN sesuai ketentuan UU perkawinan) tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah di mata hukum negara, karenanya akan berdampak secara hukum maupun sosial terhadap istri dan anak. Tidak diakuinya hak-hak keperdataan dari pertalian hubungan perkawinan ini. Secara sosial, cenderung sulit bersosialisasi, karena biasanya dianggap sebagai “istri simpanan” atau “istri tidak sah”. Karena itu, Komisi Fatwa MUI yang bersidang tanggal 2 Februari 2008, melalui KH. Ma’ruf Amin menegaskan bahwa hukum nikah yang awal (nikah dibawah tangan) sah karena memenuhi ketentuan syar’i, tetapi menjadi haram karena ada yang menjadi korban. Dengan demikian “haramnya itu datangnya belakangan”. Pernikahannya sendiri tidaklah batal, tetapi menjadi berdosa karena mengorbankan hak-hak hukum istri dan anak. “sah tapi haram” kalau sampai terjadi korban.
Mengenai alasan perceraian seperti yang tertuang dalam PP Nomor 9 tahun 1975 pasal 19 jo. Penjelasan pasal 39 UU no. 1/1974, dan dilengkapi KHI pasal 116 hurup (g) dan (h), secara eksplisit menunjukkan alasan perceraian karena kesalahan salah satu pihak, karenanya, dipandang masih belum berkeadilan dan bias gender. Sebab, pihak yang dituduh “bersalah” tidak dapat mengajukan perceraian ke pengadilan berdasarkan pristiwa yang timbul karena kesalahan pemohon/penggugat. Di lain pihak Mahkamah Agung dalam putusannya no. 38 K/AG/1980, tanggal 5 Oktober 1981 menetukan bahwa perceraian dapat dilaksanakan apabila perkawinan sudah pecah dan sukar untuk dirukunkan kembali, tampa melihat siapa yang bersalah dari perselisihan itu. Sedangkan alasan-alasan sebagaimana dimaksud merupakan qarinah (petunjuk) bahwa perkawinan yang telah dibina itu sudah tidak bisa dipertahankan keutuhannya, sehingga tujuan perkawinan sebagaimana dikehendaki oleh syari’at Islam yaitu mawaddah, warahmah, tidak bisa tercapai lagi.
Tentang pernikahan beda agama, secara teoritis, UU No. 1/1974 tidak memberi ruang bagi bolehnya pernikahan beda agama, demikian pula MA dalam surat edarannya No. 1000/1980 menetapkan bahwa pernikahan harus dilangsungkan menurut agama suami. Dalam hal ini MUI, juga mengeluarkan fatwa sebanyak dua kali, yaitu pada Munas II MUI, tanggal 11-17 Rajab 1400 H/ 26 Mei- 1 Juni 1980 M, dan pada Munas VII, tanggal 19-22 Jumadil Akhir 1426 H/ 26 – 29 Juli 2005 M di Jakarta. Isinya melarang (hukumnya haram) wanita non muslimah kawin dengan laki-laki muslim, dan begitu pula sebaliknya. Dari sisi praktisnya, pernikahan lintas agama akan berdampak negatif, antara lain; (1) akan terjadi konflik kepentingan terhadap anak; (2) akan berdampak pada psikologis anak dalam menentukan identitas diri; (3) ketegangan teologis antara agama yang berbeda; dan (4) memunculakan konflik agama. Namun demikian, tidak sedikit pihak-pihak yang “membolehkan” pernikahan lintas agama dengan alasan menghormati hak asasi manusia dan menolak diskriminasi, bahkan mereka mengusulkan agar dilakukan amandemen terhadap UU No. 1/1974. Mengatasi permasalahan ini, menurut Guru Besar Hukum Perdata UI, Prof. Wahyono Darmabrata mengemukakan bahwa ada empat cara yang popular ditempuh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan, yaitu; pertama, meminta penetapan pengadilan agama; kedua, perkawinan dilakukan menurut agama masing-masing secara bergiliran; ketiga mengikuti sementara salah satu agama saat menikah (dan kembali ke agama masing-masing setelah berumah tangga); dan keempat melaksanakan pernikahan di luar negeri.
Diskursus modernitas yang mengiringi globalisasi, seperti demokrasi, hak asasi manusia, keadilan, non diskriminasi, dan lain-lain, sering mengusik kemapanan pranata keagamaan, termasuk perkawinan, khususnya konsepsi perkawinan Islam. Disadiri atau tidak, wacana-wacana tersebut dalam beberapa hal sering kali berbenturan atau bahkan dibenturkan dengan pranata Islam, seperti isu-isu tentang poligami, kawin beda agama, kewarisan, pidana Islam, dan lain-lain. Adanya harmonisasi krangka berfikir keagamaan dalam merespon masalah-masalah aktual kemasyarakatan (terkait dengan isu-isu modernitas) akan mengantarkan kita kepada pemikiran yang jernih dan respon yang proporsional. Kesalahan cara pandangan dalam menyikapi masalah tersebut di atas akan berdampak pada kerancauan berfikir. Isu-isu konterporer semisal perkawinan beda agama, larangan poligami dan nikah di bawah tangan (nikah sirri), semuanya berdasarkan kepada semangat keadilan dan non diskriminasi. Pemahaman keagamaan yang relatif mapan dirasionalisasi sedemikian rupa dan dipaksa untuk tunduk pada cara pandang modernitas, yang kita seharusnya sepakat dalam implementasinya, pasti mengandung unsur lokalitas dan temporal. Artinya, membincangkan masalah keagamaan, sekalipun dalam krangka kontekstualisasi dengan realitas kekinian, harus berpijak dan menggunakan krangka berfikir keagamaan. Dengan demikian, dalam konteks legalisasi hukum nasional, terutama yang terkait dengan norma dan hukum agama, mesti harus menjadikan hukum Islam sebagai norma yang hidup ditengah mayoritas masyarakat Indonesia, sebagai basis pijakan, ditambah dengan peraturan perundang-undangan lainnya, termasuk produk hasil ratifikasi hukum internasional, berfungsi sebagai pertimbangan penetapan hukum, bukan sumber hukum.



2. Tinjauan Kritis Genre Pemikiran Fikih; dari Fikih Shahabat ke Imam Mazhab

A. Urgensi dan karakteristik fikih Shahabat

Fikih Shahabat memperoleh kedudukan yang sangat penting dalam hazanah pemikiran Islam. Pertama, shahabat adalah orang yang yang paling banyak mengetahui seluk-beluk sumber rujukan Islam yang utama (al-Qur’an dan al-Sunnah). Dari merekalah kita mengenal Sunnah Rasulullah, dan dari mereka pula kita mewarisi ikhtilaf di kalangan kaum muslimin. Kedua, zaman shahabat zaman segera setelah berakhirnya tasyri’. Inilah embrio ilmu fikih yang pertama. Bila pada masa tasyri’ orang memverifikasi pemahaman agamanya dengan merujuk ke Rasulullah, pada masa shahabat rujukan itu adalah diri sendiri. Ketiga, ijtihad para shahabat menjadi rujukan yang harus diamalkan, prilaku mereka menjadi sunnah yang diikuti. Keempat, ini yang terpenting, ahlus sunnah sepakat menetapkan bahwa seluruh shahabat adalah baik (al-shahabiy kulluhum ‘udul), mereka tidak boleh dikritik dan dipersalahkan.
Salah satu faktor determinan terjadinya ikhtilaf diantara shahabat adalah prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah yang tidak terjadi pada zaman Nabi, hal ini memunculkan dua pandangan; Kelompok pertama, memandang bahwa otoritas untuk menetapkan hukum-hukum Tuhan dan menjelaskan makna al-Qur’an sepeninggal Nabi adalah ahlul bait. Kelompok kedua, berpendirian bahwa tidak ada orang tertentu yang ditunjuk rasul untuk menafsirkan dan menetapkan perintah Ilahi. Dari kelompok kedua inilah mulai berkembang metode-metode ijtihad seperti qiyas dan istihsan. Semua khalifah al-rasyidin termasuk kelompok kedua ini, kecuali Ali bin Abi Thalib. Kelompok kedua lebih banyak menggunakan ra’yu dan dalil aqly, sementara kelompok pertama lebih banyak merujuk nash dan menggunakan dalil naqly. Kadang-kadang ikhtilaf terjadi di kalangan shahabat karena perbedaan pengetahuan yang mereka miliki, sebagian shahabat, misalnya, mengetahui nash tertentu, sebagaian lain tidak mengetahuinya.
Dari segi prosedur penetapan hukum, ada dua cara yang dilakukan shahabat. Kedua cara ini melahirkan dua mazhab besar di kalangan mereka, yaitu Mazhab ‘Alawi (kalangan ahlul bait) dan Mazhab ‘Umari, yang akhirnya mewariskan kepada kita sekarang sebagai Syi’ah dan Ahli Sunnah. Shahabat Miqdad, Abu Dzar, ‘Ammar bin Yasin, Hudzaifah, dan sebagian besar Bani Hasyim, merujuk pada ahlul bait dalam menetapkan masalah-masalah hukum yang baru. Ada tiga tahap dalam ijtihad para shahabat, yaitu ; (1) merujuk pada nash al-Qur’an dan Sunnah; (2) menggunakan metode-metode ijtihad, seperti qiyas bila nash tidak ditemukan; (3) mencapai kesepakatan lewat proses perkembangan opini publik yang alamiah.



B. Fikih Tabi’in: Fikih Ushul

Setelah Nabi Saw meninggal dunia, orang-orang bertanya kepada para shahabat dalam urusan hukum-hukum agama. Tidak semua shahabat menjawab pertanyaan mereka; dan mereka pun tidak bertanya kepada semua shahabat. Sebagian shahabat sedikit sekali mengeluarkan fatwa, mungkin karena ketidaktahuan, kehati-hatian, atau mungkin pertimbangan politik. Sebagian lagi banyak memberi fatwa, mungkin karena pengetahuan mereka, atau karena posisinya memungkinkan untuk itu.
Menarik untuk dicatat, bahwa dalam hazanah fikih ahlus sunnah, para khalifah sedikit sekali memberi fatwa atau meriwayatkan hadits. Abu Bakar meriwayatkan hanya 142 hadits, Umar 537 hadits, Utsman 146 hadits, Ali 586 hadits. Jika semua hadits mereka disatukan hanya berjumlah 1411 hadits, kurang dari 27% hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah (Abu Hurairah meriwayatkan 5374 hadits). Karena itu, para tabi’in, yakni mereka yang berguru pada shahabat, umumnya bukanlah murid al-khulafa al-rasyidin. Kebanyakan, menurut Abu Zahrah, murid-murid shahabat itu para mawali (non Arab). Fikih tabi’in, karena itu, umumnya fikih mawali. Dari shahabat para tabi’in mengumpulkan dua hal, yaitu hadits-hadits Nabi dan pendapat-pendapat para shahabat. Bila ada masalah baru yang tidak terdapat pada kedua hal tersebut, mereka melakukan ijtihad, seperti metode yang dilakukan para shahabat. Banyak diantara tabi’in yang mencapai fuqaha, sehingga banyak shahabat yang berguru pada mereka. Ada tujuh orang fakih tabi’in yang terkenal (al-fuqaha al-sab’ah), yakni : Sa’in bin Musayyab (w. 93H), ‘Urwah bin al-Zubair (w. 94 H), Abu Bakar bin ‘Abid (w. 94 H), Al-Qasim bin Muhammad ibnu Abi Bakar (w. 108 H), Abdillah bin Abdillah (w. 99 H), Sulayman ibnu Yasar (w. 100 H), dan Kharijah ibnu Zaid bin Tsabit.


C. Terbentuknya Fikih Mazhab

Keempat mazhab yang paling popular (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) tumbuh pada zaman kekuasaan dinasti Abbasiyyah. Pada zaman sebelum itu, bila orang berbicara tentang mazhab, maka yang dimaksud adalah mazhab di kalangan shahabat Nabi : Mazhab Umar, Aisyah, Ali, Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan sebagainya. Para shahabat dapat di kelompokkan dalam dua besar, yaitu Ahlul Bait dan para pengikutnya, juga para shahabat di luar ahlul bait, Ali dan kedua putranya, Abu Dzar, Miqdad, ‘Ammar bin Yasir, Hudzaifah, Abu Rafi’ Maula Rasulullah, Ummi Salamah, dan lain-lain, masuk kelompok pertama. Sedangkan Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah, Abu Hurairah dan lain-lain masuk kelompok kedua.
Murthadha al-Askary menyebut dua mazhab awal ini sebagai Madrasah Ahlul Khulafa dan Madrasah Ahlul Bait. Kedua madrasah ini berbeda dalam menafsirkan al-Qur’an, memandang sunnah Rasulullah, dan melakukan istinbhat hukum. Pada zaman kekuasaan dinasti Umawiyyah, madrasah al-khulafa bercabang lagi ke dalam dua cabang besar, yakni madrasah al-hadits dan madrasah al-ra’yi. Yang pertama, berpusat di Madinah, melandaskan fikihnya pada al-Qur’an, Sunnah dan ijtihad shahabat, dan sedapat mungkin menghindari ra’yi dalam menetapkan hukum. Yang kedua, berpusat di Iraq, sedikit menggunakan hadits, dan lebih banyak berpijak pada penalaran rasional dengan melihat sebab hukum (illat) dan tujuan syara’ (maqashid al-syari’ah). Sementara itu, madrasah ahlul bait, tumbuh “di bawah tanah” mengikuti imam mereka. Karena tekanan dan penindasan, mereka mengembangkan esoterisme dan disimulasi untuk memelihara fikih mereka. Ibnu Quthaybah dalam kitab ikhtilaf menceritakan bagaimana raja-raja Umawiyyah berusaha menghapuskan tradisi ahlul bait dengan megutuk Ali bin Abi Thalib di mimbar-mimbar, membunuh para pengikut setianya dan mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan ahlul bait. Pelanjut tradisi ahlul bait sampai sekarang adalah Syi’ah.
Pada priode Umawiyyah, madrasah-madrasah itu tidak melahirkan pemikiran-pemikiran mazhab. Dr. Muhammad Faruq al-Nabhan menjelaskan sebab-sebabnya; a) hubungan yang buruk antara ulama dan khulafa; b) terputusnya hubungan antara pusat khalifah dengan pusat ilmiah, pusat pemerintahan berada di syam dan pusat-pusat ilmiah berada di Iraq dan Hijaz; c) politik diskriminasi yang mengistimewakan orang Arab di atas non Arab. Dinasti Umawiyyah memisahkan antara Arab dan Mawali. Kebijakan ini menyebabkan timbulnya rasa tidak senang pada para mawali ---yang justru lebih banyak pada daerah kekuasaan Islam. Banyak di antara mereka adalah sarjana dalam berbagai disiplin keilmuan. Karena itu, pada permulaan pemerintahannya, Dinasti Abbasiyyah disambut dengan penuh antusias baik oleh para mawali maupun pengikut ahlul bait. Di antara mawali itu (dari kelompok ahlus sunnah) ialah Abu Hanifah dan di antara imam ahlul bait adalah Ja’far bin Muhammad. Keduanya mengembangkan ajaran mereka pada zaman Abbasiyyah. Demikian seterusnya, sampai tumbuh dan berkembang tiga mazhab besar lainnya ---Maliki, Syafi’i dan Hambali).

3. Varian Pemikiran Hukum Islam Dalam Bingkai Pemikiran Mazhab Empat

1) Paradigma Pemikiran Imam Hanafi (Motode Istidlal dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya)

Imam Hanafi atau Abu Hanifah, memiliki nama lengkap An-Nukman bin Tsabit Ibnu Zufiy al-Taimy --- yang masih ada hubungan keluarga dengan Ali bin Abi Thalib. Beliau lahir di Kuffah tahun 80 H/699 M. dan wafat di Baghdad tahun 150 H/767 M. Beliau di panggil dengan nama Abu Hanifah karena anak beliu yang pertama bernama Hanifah yang berarti “tinta” atau “condong kepada kebenaran”. Beliau terkenal sebagai ulama besar yang diberi julukan “al-Imam al-A’dzhom” yang sangat cerdas,’ alim dan ahli ibadah. Menurut penuturan murid-murid dan orang terdekatnya, bahawa beliau selama 40 tahun melaksanakan shalat subuh dengan wudhu’ shalat isya’ (artinya selama itu beliau tidak pernah tidur malam, ia habiskan waktunya untuk ibadah).
Pada abad ke-2 hijriyyah, Imam Abu Hanifah memulai belajar ilmu fikih pada madrasah Kuffah di Irak, yang dirintis oleh Abdullah bin Mas’ud (w. 63 H/682) dan beliau berguru fikih dan hadits selama 18 tahun kepada Hammad bin Abu Sulaiman al-Asy’ary, murid dari Alqomah bin Qais dan Ibrahin al-Nakho’iy al-Tabi’iy (qodi Syuriah). Pada madrasah inilah Imam Hanafi banyak belajar pada para fuqaha’ dari kalangan tabi’in seperti Atha’ bin Rabah, Nafi’ Maula bin Umar dan Amir ibnu Syahril al-Sya’biy. Beliau juga pergi ke Hijjaz dan Makkah untuk mendalami ilmu fikih dan hadits. Di sana beliau bertemu dan berdiskusi dengan murid Abdullah bin Abbas ra. Disamping hari-hari beliau disibuki sebagai kepala madrasah Kuffah, beliau juga bekerja sebagai pedagang sutra dan terkenal sebagai ahli perancang mode (kaana bazzaazan fi Kuffah). Imam Abu Hanifah hidup pada kurun dua dinasti, yaitu Umayyah selama 52 tahun dan Abbasiayh selama 18 tahun. Beliau termasuk ulama yang tangguh dalam memegangi prinsip dan mencurahkan hidupnya untuk pengembangan ilmu-ilmu agama. Beliau menolak tawaran jabatan qodi dan penasehat hukum kerajaan ketika diminta oleh Yazid bin Umar pada masa dinasti Umayyah dan Abu Ja’far Al-Mansur pada era abbasiah. Akibat penolakannya, ia di penjara dan dihukum mati dengan meminum racun.
Imam Hanafi dikenal sebagai ulama “ahlul ra’yi”, dimana dalam menetapkan hukum, baik yang diistimbatkan dari al-Qur’an atau Hadits, beliau selalu memeperbanyak penggunaan nalar dan lebih mendahulukan al-ra’yu dari pada khabar ahad. Jika sedang menemukan hadits yang secara lahiriah bertentangan maka beliau menetapkan hukum dengan jalan qiyas dan istihsan. Dominasi penggunaan al-aql dari pada al-naql dalam nalar fikih Hanafi, disebabakan faktor sedikit sekali perbendaharaan hadits di Irak (kuffah dan Baghdad), karena letak ke dua kota ini yang jauh dari hijaz (Makkah dan Madinah). Disamping itu, kota Kuffah dan Baghdad yang letaknya ditengah-tengah kebudayaan Persi dengan kondisi sosial kemasyarakatan yang telah mencapai tingkat peradaban cukup tingi, banyak bermunculan berbagai macam bentuk persoalan kemasyarakatan yang memerlukan penetapan hukumnya, padahal persoalan-persoalan tersebut belum pernah terjadi di masa Nabi, Sahabat dan Tabi’in, sehingga untuk menghadapinya diperlukanlah ijtihad dan al-ra’yu.
Dalam menetapkan hukum syar’i, pertama-tama beliau mengambil dari al-Quran, jika tidak ada, ia mencarinya dalam al-sunnah yang benar-benar saheh dan tersebar secara masyhur, bila tidak ada, ia mempelajari fatwa-fatwa para sahabat yang terpercaya, kalau tidak ada, baru beliau berijtihad. Imam Abu Hanifah dalam beristidlal tidak selalu memutuskan perkara melalui dalalahnya yang qat’i dari al-Qur’an dan Sunnah yang kesahehannya masih diragukan, tetapi menggunakan ra’yi, sebab beliau sangat selektif dalam menerima al-sunnah sehingga beliau tetap memperhatikan mu’amalah manusia dan adat istiadat serta ‘urf mereka. Karena itu beliau terkenal sangat arif, lues dan bijaksana, hal ini tercermin dari ucapan dan pengakuan beliau, “inilah pendapatku dan jika ada orang yang membawa pendapat yang lebih kuat dariku, maka pendapatnya itulah yang benar”. Dengan demikian Imam Abu Hanifah dalam beristimbat tetap mempergunakan al-qiyas sebagai dasar pegangan, jika tidak bisa dengan jalan qiyas, beliau berpegangan pada istihsan, dan kalau tidak bisa, baru beliau berpegang pada adat dan ‘urf.
2) Paradigma Pemikiran Imam Maliki (Motode Istidlal dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya)

Nama lenkap beliau adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amar al-Asybahi al-‘Arobiy al-Yamniyyah. Beliau dilahirkan tahun 93 H/712 M di Madinah dan meninggal tahun 179 H/789 M dalam usia 87 tahun. Kakeknya bernama Malik termasuk golongan tabi’in yang banyak meriwayatkan hadis dari Umar bin Khattab, Usman bin affan dan Talhah, sehingga wajar jika beliau tumbuh sebagai sosok ulama terkemuka di bidang ilmu hadits dan fikih. Beliau belajar ilmu hadits pada Nafi’ Maula Ibnu ‘Umar, Ibnu Syaibah al-Zuhri, Abu al-Zandi, Yahya bin Sa’id al-Anshary. Periwayatan hadits banyak beliau peroleh dari Nafi’ Maula Ibnu ‘Umar alias Abu Suhail (salah satu guru Imam Zuhri). Ilmu fikih beliau pelajari dari Rabi’ah bin Abdurrahman (Rabi’ah al-Ra’yi) salah satu tokoh mazhab al-ra’yi dan pada Abdurrahan bin Hurmuz selama 7 tahun, sehingga tokoh terakhir ini banyak mempengaruhi nalar fikih Imam Malik. Beliau juga sering melakukan diskusi dan kajian dengan ulama-ulama terkemuka, salah satunya adalah Imam Hanafi. Saking terkesannya Imam Hanafi akan keilmuan Imam Malik, sehingga salah satu murid Imam Hanafi, yaitu Hasan al-Syaibany (guru Imam Syafi’i) berlajar pada Imam Malik.
Kitab al-Muwaththa’, salah satu karya Imam Malik yang paling monumental, merefleksikan kedalaman ilmu hadits dan fikihnya, maka wajar bila Imam Syafi’i menyatakan bahwa “tidak ada satupun kitab setelah kitab Allah di muka bumi ini yang lebih sah dari pada kitab al-Muwaththa’, karenanya apabila datang kepadamu al-hadits dari Imam Malik pegang teguhlah, karena ia menjadi hujjah bagimu”. “Imam Malik adalah sepesialis ahali hadits yang paling mengetahui tentang keputusan-keputusan Abdullah bin Umar, A’isyah, dan sahabat-sahabat mereka”, komentar Imam al-Dahlawi. Imam Malik terkenal akan sikap kehati-hatian dalam memberikan fatwa dan meriwayatkan suatu hadits serta keteguhan hati dalam memegangi ijtihadnya. Demikian hati-hatinya, sehingga beliau tidak pernah memberikan fatwa dan meriwayatkan suatu hadits selama 70 orang ulama belum mau membenarkan dan mengikuti kebenaran fatwanya. Keteguhan pendiriannya, sering kali membuat ia berbenturan dengan sikap para penguasa. Beliau menolak permintaan khalifah Harun al-Rasyid, ketika melarangnya meriwayatkan hadits, ia juga tidak mau mencabut fatwanya yang bertentangan dengan khalifah al-Manshur dari Bani Abbasiyah di Baghdad, akibatnya beliau mendapat siksaan berat dan dihukum penjara. Imam Malik termasuk ulama ahlus sunnah wal jama’ah yang beraliran ahlul hadits, sekalipun demikian hal ini tidak berarti Imam Malik menolak secara mutlak terhadap al-ra’yu, kerena beliau juga tetap menggunakan prinsip maslahah mursalah dan istihsan, sebagai dasar pengambilan hukum aliran ahlul ra’yi.
Metode istidlal Imam Malik berpegang pada hal-hal sebagai berikut :

a) Al-Qur’an . Beliau mendasarkan atas dzahir nash secara umum yang meliputi mafhum mukhalafah dan mafhum aulawiyyah dengan tetap memperhatikan illatnya.
b) Al-Sunnah. Beliau tidak tekstualis dalam berpegang pada al-Qur’an dan al-Sunnah, artinya jika nahs syara’ menghendaki ta’wil, ia berpegang pada makna ta’wilan. Bila terjadi pertentangan antara makna dzahir al-Qur’an dengan makna yang terkandung dalam hadits, sekalipun sharih, ia mengambil makna dzahir al-Qur’an. Akan tetapi jika makna yang terkandung dalam al-hadits tersebut dikuatkan oleh ijma Ahlul Madinah, beliau berpegang pada makna hadits.
c) Ijma Ahlul Madinah. Yaitu kesepakatan bersama yang berasal dari hasil mereka mencontoh Rasulullah Saw, bukan dari hasil ijtihad mereka, seperti masalah ukuran mud dan sha’, penetapan mimbar Nabi, penentuan amalan-amalan rutin, dll.
d) Fatawa Sahabat. Yaitu ketentuan hukum yang telah diamalkan oleh sahabat besar berdasarkan naql, dan yang tidak bertentangan dengan hadits marfu’. Fatwa sahabat dijadikan sebagai hujah dalam Mazhab Maliki dan didahulukan dari pada qiyas.
e) Khabar Ahad dan Qiyas. Imam Malik lebih mendahulukan qiyas dan maslahah dari pada khabar ahad, kecuali jika keberadaanya benar-benar sudah popular di kalangan Masyarakat Madinah.

f) Al-Istihsan. Adalah menetukan hukum dengan mengambil mashlahah sebagai bagian dalil yang bersifat menyeluruh (kulli) dengan maksud mengutamakan istidlalul mursah dari pada qiyas, dan penggunaan istihsan di dasarkan pada maqasid al-syari’ah. Istihsan berarti lebih mementingkan dalil juz’iyyah di banding dengan dalil kulli, atau beralih dari qiyas yang satu ke qiyas lain bila penerapan qiyas pertama akan menghilangkan mashlahah dan mendatangkan mudarat. Istihsan juga bermakna berpindah dari satu dalil ke dalil lain yang lebih kuat, dalil tersebut bisa berupa ijma’, ‘urf, maslahah mursalah, atau kaidah “raf’ul jarah wa al-masyaqqah” (menghindarkan kesempitan dan kesulitan).
g) Al-Maslahah al-Mursalah. Yaitu maslahah yang ketentuan hukumnya dalam nash tidak ada, dengan ketentuan ; Maslahah itu benar-benar hasil penelitian, bukan perkiraan dan pengamatan sepintas, Maslahah harus bersifat umum untuk masyarakat, serta tidak bertentangan dengan nash atau ijma’. Di kalangan Hambaliyah menyebutnya dengan istilah istishlah. Imam Syafi’i dan Ghazali menolak maslahah mursalah karena hanya berdasarkan pertimbangan akal fikiran atau perasaan saja.
h) Sadd al-zara’i. Adalah menutup jalan atau sebab yang menuju kepada hal-hal yang dilarang, karena semua jalan atau sebab yang bisa mengakibatkan terbukanya kemaksiatan, maka sesuatu itu jika dilakukan hukumnya haram.
i) Istishhab. Yaitu tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah berlaku dan sudah ada di masa lampau. Maka sesuatu yang sudah diyakini adanya, kemudian datang keraguan atas hilangnya sesuatu yang sudah diyakini adanya itu, maka hukumnya tetap seperti hukum pertama.
j) Syar’un man Qoblana. Adalah syariat atau hukum yang pernah berlaku buat ummat sebelum kita melalui para rasul dan hukum tersebut dijelaskan dalam al-Qur’an atau sunnah yang sahih, maka hukum tersebut berlaku pula untuk kita, seperti printah puasa wajib di bulan ramadhan, berhaji, menikah, dll.

3) Paradigma Pemikiran Imam Syafi’i (Motode Istidlal dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya)

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’i bin Sa’id bin Abu Yazid bin Hakim bin Muthalib bin Abdul Manaf. Dari pihak ayah beliau berjumpa dengan nasab Nabi Muhammad Saw pada Abdul Manaf. Beliau lahir di Kota Gazzah, tepi Laut Tengah, Palestina tahun 150 H/767 M. bertepatan dengan malam meninggalnya Imam Hanafi, dan beliau wafat tahun 240 H/822 M. di Mesir. Dalam usia 9 tahun beliau sudah hafal al-Qur’an dan mempelajarinya pada Isma’il bin Qusrahantein. Beliau sangat menguasai sastra Arab dan seluk-beluk bahasa Arab. Beliau belajar hadits dan fikih pada Imam Malik bin Anas dan Sufyan bin ‘Uyainah di Madinah, sehinga beliau sudah diangkat menjadi mufti Makkah dalam usia 15 tahun. Beliau mulanya bermazhab Malikiyyah karena beliau murid Imam Malik. Sepeninggal Imam Malik, beliau pindah ke Baghdad. Di sana bertemu Ahmad bin Hambal dan kemudian menjadi muridnya. Di Baghdad Imam Syafi’i berguru pada Muhammad bin Hasan al-Syaibani (murid Imam Hanafi).
Imam Syafi’i termasuk ulama yang memiliki prototype sebagai ahlul al-hadits, karena dipengaruhi pemikiran Imam Malik, juga sebagai ahlul al-ra’yi (karena dipengaruhi pemikiran al-Syaibani, murid Imam Hanafi yang ahl ra’yi). Namun demikian, Imam Syafi’i lebih mengutamakan naql dari pada aql dalam perumusan-perumusan hukumnya. Dalam bidang hadits, beliau sebagai peletak pertama tentang kaidah periwayatan al-hadits, juga orang pertama yang mempertahankan posisi al-hadits yang melebihi gurunya (Imam Malik), bahkan sering pendapat beliau bertentangan dengan pandangan Imam Hanafi dan Imam Malik, sebab al-hadits yang sanadnya shahih dan muttashil, wajib diamalkan, tanpa harus dikaitkan dengan amalan ahlul Madinah sebagaimana yang disyaratkan oleh gurunya Imam Malik dan tidak pula harus ditentukan syarat yang terlalu banyak dalam penerimaan hadits, sebagaiman yang disyaratkan oleh Imam Hanafi.
Disamping itu, Imam Syafi’i memiliki dua pandangan ijtihad yang dikenal dengan sebutan qaul qadim yang tertuang dalam kitabnya al-hujjah yang ditulis di Irak, dan qaul jadid yang tertuang dalam kitabnya al-umm yang ditulis di Mesir. Terwujudnya dua pandangan ijtihad beliau yang berbeda merupakan refleksi pemikiran sebagai hasil pergulatan dengan situasi dan kondisi di Irak dan di Mesir yang jauh berbeda. Qaul qadim adalah pandangan Imam Syafi’i yang merupakan perpaduan fikih Iraq yang rasional dengan fikih ahlul al-hadits yang tradisional. Qaul qadim merupakan sekumpulan fatwa Imam Syafi’i terhadap 20 masalah. Sebagian besar pandangan beliau dalam Qaul jadid merupakan tinjauan ulang dan koreksi terhadap pandangan beliau dalam qaul qadim dan juga kumpulan fatwa beliau terhadap masalah-masalah baru yang belum dibahas sebelumnya. Sebab Mesir saat itu merupakan daerah metropolis yang maju, sehingga mengharuskan prinsip mashlahah menjadi pertimbangan yang sangat penting dalam penetapan hukum, berbeda dengan Baghdad saat itu merupakan daerah yang sangat sederhana dan sangat terbelakang di banding daerah lain.
Dasar-dasar istimbath hukum Imam Syafi’i, yaitu Al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ dan qias. Beliau juga menjadikan hadits ahad sebagai hujjah, dengan syarat bahwa perawinya, benar-benar terpercaya, berakal sehat dan mampu memahami apa yang diriwayatkannya, memiliki ingatan yang kuat, mendegnar sendiri al-hadits secara langsung dari orang yang menyampaikannya, dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an, sunnah, dan hadits mutawattir. Ijma’ dalam pandangan Imam Syafi’i adalah kesepakatan para ulama pada suatu masa di seluruh duinia Islam, bukan ijma’ satu negara tertentu atau kelompok tertentu. Ijma’ Shahabat menurut Syafi’i adalah ijma’ yang paling kuat dan harus diterima sebagai hujjah. Imam Syafi’i adalah peletak dasar pertama bangunan hukum Islam sebagai sebuah ilmu yang berdiri sendiri, yaitu melalui rumusan kaedah ushul fiqhnya yang tertuang dalam kitabnya al-risalah dan melalui krangka teoritis dan metodologi qiyasnya.




4) Paradigma Pemikiran Imam Ahmad bin Hambal (Motode Istidlal dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya)

Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad ibnu Hambal ibnu Asad ibnu Idris ibn Abdullah ibn Hasan al-Syaibaniy. Beliau lahir di Baghdad tahun 164 H/780 M dan wafat pada tahun 241 H/855 M dalam usia 70 tahun. Sama seperti Imam Syafi’i, gurunya yang senang mengembara ke berbagai tempat, seperti Syiria, Hijaz, Yaman, Kuffah dan Bashrah hanya sekedar untuk menuntut ilmu pengetahuan dan belajar hadits. Penguasaan beliau terhadap hadits, ia tuangkan dalam kitabnya al-Musnad bin Hambal, yang memuat tidak kurang dari 40.000 hadits. Beliau teguh dalam memegang prinsip dan pendapat, meski bertentangan dengan penguasa, akibatnya beliau di penjara oleh Khalifah al-Watsiq bertahun-tahun lamanya.
Pada mulanya beliau belajar fikih pada Abu Yusuf al-Hasan bin Ziyad, salah seorang murid Abu Hanifah, kemudian beliau belajar kepada Imam Syafi’i dalam waktu yang cukup lama. Dalam bidang hadits, beliau belajar pada Sufyan ibnu ‘Uyainah, Ibrahim ibnu Sa’ad dan Yahya bin Qothan. Karena keahliannya dalam ilmu hadits, sehingga para ulama memasukkannya dalam kelompok muhadditsin, bukan ulama ahli fikih. Karena ia tidak pernah menulis secara khusus kitab fikih, kalaupun ada masalah fikih yang dikaitkan dengan beliau itu hanyalah berasal dari fatwa-fatwanya terhadap masalah yang pernah diajukan kepadanya, sedang yang menyusunnya sehingga menjadi sebuah kitab fikih adalah para pengikutnya.
Fikih Ahamad bin Hambal pada dasarnya lebih banyak didasarkan pada al-hadits, dalam artian jika terdapat al-hadits al-shahih, yang diambil hanyalah hadits shahih tampa mau memperhatikan pada adanya faktor lainnya. Dan jika ditemukan adanya fatwa shahabat, maka fatwa shahabatlah yang diamalkan. Akan tetapi jika ditemukan adanya beberapa fatwa para shahabat dan fatwa mereka tidak seragam, maka yang dipilih fatwa yang mendekati al-qur’an dan al-hadits. Bila para shahabat itu berbeda dalam suatu masalah, maka keduanya dipakai sebagai hujjah, Akan tetapi manakala ditemukan adanya al-hadits al-mursal atau dha’if, maka beliau lebih mendahulukan al-hadits dari pada qiyas. Karena hal itulah, qiyas tidak akan digunakan kecuali dalam keadaan terpaksa, sehingga beliau tidak senang menggunakan fatwa yang tampa ada dasar atsar atau nash.
Kota Baghdad ketika itu di bawah pemerintahan Khilafah Isma’iliyyah, peradabannya jauh lebih maju, begitu juga masyarakatnya jauh lebih heterogen, sehingga masalah hukum yang muncul lebih banyak dan lebih variatif di banding Hijaz pada umumnya. Dalam Kondisi demikian, beliau mengembangkan ajarannya, lebih-lebih beliau lebih dominan menggunakan perspektif ahlul al-hadits, maka dengan mudah dapat melihat terjadinya perbedaan hasil ijtihad antara Imam Hanafi dan Ahmad bin Hambal, meski keduanya hidup dalam satu kota. Karena beliau termasuk ahli hadits bukan ahli fikih, maka tampak dengan jelas bahwa as-sunnah sangat mempengaruhi dirinya dalam penetapan hukum. Pengalaman beliau yang selalu rihlah (mengembara) ke beberapa kota dan melihat perkembangan kehidupan, sedikit banyak berpengaruh dalam pandangan hukumnya, maka dalam mensikapi keadaan sosial politik, selalu menggunakan mashlahah mursalah dan istihsan selama tidak ditemukan nash atau qaul shahabat. Karena konsistensinya berpegang pada al-hadits maupun atsar, dan takut untuk menyimpang darinya, sehingga bila terjadi perbedaan diantara tabi’in beliau tidak berani menyikapinya, dan akibatnya beliau tidak terlalu memperdulikan adanya perbedaan pandangan fikih di kalangan fuqaha’. Itu sebabnya, oleh para ulama, beliau di masukkan dalam kelompok muhadditsin bukan ahli fikih.
Dengan demikian dapat diresensi bahwa metode istidhlal Imam Ahmad bin Hambal yang dipakai dalam menetapkan hukum Islam adalah sebagai berikut :
a) Al-Qur’an dan al-Sunnah al-Shahih
Jika ada nash, baik dari al-Qur’an maupun al-Sunnah al-Shahih, maka beliau langsung menetapkan hukum tampa mempertimbangkan faktor-faktor lainnya, seperti mashlahah, ijma’, qiyas, urf, dan koteksnya.
b) Fatwa para shahabat
Bila tidak ada nash, beliau menggunakan fatwa shahabat yang tidak ada perselisihan, jika terjadi perselisihan, maka yang diambil adalah fatwa-fatwa yang beliau pandang lebih dekat kepada nash.
c) Al-Hadits al-Mursal dan al-Hadits al- Dha’if
Dalam keadaan tidak ditemukan nash maupun fatwa shahabat, maka beliau memakai hadits dha’if sebagai sumber hukum.
d) Al-Qiyas
Jika dari semua sumber diatas tetap saja tidak ditemukan, maka beliau menetapkan hukum Islam mempergunakan qiyas atau mashlahah mursalah, terutama dalam bidang sosial politik.



4. Perbedaan dan Persamaan Istimbat Hukum Empat Imam Mazhab

Para imam mazhab yang empat tersebut, terdapat persamaan dan perbedaan dalam beristimbat, berikut penjelasannya :
1) Terhadap al-Qur’an, para imam mazhab tidak ada perbedaan dalam penggunaannya sebagai dasar hukum, hanya saja dalam penggunaan al-sunnah masih diperselisihkan diantara ke-empat imam mazhab tersebut :
• Imam Hanafi berpendapat bahwa al-hadits yang dipergunakan sebagai dasar hukum harus yang kuat dan tingkatannya shahih, bahkan kalau bisa yang mutawattir. Jika tidak ditemukan al-hadits dengan kategori tersebut, lebih baik menggunakan ra’yu dalam bentuk qiyas, karena lebih dijamin daripada mengunakan al-hadits yang lemah status keshahihannya. Selain itu, Imam Hanafi juga menggunakan istihsan dalam arti “kebaikan umum” .
• Imam Malik berpendapat bahwa dasar hukum yang kedua adalah al-hadits, sebagaiman Hanafi, tetapi jika terjadi kontradisksi dengan amalan penduduk Madinah, maka beliau lebih mendahulukan amalan ahlul Madinah.
• Imam Syafi’i berpendapat bahwa dasar hukum ke dua setelah al-Qur’an adalah al-hadits, dan ia lebih mengutamakan al-hadits ketimbang al-ra’yu atau amalan penduduk Madinah.
• Imam Hambali, sama dengan ketiga imam diatas, memposisikan al-hadits sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an, hanya saja beliau lebih mendahulukan al-hadits dari pada perbuatan dan qaul shahabat maupun tabi’in jika terjadi kontradiktif dengan al-hadits.
Adapun mengenai penggunaan hadits dhaif untuk dijadikan sebagai dalil hukum, ada kelompok pendapat dikalangan imam mujtahid, yaitu; pertama, Imam Hanafi dan Imam Syafi’i tidak memperbolehkan. Hanafi lebih cenderung menggunakan ijma’ dan qiyas, sementara Syafi’i memperbolehkan pada masalah “fadhaailul amal”; kedua Imam Hambali, boleh, asalkan jangan terlalu kedhaifannya, demikian juga menurut Maliki, boleh, bila tidak bertentangan dengan amalan ahlul Madinah.
2) Mengenai selain al-Qur’an dan al-Sunnah, mereka berbeda-beda dalam menentukan sumber hukum, sebagai berikut :
o Imam Hanafi memakai ijma’ shahabat, qiyas dan istihsan.
o Imam Maliki menggunakan amalan ahlul Madinah, qiyas dan mashlahah mursalah.
o Imam Syafi’i memakai ijma’ para mujtahidin dan qiyas
o Imam Hambali menggunakan ijma’ shahabat dan qiyas


5. Nalar Fikih dan Paradigma Pemikiran Hukum Islam

Pemikiran hukum Islam merupakan proses interpretasi, proses pembacaan, proses tafsir terhadap apa yang ada di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, karena itu, boleh jadi, pemikiran Islam berbeda dengan apa yang ada dalam kitabullah. Karena sifatnya yang interpretable, tidak mutlak, maka pemikiran hukum Islam menjadi tidak tunggal, variatif dan beragam. Pada masa awal Islam (tajrubah al-madinah, madinah experience), pamikiran hukum Islam masih tunggal, karena masih ada pemegang otoritas, yakni Tuhan melalui wahyu-Nya dan Nabi melalui sunnahnya. Semua persoalan dikembalikan dan dijawab Nabi. Melalui ijtihad dan penarikan kesimpulan sendiri, Nabi sudah memulai melakukan proses berfikir lapis pertama, sebagai the first resource person. Katika Nabi tiada, yang tinggal hanya al-Qur’an. Katika ada permasalahan, orang bertanya kepada al-Quran. Kalau dalam al-Qur’an tidak ada, orang bertanya kepada shahabat. Jawaban shahabat adalah merujuk kepada apa yang pernah dikatakan, dilakukan dan di taqrir Nabi. Kembalinya kepada sunnah lagi. Meskipun demikian di sana sudah ada proses berfikir lapis kedua, ijtihad para shahabat.
Pada priode thabi’in ke thabi’ut thabi’in muncul apa yang disebut priod formation of jurisprudence, sejarah awal terbentuknya pemikiran hukum Islam. Di sana lahir imam-imam mazhab, selain mazhab Syi’ah, yang paling fenomenal hanya empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Hanafi dan Maliki bercorak empiris pragmatis, karena gagasan-gagasan hukumnya didasarkan pada pertimbangan tradisi lokal, sementara syafi’i dan Hambali bercorak idealis, karena cara berfikirnya lebih didasarkan pada ide-ide yang berasal dari al-Qur’an dan al-Sunnah, lebih banyak memperhatikan teks dari pada mempertimbangkan konteks.
Paradigma hukum Islam merupakan frame of reference, krangka dan cara berfikir, para mujtahid dalam memandang persoalan hukum yang digali dari sumber-sumber agama. Dalam tradisi pemikiran hukum Islam ada dua kutub pemikiran, yakni tradisi haditsi bersifat tekstualis dan tradisi ra’yi yang lebih kontekstualis. Ada tiga tokoh besar yang mempu mempengaruhi kaum muslimin sepanjang sejarah, yakni Imam Syafi’i, Imam Asy’ari dan Imam Ghazali. Terdapat kemiripan dari paradigma berfikir ke tiga tokoh besar tersebut, yakni al-naqlu muqaddamun ala al-aqli, mendahulukan teks dari konteks. Asyafi’i dengan qiyasnya, misalnya, kendati mencoba menggunakan rasionalitas, tetapi tetap saja harus menggantungkan diri pada teks. Kebebasan berfikir tampa teks, seperti istihsan (Hanafi) ditolak Imam Syafi’i, karena dalam pandangannya, istihsan adalah penggunaan rasionalitas semata-mata, tampa teks yang jelas.
Jika dikatakan bahwa metode berfikir Syafi’i sangat rasionalis, sebab mengutip dari fikiran-fikiran Aristotelian, satu sisi ada benarnya. Karena ilmu manthiq yang di susun Syafi’i, dasar logika dan premis-premisnya sama seperti dasar filsafat Aristotelian. Mungkin saja Imam Syafi’i membaca pikiran-pikiran Aristotelian ketika di Iraq, tetapi untuk mengeneralisasi bahwa Syafi’i dipengaruhi Aristotelian, nampaknya terlalu simplifistik, sebab tidak semua pemikiran Syafi’i didasarkan pada ilmu manthiq atau logika Aristotelian. Syafi’i malah banyak menyerang pemikiran-pemikiran Aristotelian, bahkan sampai pada tingkat mengharamkannya.
Demikian halnya, al-Asy’ari, sebagai tokoh besar yang banyak mempengaruhi cara berfikir umat Islam, khususnya kalangan ahlus sunnah. Awalnya, ia adalah seorang rasionalis, ketika menjadi pengikut Mu’tazilah yang bermazhab Hanafi. Tetapi kemudian berbalik menjadi sosok yang sangat tekstualis dan memeluk mazhab Syafi’i. Tokoh belakangan adalah al-Ghazali, yang semula merupakan tokoh filsafat, tapi kemudian menyerang filsafat. Melalui kitabnya, ihya ulumuddin, tampak jelas alur berfikirnya yang sangat tekstualis. Cara pandang yang tekstualis ini, kemudian mempengaruhi paradigma berfikir ulama-ulama sesudahnya hingga sampai ke era sekarang ini. Dari situ, kemudian muncul apa yang disebut “kebudayaan teks”. Teks (kitab) yang satu, seperti matan (bahasan pokok) disyarahi (diberi penjelasan) kemudian dihasyiyah (dikomentari). Dari hasyiyah di buat nazam (pointer-pointer), kemudian dari sana lahir khulashah (ringkasan), dari khulashah dibuat matan, lalu disyarahi lagi, dihasyiyah lagi, dan begitu seterusnya. Konstatasi ini terlihat jelas pada hazanah keilmuan Islam klasik (kitab-kitab kuning).


6. Genealogi Keilmuan Kitab Kuning

Dari sekian banyak hal yang menarik dari kegiatan bahsul masail yang tidak terdapat pada forum-forum ilmiah adalah bahan pengkajiannya yang bersumberkan pada kitab-kitab salaf (klasik) yang populer dengan sebutan kitab kuning. Disebut kitab kuning karena memang kitab-kitab tersebut dicetak diatas kertas berwarna kuning, meskipun sekarang ini telah banyak dicetak ulang pada kertas berwarna putih. Kitab kuning memang menarik, tentu saja bukan karena warnanya yang kuning --- suatu warna yang indah dan sangat cerah serta tidak menyilaukan mata--- tetapi karena kitab itu mempunyai ciri-ciri yang unik, memahaminya memerlukan keterampilan tertentu dan tidak cukup hanya dengan menguasai bahasa Arab saja. Sehingga banyak sekali orang pandai berbahasa Arab namun kesulitan mengklarifikasikan isi dan kandungan kitab-kitab kuning secara persis. Sebaliknya, tidak aneh jika terkadang ada ulama yang menguasai kitab-kitab kuning yang kurang lancar berkomunikasi memakai bahasa Arab.
Materi bahasan Kitab kuning sebenarnya tidak hanya mencakup ilmu-ilmu tafsir, ulumul tafsir, ulumul hadits, fiqh, faraid, nawu saraf dan balaghah saja, lebih dari itu, ---meskipun hanya sebagai referensi kepustakaan pesantren--- kitab kuning mencakup juga ilmu-ilmu mantiq, falaq, hisab, termasuk juga ilmu-ilmu alam, astronomi, kedokteran, matematika dsb. Sistematika penyusunan kitab-kitab kuning pada umumnya sudah begitu maju dengan urutan kerangka yang lebih besar kemudian berturut-turut sub-sub kerangka itu dituturkan sampai pada yang paling kecil. Ciri lain yang ada pada kitab kuning adalah tidak menggunakan tanda-tanda baca yang lazim. Tidak pakai titik, koma, tanda seru, tanda tanya dan lain sebagainya. Subyek dan predikat sering terpisah dengan jumlah mu’taridhah (makna yang kontradiktif antara kata dalam satu kalimat) yang cukup panjang dengan tanda-tanda tertentu. Ciri inilah yang sangat memerlukan kecermatan dan keterampilan agar pembaca memahami bentuk, makna dan kandungannya, bahkan dapat menginterpretasikan dan menganotasikan secara luas. Masih ada ciri lain khususnya yang terdapat pada kitab-kitab fikih bermazhab Syafi’i. Pada kitab-kitab ini selalu digunakan istilah (idiom) dan rumus-rumus tertentu. Misalnya untuk menyatakan pendapat yang kuat memakai istilah mazhab, al-ashab, as-sahih, arrajih, dst. Misalnya lagi unuk menyatakan kesepakatan antara ulama beberapa mazhab digunakan kalimat ijma’an dan untuk menyatakan kesepakatan interen ulama satu mazhab digunakan kalimat ittifaqan padahal kedua kata tersebut memiliki arti yang sama menurut bahasa.
Disamping istilah kitab kuning, beredar juga istilah kitab “klasik” (al-kutub al-qadimah, untuk menyebut jenis kitab yang sama). Bahkan karena tidak dilengkapi dengan sandangan (syakal), kitab kuning juga kerap disebut “kitab gundul”. Dan karena rentang waktu sejarah yang sangat jauh dari kemunculannya sekarang, tidak sedikit yang menyebut kitab kuning ini dengan “kitab kuno” . Dalam tradisi intlektual Islam kitab karya ulama itu dibedakan berdasarkan kurun waktu atau format penulisannya. Kategori pertama disebut kitab-kitab klasik (al-qutub al-qadimah), sedangkan kategori kedua disebut kitab-kitab modern (al-qutub al-ashriyah). Apa yang disebut dengan kitab kuning adalah pada dasarnya mengacu pada kategori pertama yakni kitab klasik.
Dalam forum-forum bahsul masail ini, pemaknaan teks-teks kitab kuning direlevansikan dengan kondisi dan situasi kehidupan saat ini, sehingga istilah, idiom maupun adagium yang terkandung dalam isi kitab kuning tidak kehilangan konteks bahasan. Metode pemaknaan seperti ini, dilakukan karena menyadari bahwa kitab kuning tersebut merupakan produk pemikiran ulama-ulama terdahulu ---yang boleh jadi, konteks permasalahan yang melingkupinyaa pada saat kitab tersebut ditulis, berbeda dengan setting persoalan saat ini.
Satu bentuk kekhasan dalam tradisi pembelajaran salafiyah (kajian berbasis kitab-kitab kuning) yang sudah mapan sampai kini adalah adanya rantai intlektual (intellectual chains) atau genealogi keilmuan yang tidak putus. Ini berarti bahwa antara satu kitab kuning dengan kitab kuning lainya dalam kajian fikih, baik dalam satu era maupun dari satu generasi kegenerasi berikutnya memiliki sanad ilmu (hubungan guru – murid). Sebegitu akutnya jalinan ini, sehingga terkadang seorang mushannif (pengarang/penyusun kitab) tidak akan memiliki status dan kemasyhuran hanya karena keperibadian yang dimilikinya, tetapi lebih disebabkan oleh hubungan intelektualnya dengan seorang ulama atau kyai besar.
Autentisitas (keabsahan) ilmunya dan legitimasi intelektual seorang mushannif karena ada garansi dan pengakuan sebagai murid dari ulama terkenal, dan dapat ia buktikan melalui mata rantai transmisi yang ia tulis dengan rapi dan diakui oleh tuan guru-tuan guru lain yang masyhur yang seangkatan dengan dirinya. Karenanya, dalih tabarrukan (mengambil barokah) dari ulama tertentu sering kali menjadi alasan esensial dalam menetapkan sebuah kitab kuning memiliki predikat mu’tabarah atau ghair mu’tabarah.
Habituality (kebiasaan) seorang mushannif maupun muqri’ (para pembaca atau pengajar kitab kuning) menghadiahkan bacaan fatihan kepada guru-gurunya menggambarkan pengakuan adanya jalur transmisi keilmuan dimaksud. Meskipun demikian, pada ranah pemaknaan isi teks kitab kuning, masing-masing muqri’ tidak selalu terikat oleh fram of reference gurunya, melainkan sangat dipengaruhi oleh adanya intreaksi simbolik dengan konteks. Dengan kata lain, teks mengikuti konteks.
Munculnya tradisi genealogi inelektual di kalangan para ulama adalah mengikuti genre kitab-kitab kuning. Langgam kajian suatu materi bahasan dalam kitab kuning dan desain materi pembelajarannya memakai urutan-urutan, mulai dari kitab-kitab matan yang memuat materi-materi pokok, kemudian kitab-kitab syarah, yakni kitab-kitab dengan bahasan materi lanjutan, dan sampai kepada pengkajian kitab-kitab hasyiyah yang berisi komentar-komentar dan ulasan lebih lanjut.
Paparan di bawah ini adalah salah satu contoh mengenai adanya hubungan genealogi di antara kitab-kitab kuning dalam satu kelompok bidang studi fikih terhadap kitab-kitab fikih yang paling mu’tabarah (popular) adalah ; Kelompok pertama, Kitab Muharrar karya Rafi’i (623) yang menurunkan kitab Minhaj al-Thalibin (berupa ringkasan) karya Nawawi (676) sebagai kitab generasi kedua, kemudian melahirkan kitab generasi ketiga, adalah syarah atasnya yaitu kitab Kanz al-Raghibin karya Mahalli (864), Kitab Manhaj al-Thullab karya Anshari (926), Kitab Tuhfat al-Muhtaj karya Ibnu Hajar (973), Kitab Nihayat al-Muhtaj karya Ramli (1004) dan Kitab al-Mughni al-Muhtaj karya Syarbini. Dua kitab dari generasi ketiga ini melahirkan kitab generasi ke-empat. Keduanya adalah Kitab Kanz al-Raghibin yang melahirkan kitab Hasyiyyah karya Qolyubi dan Umaira’ serta Kitab Manhaj al-Tullab yang melahirkan kitab Fathul Wahab karya pengarang yang sama, Anshari..
Kelompok Kedua, Kitab Taqrib atau Mukhtasar karya Abu Syuja’ (593). Kitab Taqrib ini melahirkan kitab generasi kedua, yang nota bene adalah kitab syarah seperti Kitab Iqna’ karya Syarbini (977), Kitab Kifayah al-Akhyar karya Dimasqi (829), dan kitab Fath al-Qharib karya Ibnu Qasyim (918). Dua dari kitab generasi kedua ini melahirkan kitab generasi ketiga yaitu kitab Iqna’ yang melahirkan dua kitab syarah, yakni Taqrir karya Awwad dan Tuhfat al-Habib karya Bujaerimi (1100) dan kitab Fath al-Qharib yang melahirkan kitab Hasyiyyah karya Al-Bajuri (1277).
Kelompok ketiga, Kitab Qurrat al-‘Ain karya Malibary (975) yang menurunkan kitab Fath al-Mu’in karya pengarang yang sama sebagai syarah atas kitab yang pertama. Fath al-Mu’in ini kemudian menurunkan dua kitab generasi berikutnya, yaitu Kitab I’anat al-Thalaibin karya Sayyid Al-Bakir (1300) dan Tarsyih Mustafidin karya Alwi al-Segaf (1300).
Selain dari ketiga kelompok kitab diatas ada satu kelompok kitab lagi yang mempunyai hubungan erat dan dianggap populer. Kitab sederhana, al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah karya Abdullah Bafadlal di pandang sebagai yang utama dalam kelompok ini. Kitab ini kemudian melahirkan kitab Syarah Minhaj al-Qowwim karya Ibnu Hajar al-Haetami, kitab Syarah ‘ala Bafadlal karya Mahfudz al-Tarmasi (1338) dan Busyra al-Karim karya Said Ibnu M. Ba’syin dan kitab Minhaj al-Qawwim menurunkan kitab Hasyiyyah al-Hawasyi al-Madaniyyah karya Sulaiman Alkurdi (1092).
Kekhasan dari kelompok terakhir ini adalah pada materi yang menjadi kandungannya berbeda dengan kitab-kitab fikih lainnya, kitab dalam kelompok ini hanya membahas masalah fikih ibadah yang meliputi ; thaharah (bersuci), shalat, zakat, puasa dan haji. Sementara bagian muamalat, hukum keluarga dan waris, hukum pidana (jinayat) dan beberapa bagian yang menjadi muatan dominan dalam kitab fikih lainnya tidak dimuat dalam kelompok kitab ini. Dari semua kitab dalam kelompok ini hanya kitab Manhaj al-Qawwim yang sampai saat ini masih sering dikaji.
Diantara kitab-kitab fikih yang menjadi sumber pembelajaran, kitab Taqrib (al-Ghahayat wa al-Taqrib) yang juga terkenal dengan Mukhtasar karya Abu Syuja’ al-Ishfahani dan syarahnya, Kitab Fath al-Qharib secara kuantitas menempati posisi yang paling tinggi. Hampir tidak ada pesantren yang tidak mengajar dua kitab ini. Dua kitab lain yang cukup populer adalah kitab pengantar Sullam Attaufiq karya Abdullah bin Husain Ibnu Thahir Ba’lawi (1272) dan Safinat al-Najah karya Salim Ibnu Abdullah bin Samir, seorang ulama Hadlarami yang tinggal di Batavia pada paruh abad ke-19.













B. MATERI POKOK (MASAILAH DINIYAH)

1. Ijab dan Qabul pada nikah, thalaq dan ruju’ jarak jauh melalui HP, SMS, telephon. Internet, dan teleconference.

Semua akad (baik nikah, thalaq dan ruju’) melalui komunikasi jarak jauh via telepon, HP. SMS, internet atau teleconference, tidak sah sebab semua alat komuikasi tersebut belum dapat dijadikan sebagai alat bukti, disebabkan belum dapat menjamin sebuah kepastian, karena besar kemungkinan terjadinya error, rekayasa, pemalsuan, atau kemungkinan tersamar. Hukum senantiasa didasari dengan asas keyakinan, sebuah keragu-raguan dan ketidak pastian tidak dapat dijadikan pegangan dalam menetapkan hukum. Sepanjang instrument, media dan alat komunikasi tersebut belum dapat mendatangkan kepastian dan memberi keyakinan, maka selama itu ia belum bisa dijadikan washilah (media) akad nikah. Maka konsekuensi logisnya bahwa akad nikah melalui alat komunikasi tersebut adalah tidak sah. Sebab hukum hanya akan sah bila didasarkan pada keyakinan. Sebagaimana kaidah ushul fiqh :
اليقين لا يزال بالشك

“Keyakinan (sebagai hukum asal) tidak dapat dikalahkan oleh keragu-raguan”

Artinya bahwa keragu-raguan terhadap sesuatu tidak dapat merubah hukum asal yang didasari pada keyakinan. Sebagai ilustrasi, sesorang telah berwudhu’ dan wudhu’nya tersebut telah dipergunakan melaksanakan ibadah (semisal shalat), kemudian selang beberapa lama, ketika akan melaksanakan ibadah dengan menggunakan wudhu’ semula, ia ragu apakah wudhu’nya itu sudah bathal atau belum. Dalam benaknya sedikitpun tidak ada keyakinan untuk itu dan tidak ada qarinah (bukti) yang menguatkan keraguannya itu, maka hukum menetapkan bahwa wudhu’nya tidak bathal dan ia dapat melanjutkan ibadah dengan wudhu’ semula. Sebagaimana penalaran logisnya pada kaidah berikut ini :

النفي بعد الإثبات الإثبات’ النفي بعد النفي النفي’ الإثبات بعد النفي النفي’ الإثبات بعد الإثبات الإثبات

“Meniadakan sesuatu setelah adanya maka hukumnya ia tetap ada, meniadakan sesuatu setelah sebelumnya ia memang tidak ada maka dihukumi tidak ada. Menyatakan ada terhadap sesuatu setelah sebelumnya memang tidak ada maka dihukumi tidak ada, dan mengadakan sesuatu yang sebelumnya memang ada maka hukumnya ada”

Dalam pernikahan, wali dan saksi termasuk rukun nikah yang kedudukan dan persyaratannya relatif sama, yakni harus Islam, baligh, berakal, sehat lahir bathin. Sementara, ketentuan mengenai syarat kesaksian dalam akad nikah, yakni melihat dan mendengar langsung obyek yang disaksikan, karenanya tidak sah kesaksian dibalik tabir, menyaksiakan hanya suara saja. Hal ini dijelaskan dalam I’anat al-Thalibin Juz IV hal 299 :

وشرط الشهادة بقوله كعقد وفسخ واقرار هو اى ابصار وسمع لقائله حال صدوره فلا يقبل فيه اصم لا يسمع شيئا ولا اعمى فى مرء لإ نسداد طرق التمييز مع اشتباه الأصوات ولا يكفلى سماع شاهد من وراء حجاب وان علم صوته لأن ما امكن ادراكه بإحدى الحواس لايجوز ان يعمل فيه بغلبة ظن جواز اشتباه الأصوات

“Menyaksikan ucapan seperti akad, fasakh dan ikrar ialah dapat melihat dan mendengar orang yang mengucapkannya ketika ia menuturkannya. Maka tidak diterima kesaksian orang yang tuli atau tidak bisa mendengar sesuatu (suara yang jelas) juga yang buta pandangan, karena tertutup jalan untuk membedakan sesuatu, serta suara itu bisa tersamar atau ditiru orang. Tidak diterima juga penyaksian orang dibalik tirai (kelambu, dinding, dan sebagainya) sekalipun ia kenal benar orangnya, karena sesuatu yang bisa diperoleh melalui salah satu panca indra, tidak boleh melakukan secara dugaan, dikarenakan suara itu bisa tersamar atau ditiru”


لا تصح شهادته لعدم رؤيته للموجب والقابل حال العقد والإعتماد على الصوت لا نظر له

“Tidak sah kesaksian orang yang tidak melihat langsung (buta) terhadap prosesi ijab qabul dan (tidak diterima kesaksian) hanya berpegang pada pendengaran saja dengan tidak melihat secara langsung”


أن الأقوال لا تثبت الا بالمعانية والسماع

“sebuah perkataan (kesaksian) tidak bisa dipegangi kecuali dengan disaksikan secara nyata dan didengarkan (secara langsung)”

Sama seperti orang yang melangsungkan akad nikah dikegelapan malam, walau kita yakin tidak ada orang ketiga selain mereka berdua, maka penyaksian terhadapnya tidak sah. Mengingat saksi merupakan salah satu rukun nikah, maka jika kesaksian dalam suatu pernikahan tidak sah, pernikahan tersebut juga menjadi tidak sah. Sebagaimana sabda Nabi Saw :
لا نكاح الا بولي وشاهدي عدل

“Tidak sah nikah melainkan dengan seorang wali dan dua orang saksi”

Mengingat bahwa sahnya sebuah kesaksian adalah harus dengan menyaksikan (melihat) langsung dan mendengar ucapan akad (ijab qabul). Dengan demikian maka akad nikah yang dilakukan dengan salah satu dari wali atau mempelai berada di luar majelis akad, menjadi tidak sah, disebabkan tidak dapat dilihat dan disaksikan secara langsung oleh para saksi pernikahan. Oleh karena wali dan saksi termasuk rukun nikah yang kedudukannya sama, maka terkait persoalan ijab qabul jarak jauh melalui alat komunikasi seperti telepon, HP. SMS, internet atau teleconference, hukumnya diilhaqkan kepada hukum kesaksian jarak jauh, dimana hukumnya tidak sah, seperti penjelasan diatas.

Sementara itu, Pengadilan Agama Jakarta Selatan telah memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama atas perkara istbat nikah dengan putusan Nomor 1751/P/1989 yang menetapkan sahnya perkawinan yang dilaksanakan dengan ijab qabul melalui pesawat telepon. Pengantin putra berada di Amerika Serikat, sedangkan pengantin putri berada di Jakarta. Perkawinan tersebut dilaksanakan karena antara kedua calon mempelai telah menjalin hubungan yang cukup lama dan belum sempat menikah, tiba-tiba calon mempelai laki-laki mendapat tugas belajar ke Amerika Serikat. Mereka ingin segera menikah, tetapi masing-masing pihak tidak ada biaya untuk pulang atau pergi ke Amerika Serikat, apalagi harus membawa rombongan. Pengadilan Agama Jakarta Selatan telah memberi putusan dengan menetapkan pernikahan yang dilaksanakan itu adalah sah menurut hukum Islam. Penetapan itu didasarkan kepada maslahat dharuriyah dalam rangka menjaga dan memelihara agama, keturunan dan kehormatan sesuai dengan yang dikehendaki oleh syari’at Islam. Hanya saja ijab qabulnya dilakukan melalui telepon, tetapi hal ini bukan merupakan suatu halangan, sebab dengan teknologi canggih seperti sekarang ini, ijab qabul dilakukannya dengan lancar tampa putus. Ketika ijab qabul dilaksanakan, hadirin yang hadir dalam majelis itu menyaksikan dan mendengar dengan jelas ijab qabul tersebut, sebab suara yang ada dipesawat itu dibesarkan dengan pengeras suara. Tidak hadirnya secara fisik pengantin pria dalam majelis itu tidak mengurangi sahnya pernikahan yang dilaksanakan itu.

Terhadap putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan itu, sebagaian ulama dikalangan mazhab Syafi’i berkomentar bahwa permohonan pengesahan istbat nikah itu seharusnya ditolak, sebab pernikahan model tersebut tidak sah Karena tidak dilaksanakan dalam satu majelis. Sedangkan sebagian ulama yang condong kepada mazhab Hanafi dan Hambali mengatakan bahwa pernikahan yang telah dilaksanakan itu sudah memenuhi syarat sahnya ijab qabul dan karenanya, pernikahan itu sah adanya. Menurut Ahmad Azhar Basyir, MA. pendapat ulama dikalangan Hanafi dan Hambali sudah sesuai dengan kehendak syari’at Islam, sebab tidak disyaratkan antara ijab dan qabul harus berhubungan langsung. Pendapat terakhir ini telah banyak dipraktekkan oleh masyarakat Islam di beberapa Negara Islam, termasuk Indonesia. Terlebih lagi setelah ditemukan teleconference yang dapat menghubungkan suatu pristiwa yang terjadi dalam jarak yang jauh dengan pristiwa yang terjadi pada suatu tempat atau lokasi secara dekat dan transparan.

Dengan ketetapan ini, para hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan telah “berijtihad” untuk menemukan hukum terhadap suatu masalah sebagai akibat majunya ilmu pengetahuan dan teknologi agar tidak terjadi kekosongan hukum dan adanya kepastian hukum terhadap masalah baru yang timbul dalam kehidupan masyarakat. Penetapan PA Jakarta Selatan ini telah melahirkan hukum baru yang tidak diatur dalam kitab-kitab fikih dan belum diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang perkawinan di Indonesia. Penetapan itu telah menimbulkan reaksi yang luas di kalangan umat Islam Indonesia, baik yang pro maupun yang kontra, tetapi belakangan ini, penetapan itu telah mendapat sambutan baik, mengingat dapat merespon arus globalisasi yang melanda dunia saat ini. Oleh karena itu, sudah tiba saatnya bagi umat Islam (khususnya di Indonesia) untuk merespon yang lebih luas lagi tentang kemajuan IPTEK dan menjadikannya sebagai aturan hukum di Indonesia.

Terlepas dari adanya penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengenai sahnya pernikahan jarak jauh melalui telepon, para musyawirin dalam bahsul masail ini mengambil kesimpulan bahwa pernikahan jarak jauh dimaksud dinyatakan tidak sah, kerena :
1) Penggunaan alat komunikasi untuk melakukan akad nikah jarak jauh masih belum dapat memberi kepastian dan keyakinan bahwa memang benar bahwa yang melakukan akad itu adalah pihak-pihak yang yang bersangkutan. Kemungkinan terjadinya error, tersamar atau dipalsukan, sehingga sebenarnya yang melakukan akad itu adalah orang lain bukan salah satu pihak yang bersangkutan. Kemungkinan yang bersangkutan di kemudian hari akan mengingkari bahwa ia pernah melakukan akad, bisa saja terjadi, karena memang sulit pembuktiannya. Jika hal ini terjadi, maka tentu akan mendatangkan kemudharatan bagi pihak yang lain. Agama melarang perbuatan yang mendatangkan kemudharatan, lebih-lebih bila mudharatnya lebih besar dari pada manfaatnya. Disebutkan dalam kitab al-Asybah wa al-Nazhair sebuah kaidah fikih :
درء المفسدة مقدم على جلب المصلحة
“Meninggalkan/mencegah sesuatu yang mendatangkan kemudharatan harus lebih diutamakan dari pada mencari kemaslahatan”

Penggunaan teknologi komunikasi dalam akad nikah memang ada maslahatnya, yakni mudah, praktis, cepat, hemat dan efisien, tetapi sisi mudharatnya juga ada yaitu akan menimbulkan “petaka” hukum di kemudian hari. Kecuali bila aspek keragu-raguan dalam pembuktian kebenaran pihak-pihak yang bersangkutan yang melakuakn akad tersebut, dapat dihilangkan dengan adanya verifikasi dan justifikasi oleh para ahli telekomunikasi, maka saat itulah hukum bisa menentukan kebolehannya melakukan akad nikah melalui alat telekomunikasi dimaksud.
2) Unsur kesaksian dalam pernikahan termasuk rukun nikah, dan penyaksian tidak sah bila tidak dilihat dan didengar secara langsung (melalui panca indra), meskipun para saksi mengenal orang yang disaksikan tersebut. Penyaksian suatu akad hanya melalui pendengaran saja dan tidak hadirnya fisik dari obyek kesaksian secara langsung untuk dapat dilihat, tidak dapat diterima oleh hukum (tidak sah), sebagaimana keterangan beberapa kitab tersebut diatas.
3) Masih ada ikhtilaf di kalangan fuqaha terhadap keabsahan akad nikah tidak dalam satu majelis. Keluar dari ikhtilaf (perbedaan) pendapat hukumnya sunnah (الخروج من الإختلاف مستحبة).
4) Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang sahnya pernikahan jarak jauh via telepon, yang kemudian berimplikasi terhadap adanya hukum baru (furu’), dalam perspektif hukum Islam, hasil keputusan itu tidak mengikat, sebab ia bukan lembaga resmi yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan fatwa hukum syar’i. Lebih-lebih dalam penetapan hukumnya, tidak menggunakan prosedur dan metodologi (manhaj) pengambilan hukum (istimbathul hukmi) yang disepakati para ulama. Selain itu, kompetensi para hakim-hakimnya belum memiliki standar kualifikasi seorang Imam mujtahid fil mazhab, apalagi mujtahid mutlaq. Berikutnya, bahwa sebuah keputusan hukum yang hanya menyandarkan pada pertimbangan istihshan (seperti keputusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tersebut), oleh ulama di kalangan mazhab Syafi’i belum dapat diterima, karena istihshan hanya berpegang pada logika (‘aql) dan penalaran (ra’yu) semata, tidak mempertimbangkan dan melandaskannya pada teks atau nash (naql).
5) Penting artinya memelihara dan menjaga nilai-nilai kesakralan (sakralitas) dalam sebuah pernikahan. Mengingat bahwa ijab qabul, selain merupakan perjanjian yang kukuh مثاقا غليظا)) antara pasangan suami istri, ia juga pada hakekatnya adalah pernyataan penyerahan tanggung jawab dari si wali kepada mempelai laki untuk menjaga, merawat dan memelihara serta memenuhi kebutuhan hidup mempelai wanita. Bagaimana mungkin akan ada efek psikologis yang melahirkan komitmen terhadap makna sebuah tanggung jawab bila penyerahannya dari jarak yang berjauhan, tidak secara langsung berhadapan sambil berjabatan tangan dan disaksikan orang banyak.



2. Taukil wali nikah jarak jauh via alat komunikasi

Seseorang dapat mewakilkan pekerjaan atau tugasnya (semisal tugasnya sebagai wali nikah) jika ia pada prinsipnya memiliki kebolehan untuk melaksanakan tugas tersebut, artinya jika hukum memperbolehkan ia melakukan pekerjaan itu, maka ia boleh mewakilkannya kepada orang lain. Selain itu, ia juga dipersyaratkan memiliki kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan atau tugas tersebut. Dua hal itu, yakni hak atau kewenangan dan kemampuan yang dimiliki seseorang, adalah prasyarat yang membolehkan seseorang mewakikan pekerjaan atau tugasnya kepada orang lain. Sama halnya dengan seorang wali apabila keberadaannya di suatu tempat yang menyebabkan ia tidak dapat melakukan tugasnya (tasharruf) sebagai wali nikah, maka tugas kewaliannya tidak dapat diwakilkan kepada orang lain dari jarak jauh, lain halnya bila ia mewakilkan kewaliannya secara langsung (ijab-qabul berhadapan langsung) maka boleh hukumnya, sebagaimana penjelasan dalam Kitab I’anat al-Thalibin juz 3 halaman 84 :

وشرط في الموكل صحة مباشرته ما وكل فيه بملك أو ولاية والا فلا يصح توكيله لأنه اذا لم يقدر على التصرف بنفسه فبنائبه اولى فلا يصح توكيل غير مكلف في تصرف

“Dan syarat orang yang berwakil adalah kebolehanya melakukan apa yang diwakilkannya itu, baik kebolehan itu karena haknya atau karena kewenangannya. Jika ia tidak boleh melakukannya dikarenakan bukan hak atau kewenangannya, maka tidak sah ia mewakilkannnya (pada orang lain). Demikian pula, jika ia tidak mampu melaksanakan sesuatu (pekerjaan atau tugas), maka menggantikannya/mewakilkannya lebih utama, dan tidak sah ia mewakilkan sesuatu sementara ia tidak diperbolehkan (atau dipandang tidak mampu) oleh hukum melaksanakannya”


Adapun rukun wakalah (perwakilan) itu ada empat, yakni; (1) mukil/muwakkil (orang yang berwakil); (2) wakil (orang yang diserahi sebagai wakil); (3) mukalu/muwakkalu fihi (sesuatu yang diwakilkan); dan (4) shigat (akad / ijab qabul). Apabila keberadaan wali di suatu tempat yang menyebabkan ia tidak dapat melakukan tugasnya (tasharruf) sebagai wali nikah, dan ia tidak mengutus seseorang sebagai wakilnya, maka tugas kewaliannya dapat dijalankan oleh seorang hakim yang ditunjuk dan diangkat sulthan/pemerintah. Menurut mazhab syafi’iyah, bahwa seorang wali baru dapat digantikan posisinya sebagai wali nikah oleh hakim manakala antara tempat pelaksanaan akad nikah dengan keberadaan si wali tersebut memiliki jarak yang membolehkan seseorang mengqashar atau menjamak shalat (masafah al-qashri), yaitu berjarak dua marhalah ( ± 93 km) atau lebih (menurut ketentuan Mazhab Syafi’i). Jumhur ulama berpandangan bahwa, jika seorang wali berada pada posisi masafatul qashri, maka dikategorikan sebagai wali gaib dan kewaliannya pindah kepada hakim, sebagaimana penjelasan dalam kitab al-Muhazzab juz 2 hal. 37 :

وان غاب الولي الى مسافة تقصر فيها الصلاة زوجها السلطان ولم يكن لمن بعده من الأولياء أن يزوج لأن ولاية الغائب باقية

“Jika (seorang perempuan) walinya gaib dan berada pada jarak yang membolehkan mengqashar shalat (masafah al-qashri), maka yang boleh menikahkannya adalah sulthan (hakim) dan tidak ada kebolehan bagi wali ab’ad untuk menikahkannya, sebab wali yang ghaib itu masih tetap ada (hidup)”

Dengan demikian bahwa jika si wali berada pada posisi yang jaraknya dua marhalah atau lebih dari majelis akad dipandang sebagai wali yang ghaib, dan karenanya ia dipandang oleh hukum sudah tidak memiliki kewenangan mentasharrufkan hak kewaliannya untuk diwakilkan kepada orang lain jika antara si muwakkil (yang berwakil) dengan si wakil (yang diserahi wakil) masing-masing berada pada jarak dua marhalah atau lebih. Dan mengingat bahwa aqad (ijab qabul) adalah salah satu rukun dari wakalah dalam pernikahan (taukil wali nikah), maka akad (ijab qabul) taukil wali nikah jarak jauh via alat komunikasi adalah sama posisi hukumnya dengan akad (ijab qabul) pernikahan jarak jauh menggunakan media yang sama. Dimana dalam hal ini. Para musyawirin bahsul masail Departemen Agama Lombok Barat menyimpulkan bahwa tidak sah taukil wali nikah jarak jauh via alat komunikasi. Penetapan tidak sahnya hukum taukil wali nikah jarak jauh via alat komunikasi adalah dengan diilhaqkan kepada hukum akad nikah menggunakan media komunikasi melalui jarak yang berjauhan yang tidak sah, sebagaimana penjelasan dimuka.




3. Wali nikah anak titipan dalam rahim perempuan lain

Para ulama sepakat mengenai keabsahan dan kebolehan melakukan rekayasa genetika seperti proses bayi tabung dan penitipan sperma (suami-istri) pada rahim perempuan lain, bila didasarkan pada dhorurah dan hajjah, seperti pasangan suami istri sangat kepingin memiliki anak, sementara sang istri, menurut medis, rahimnya lemah untuk dapat mengandung anak, maka terhadap kasus ini diperbolehkan melakukan rekayasa genetika seperti proses bayi tabung dan penitipan sperma (suami-istri) pada rahim perempuan lain, karena alasan dhorurah dan hajjah tersebut. Kebutuhan terhadap adanya anak atau keturunan tidak saja menjadi milik pasangan yang menikah, melaikan juga menjadi salah satu tujuan pernikahan. Bagi kebanyakan keluarga, tidak memiliki anak betapa terasa memberatkan dan bahkan menyakitkan secara psikis, karenanya segala usaha dan upaya dilakukan agar mendapatkan keturunan. Melakukan sesuatu karena kebutuhan dan kerana desakan keadaan, dimana sesuatu itu belum jelas posisi hukumnya antara boleh dilakukan dengan tidak boleh dilakukan artinya tidak ada nash yang tegas melarang atau membolehkannya, maka hal itu dibenarkan. Berbeda bila, sesuatu itu telah jelas dan tegas dilarang oleh syara’, maka untuk dapat melakukannya perlu alasan dharurah yang maksimal, yakni pertimbangan keselamatan jiwa.

Al-dharuroh menurut syara’ adalah keadaan yang apabila seseorang tidak melakukan sesuatu maka akan berakibat bahaya dan mengancam jiwanya. Sesuatu di sini adalah perbuatan yang dilarang syara’, akan tetapi jika tidak dikerjakan, akan menjadikan binasa atau mendekati binasa, sebagaimana keterangan dalam kitab al-Asybah wa al-Nadhoir :

الضرورة تبيح المحظورات بعدم نقصانها عنها وقال ايضا فالضرورة بلوغه حدا ان لم يتناول الممنوع هلك او قرب وهذا يبيح تناول الحرام

“Dharurat dapat menghalakan larangan tampa terkurangi. Pengertian dharurat adalah jika sudah mencapai batas maksimal, yang sekiranya tidak memakan sesuatu yang dilarang, maka ia akan mati atau mendekati mati. Dalam hal ini boleh memakan makanan yang haram”.


Pandangan ini merupakan prinsip-prinsip dasar tasyri’ Islam berdasarkan :

• Al-Qur’An :

       

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (al-Baqarah : 185)


      

“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (al-Hajj : 78)


• Sunnah :

قال صلعم : بعثت بالحنيفية السمحة )اخرجه احمد فى مسنده من حديث جابر بن عبد الله ومن حديث ابي امامة والديلمي) (الاشباه والنظاءر: 55)

“Bersabda Nabi Saw : Aku diutus (ke dunia ini) untuk menyampaikan risalah agama yang lues dan tidak menyulitkan"

عن ابن عباس قال قيل يارسول الله اي الأديان احب الى الله قال الحنيفية السمحة (اخرجه احمد فى مسنده والطبراني والبزار وغيرهما) (الاشباه والنظاءر: 55)

“Ibnu Abbas berkata : Rasulullah Saw ditanya, “bagaimana cara beragama yang paling disukai Allah”? Rasulullah menjawab, “yaitu sikap beragama yang lues dan tidak kaku”


• Ushul Fiqh dan Qawaidul Fiqh :

اصول الفقه : الضرورة تبيح المحظورة

“Keadaan darurat membolehkan yang di larang”

قاعدة الفقهية : المشقة تجلب التيسير

“Sesuatu yang memberatkan mendatangkan/menyebabkan keringanan”


قاعدة الفقهية : إذا تعارضت المفسدتان رعي أعظمهما ضرارا بإرتكاب أخفهما مفسدة

“Jika ada dua bahaya saling mengancam maka diwaspadai yang lebih besar bahayanya degan melaksanakan yang paling ringan bahayanya”


• Aqwal Ulama’ :

(وله) اي للمضطر (اكل ادمي ميت) إذا لم يجد ميتة غيره كما قيده فى الشرح و الروضة لأن حرمة الحي آكد من حرمة الميت (المهذب : ج 1 ص 251 )

“Bagi orang yang dalam keadaan yang sangat darurat, maka diperbolehkan memakan orang mati, sebagaimana yang disyaratkan dalam kitab al-Syarh dan al-Raudhah karena kehormatan orang yang hidup lebih besar dari pada orang yang telah mati”

ولو وصل عظمه لإنكساره و احتياجه الى الوصل بنجس من العظم لفقد الطاهر الصالح للوصل فمعذور في ذالك (قليوبي : ج 1 ص 182)

“Seandainya tulangnya yang pecah dapat tersambung kembali dengan mempergunakan tulang yang najis karena tidak adanya penyambung lain yang layak, maka dalam hal ini hukumnya termafkan (boleh)”


Tinjauan hukum terhadap masalah status anak yang lahir dari proses bayi tabung atau yang dititip dalam rahim perempuan lain, bergantung pada dua perspektif, yaitu tentang cara masuk dan keluarnya sperma. Ulama’ mengkategorikan proses keluar dan masuknya sperma menjadi dua, yaitu muhtarom dan ghair muhtarom. Muhtarom menurut istilah adalah keluar atau masuknya sperma melalui proses persetubuhan dan cara-cara yang diibenarkan syara’. Bagi yang memandang bahwa muhtarom atau ghair muhtarom terkait dengan keluarnya sperma saja ---seperti pandangan Imam Romli dan yang dipegangi jumhur ulama---, maka implikasi hukumnya akan berbeda dengan yang mengaitkan istilah muhtarom atau ghair muhtarom dengan meninjaunya dari sisi keluar dan masukknya sperma ---seperti pendapat Imam Ibnu Hajar yang berpegangan pada pendapat Syaikhoni (Imam Rofi’i dan Imam Nawawi).
Dalam Kitab Bughyatul Mustarsyidin halaman 238 dijelaskan :

(فاءدة) قال سم قوله منيه المحترم العبرة فى الإحترام بحال خروجه فقط حتى لو خرج منه مني بوجه محترم كما لو علا زوجته فاخذته اجنبية عالمة بأنه مني اجنبي واستدخلته كان محترما تجب به الغرة ويلحق اباه ومثله مالو ساحقت إمرآته التي نزل فيها مائه اجنبية فنزل في الأجنبية او استنجى بحجر فخرج منه مني عليه فأخذته إمرءة وادخلت ماعليه فرجها (بغية المسترشدين)

“Istilah muhtarom pada sperma adalah tinjauan terhadap cara dikeluarkannya (yaitu dengan jalan bersetubuh atau dengan cara-cara yang dibenarkan syara’). Sama dengan sekiranya mani seseorang (yang telah bercampur dengan indung telur) dalam rahim istrinya lalu diambil (dimasukkan) oleh perempuan lain ke dalam rahimnya, kemudian terjadi pembuahan dan diyakini tidak bercampur dengan indung telur perempuan pemilik rahim, maka anak yang dilahirkannya diilhaqkan kepada pemilik sperma (suami-istri tersebut). Juga ---masuk dalam pengertian muhtarom--- adalah seorang perempuan mengambil sperma suaminya yang ada dalam vaginanya lalu dimasukkan (menggunakan alat) ke dalam perempuan lain, atau seorang lelaki yang beristinja’ menggunakan batu hal mana spermanya nempel di batu tersebut, kemudian batu itu dimasukkan ke dalam vagina perempuan lain (bukan istrinya), bersama-sama dengan mani laki-laki tersebut".


قال ع ش (قوله وكذا لو مسح ذكره الخ) افهم أنه لو ألقت إمرئة مضغة أو علقة فاستدخلتها إمرئة آخرى حرة أو امة . قال ع ش (قوله وكذا لو مسح ذكره الخ) افهم أنه لو ألقت للثانية ولا تصير مستولدة للواطء لو كانت أمة لأن الولد لم ينعقد من مني الواطء ومنيها بل من مني الواطء والموطوءة فهو ولد لهما (نهاية المحتاج)

"Yang dipahami dari pengertian muhtarom, seumpama sperma suami dan indung telur istri yang telah mengalami proses pembuahan menjadi bakal janin atau berwujud segumpal daging lalu dimasukkan ke dalam rahim perempuan lain sampai lahir seorang anak, maka anak tersebut bukanlah anak dari perempuan pemilik rahim, melainkan anak dari suami-istri pemilik sperma".


(قوله واستدخاله) خلافا للنهاية عبارة ولاأثر لوقت استدخاله كما افتى به الولد ولن نقل الماوردي عن الأصحاب اعتبارحاله الإنزال والإستدخال فقد صرحوا بأنه لو استنجى بحجر فأمنى ثم استدخلته أجنبية عالمة بالحال أو انزل فى زوجته فساحقت بنت مثلا فأتت يولد لحقه اه (الشرواني)

"Para ulama menjelaskan, seandainya ada seorang lelaki membersihkan kotorannya dengan batu, sampai keluar spermanya melumuri batu tersebut, kemudian batu itu dimasukkan (ke dalam vaginanya) oleh seorang wanita yang bukan istrinya yang mengetahui keadaan sperma tersebut, atau mengeluarkan sperma di rahim istrinya kemudian istri tersebut melakukan hubungan seks dengan sesama wanita dan ternyata hamil, maka anak itu menjadi anak sah dari lelaki tersebut (suami istri)”.


Dari beberapa penjelasan ulama diatas, para musyawirin menarik kesimpulan hukum mengenai wali anak perempuan yang lahir dari rahim seorang perempuan yang dipinjam untuk membuahi sperma dan indung telur pasangan suami-istri, sebagai berikut :
1) Apabila sperma dan indung telur milik pasangan suami istri tersebut, dimasukkan secara bersamaan, karenanya dimungkinkan terjadi percampuran sebelum dimaksukan kedalam rahim perempuan lain, maka mengenai status anak yang lahir tersebut dinisbahkan nasabnya dan kewaliannya kepada pemilik sperma bila diyakini tidak tercampur dengan indung telur perempuan pemilik rahim. Sekiranya anak itu perempuan, maka wali nikahnya adalah laki-laki pemilik sperma.
2) Apa bila sperma dan indung telur milik pasangan suami istri itu dimasukkan satu persatu secara bergiliran sehingga dimungkinkan terjadinya percampuran sperma pasangan suami istri tersebut dengan indung telur perempuan pemilik rahim, maka anak tersebut diilhaqkan kepada perempuan pemilik rahim. Seandainya anak itu perempuan, maka wali nikahnya adalah Hakim, sebab ia tergolong sebagai anak ibu.



4. Wali nikah bayi tabung dan nasabnya

Sebelum mebicarakan wali nikah anak perempuan yang lahir melalui proses tabung, terlebih dahulu perlu diperjelas pengertian bayi tabung, hukumnya, dan kaitannya dengan bahasan ini yakni mengenai status nasab anak tersebut, sebab kewalian sangat berkaitan dan bergantung pada hubungan nasab (terkecuali wali hakim). Bayi tabung ialah bayi yang dihasilkan bukan melalui proses persetubuhan, tetapi dengan cara mengambil mani/sperma laki-laki dan ovum/mani perempuan, lalu dimasukkan dalam suatu alat dalam waktu beberapa hari lamanya. Setelah proses pembuahan tersebut sudah dapat dianggap mampu menjadi janin, maka baru dimasukkan ke dalam rahim ibu. Ada tiga penjelasan hukum terhadap bayi tabung, yaitu;

(1) Apa bila mani (sperma) dan ovum (indung telur) yang dimasukkan ke dalam tabung itu bukan berasal dari pasangan suami istri, maka hukumnya haram. Anak yang dihasilkan dari proses pembuahan yang bukan berasal dari suami-istri yang sah nikahnya, baik secara alami (melalui persetubuhan) maupun melalui proses rekayasa genetika (bayi tabung), para ulama mengilhaqkan hukumnya dengan anak zina. Sebagai tafsirannya adalah penjelasan dalam kitab Qolyuby, juz 4 halaman 32 :

ولو أتت بولد علم أنه ليس منه مع إمكانه منه لزمه نفيه لأن ترك النفي يتضمن استلحاق من ليس منه حرام

“Seandainya ada wanita yang datang dengan membawa seorang anak yang diketahui bahwa anak tersebut bukan berasal dari lelaki (suaminya) walaupun ada kemungkinan berasal darinya, maka lelaki tersebut harus menolaknya (sebagai anaknya), karena tidak adanya penolakan, dapat mengandung pengertian pengakuan anak yang bukan berasal darinya dan haram”.

(2) Apa bila mani yang ditabung tersebut mani suami istri, tetapi cara mengeluarkannya tidak muhtarom (mani yang dikeluarkan dengan cara-cara yang tidak dibenarkan syara’), maka hukumnya juga haram. Pendapat ini, sejalan dengan pendirian Imam Ibnu Hajar yang berlandaskan pada pendapat Syaikhuna. Dalam Bujairimi ala al-Iqna’, juz 4 hal 26, dijelaskan :

المراد بالمني المحترم حال خروجه فقط على ما اعتقده م ر وان كان غير محترم حال الدخول وتجب العدة به اذا طلقت الزوجة قبل الوطء على المعتمد خلافا لإبن حجر لأنه يعتبر ان يكون محترما فى الحالين كما فرره شيخنا (البجيرمي على الإقناع)

“Yang dimaksud dengan sperma yang terhormat (tidak haram) itu adalah hanya cara keluarnya saja, sebagaimana yang diyakini Imam Ramli, walaupun tidak terhormat ketika masuk (saat bersetubuh). Karenanya maka wajib beriddah jika wanita tersebut dicerai sebelum disetubuhi sesuai dengan pendapat yang lebih kuat, berbeda dengan pendapat Ibnu hajar yang menganggapnya sebagai sperma terhormat baik saat keluar maupun masuknya sebagaimana yang ditetapkan oleh Syaikhuna”.


(3) Apa bila mani yang ditabung itu mani suami istri dan cara mengeluarkannya termasuk muhtarom, serta dimasukkan ke dalam rahim istrinya sendiri, maka hukumnya boleh. Kebolehan ini, diqiaskan dengan bolehnya melakukan sesuatu yang dilarang karena alasan al-dharurah dan al-hajjah. Dan dalam ranah ini (alasan darurat/hajjat), sekiranya mani dikeluarkan dengan menggunakan tangan (onani) istri atau budaknya, tidak mengapa, Sebagaimana diterangkan dalam Kifayatul Akhyar juz 2 hal 113:

لو استمنى الرجل منيه بيد إمرءته أو أمته جاز لأنها محل استمتاعها

“Seandainya seorang lelaki berusaha mengeluarkan spermanya dengan tangan istrinya atau budak wanitanya, maka hal tersebut boleh, karena istri dan budaknya itu memang tempat dan wahana yang diperbolehkan untuk bersenang-senang”.


وله اي للمضطر اكل ادمي ميتا لأن حرمة الحي اعظم من حرمة الميت (المحلي فى باب الإطعام)

“Bagi orang yang dalam keadaaan sangat darurat, maka dibolehkan memakan orang mati, karena kehormatan orang yang hidup lebih besar dari kehormatan orang yang mati” (Al-Mahalliy, dalam bab makanan)


ولو وصل عظمه بقيد ردته بقولي لحاجة الى وصله بنجس من عظم لا يصلح للوصل غيره عذر (البجيرمي على المنهج)

“Seandainya tulangnya yang pecah dapat tersambung kembali dengan mempergunakan tulang yang najis karena tidak adanya penyambung lain yang layak, maka dalam hal ini hukumnya termaafkan/boleh (al-Bujaerimiy ala al-Manhaj juz I, hal 229)


Mengenai nasab anak bayi tabung yang berasal dari mani suami istri, baik mani tersebut dikeluarkannya secara muhtarom atau ghair muhtarom, menurut Imam Ibnu Hajar, mani dimaksud tidak bisa diilhaqkan kepada pemilik sperma, maka anak yang dihasilkan mani tersebut, juga tidak bisa nasabnya dikaitkan dengan pemilik sperma (suami-istri). Maka jika merujuk kepada pendapat ini, jelas sekali bahwa wali nikah dari anak perempuan hasil peroses bayi tabung adalah HAKIM bukan laki-laki pemilik sperma. Sementara menurut Imam Romli, apa bila mani suami-istri dikeluarkan dengan cara muhtarom, maka anak yang dihasilkannya dapat diilhaqkan nasabnya kepada pemilik sperma (suami-istri). Maka bila berlandaskan pada pendapat yang kedua ini, anak tersebut nasab dari pemilik sperma, dan wali nikahnya adalah WALI NASAB.

Musyawirin dalam sidang bahsul masail ini, menyepakati pandangan bahwa meskipun proses memasukkan sperma dan indung telur ke dalam tabung milik pasangan suami istri baik dengan cara yang tergolong muhtarom, maupun yang dipandangan sebagai yang ghair muhtarom dihukumi haram oleh Syaikhuna (Rafi’i dan Nawawi) dan Ibnu Hajar, tetapi mengenai nasab anak yang dihasilkan adalah anak sumi istri tersebut, asalkan selama di dalam tabung tersebut dipastikan steril dari kemungkinan terinveksi oleh sperma atau indung telur lain. Jika demikian adanya, maka jelas walinya adalah laki-laki pemilik sperma.

Pandangan ini didasari oleh analisis bahwa belum adanya kesepakatan di kalangan fuqaha mengenai kriteria, batasan dan cakupan ukuran sebuah tindakan dalam mengeluarkan maupun memasukkan sperma, mana yang tergolong sebagai cara-cara yang muhtarom dengan mana yang ghair muhtarom. Apakah dipandang sebagai sesuatu tindakan yang menjijikan sehingga jika mengeluarkan sperma maupun memasukkannya tidak dilakukan secara alami (jimak / persetubuhan), tetapi menggunakan tangan atau alat tertentu, menyebabkanya tergolong ghair muhtarom. Soal sesuatu menjijikkan atau tidak menjijikkan adalah kerena faktor kebiasaan atau merupakan kadar dari cita rasa sebuah budaya, apa yang dianggap menjijikkan oleh orang Arab, belum tentu ia menjadi sesuatu yang menjijikkan bagi masyarakat lain, karena soal kebiasaan dan cita rasa budaya yang berbeda. Mana yang lebih terlihat “sopan” dan lebih “pantas” dalam hal mengeluarkan sperma antara menggunakan tangan dengan mengunakan alat tertentu ? Bagi satu masyarakat, menggunakan tangan barangkali labih “sopan”, tetapi bagi yang lain yang takaran budaya dan peradabannya lebih maju, menggunakan alat jauh lebih “pantas” dari pada menggunakan tangan.

Apakah indikator muhtarom dan ghair muhtarom itu ditentukan faktor kenikmatan (istimta’), sehingga hilangnya kenikmatan dalam memasukkan atau mengeluarkan sperma, maka ia menjadi ghair muhtarom. Ataukah melihatnya pada persoalan, siapakah yang memiliki hak untuk mendapatkan keturunan (anak), apakah Tuhan yang menentukan ataukah ia menjadi hak manusia (suami istri). Unsur “kenikmatan” dalam berjima’ (dukhul atau wathi’), bukanlah sesuatu yang implementer dan substansial, melainkan ia adalah hal yang sifatnya komplementer saja, yang paling pokok dalam hal ini ---dan ia menjadi salah satu tujuan pernikahan--- adalah memperoleh keturunan. Pernikahan merupakan satu-satunya washilah (media) yang diperkenankan syara’ untuk memperbanyak dan mengembang biakkan umat manusia, seperti yang diintrodusir oleh al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 1 : (وبث منهما رجالا كثيرا ونساء) maka memperoleh keturunan (anak) merupakan konsekuensi logis dari sebuah pernikahan, dimana ada kesamaan “kepentingan” antara Tuhan dan manusia. Faktor keinginan memperoleh keturunan merupakan hajjah (kebutuhan) setiap pasangan suami istri. Membatasi keturunan, apalagi menutup sama sekali jalan untuk mendapatkan keturunan, tidak diperbolehkan dalam pandangan syara’ (demikian pendapat yang dipegangi mayoritas fuqaha), sebagaimana dijelaskan dalam kitab Fatawa Ibnu Ziyad, dijelaskan :

إفتى ابن عبد السلام و ابن يونس بأنه لا يحل للمرأة ان تستعمل دواء يمنع الحبل ولو برضا الزوج

“Ibnu Abdus Salam dan Ibnu Yunus berfatwa, sesungguhnya tidak halal bagi istri mempergunakan obat anti kehamilan walaupun suami menyetujuinya”


Dalam kitab al-Bajuri Juz II halaman 93, dijelaskan :

وكذا استعمال المرأة الشيء الذي يبطئ الحبل ويقطعه من أصله فيكره في الأول ويحرم في الثاني وعند وجود الضرورة فعلى القاعدة الفقهية . إذا تعارضت المفسدتان رعي أعظمهما ضرارا بإرتكاب أخفهما مفسدة

“Demikian halnya wanita yang mempergunakan sesuatu (seperti alat kontrasepsi) yang dapat memperlambat kehamilan. Hal ini hukumnya makruh. Sedang memutus keturunan hukumnya haram. Dan ketika darurat maka sesuai dengan kaidah fiqh : “Jika ada dua bahaya saling mengancam maka diwaspadai yang lebih besar bahayanya dengan melaksanakan yang paling ringan bahayanya”


Dalam kitab Asnal Mathalib diterangkan :

والعزل تحرزا من الولد مكروه وان أذنت فيه المعزول عنها حرة كانت أو أمة لأنه طريق الى قطع النسل

“Adapun ‘al-azl (mengeluarkan sperma di luar rahim) adalah makruh walaupun pihak wanita mengizinkan, baik sebagai wanita merdeka maupun budak karena al-azl tersebut merupakan cara untuk memutuskan keturunan”

Dus, jika keinginan (hajjah) untuk mendapatkan keturunan tidak dapat terpenuhi dikarenakan washilah (media) untuk mendapatkannya tidak dapat berfunngsi dengan baik, seperti adanya kondisi yang menyebabkan sperma itu lemah sehingga sulit terjadinya pembuahan, atau terdapat suatu penyakit pada alat klamin pria, atau terjadinya gangguan pada fungsi-fungsi organ rahim, dan sebagainya, maka persoalan-persoalan ini dalam ranah hukum disebut dengan illat yang menyebabkan posisi hukum menjadi masuk kategori dharurah . Dua faktor ini, hajjah dan dharurah adalah qarinah (alasan) yang menyebabkan klausul hukum menjadi berubah, dari sesuatu yang tidak boleh menjadi boleh karena adanya alasan hajjah dan dharurah. Pandangan inilah yang mendasari musyawirin dalam bahsul masail Departemen Agama Kabupaten Lombok Barat, mengambil sikap hukum bahwa nasab anak yang dihasilkan oleh proses bayi tabung adalah anak suami istri tersebut, asalkan selama di dalam tabung tersebut dipastikan steril dari kemungkinan terinveksi oleh sperma atau indung telur lain. Jika demikian adanya, maka jelas walinya adalah laki-laki pemilik sperma.

Penjelasan lebih lanjut mengenai bayi tabung dan persoalan hukum yang menyertainya, baca :
• Kitab Tafsir Ibnu Katsir juz III hal 133
• Kitab Hikmatul Tasyri’ wa Falsafatuhu juz II hal 48
• Kitab Al-Tuhfah juz VI hal 431
• Kitab Al-Bajuri juz II hal 172
• Kitab Al-Bughyah hal 238



5. Penentuan Wali Nasab Berdasarkan Tes DNA

Bagaimana halnya bila ada anak perempuan yang lahir dari pernikahan yang sah, karena sebuah pristiwa bencana alam ia terpisah dengan keluarganya dan pada saat akan menikah ada laki-laki yang mengaku sebagai ayahnya dan pengakuan tersebut dibuktikan dengan Tes DNA. Dari hasil tes DNA tersebut didapati keterangan bahwa ada kemungkinan terdapat pertalian nasab antara keduanya.

Terhadap masalah ini, menurut jumhur ulama, masih belum dapat menyandarkan pendapat hukum pada hasil tes DNA atau hasil penelitian laboratorium, artinya bahwa hasil tes DNA belum dapat dipakai dalam menentukan hubungan nasab, dikarenakan terdapat kemungkinan-kemungkinan yang mendatangkan keragu-raguan. Seperti kemungkinan terjadinya kemiripan golongan darah seseorang dengan orang lain, kemungkinan adanya kesalahan hasil analisa laborat (detail kebenarannya secara pasti masih diperdebatkan), juga dimungkinkan terjadinya pemalsuan. Oleh karena itu, penggunaan hasil tes DNA ini hanya untuk menentukan ketiadaan pertalian hubungan darah dan garis keturunan saja, belum dapat dipakai sebagai dasar penentuan hubungan nasab (ilhaq nasab). Sebagaimana penjelasan dalam kitab Tharaiq al-Hukum fi Al-Syari’ah al-Islamiyah, halaman 350 :

وقد تكون نتائج التحليلات مفيدة الا ان القطع بدقتها وصحتها موضوع نظر لأن تشابه فصائل الدم بين شخص وأخر أمر وارد مع إمكانية خطء التحاليل وتزويرها ولذالك فإن استعانة بهذه القرينة فى النفي وليس فى الإثبات


“Terkadang hasil penelitian laborat bisa memberi manfaat, hanya saja detail dan kebenaran secara pasti masih menjadi bahan diskusi, dikarenakan kemiripan golongan darah antara seseorang dengan orang lain merupakan hal yang bisa saja terjadi, disamping masih terjadinya kemungkinan kesalahan hasil analisa laborat dan terjadinya pemalsuan. Oleh karena itu penggunaan sarana ini hanya untuk meniadakan hubungan garis keturunan saja, dan tidak untuk digunakan menetapkan garis keturunan”.


Dalam Takmilah al-Majmu’, jilid XVII, halaman 410, dijelaskan :

ولنا انه يمكن الاستعانة بالطب الشرعي فى تحليل فصائل دم كل من الرجلين و الام فإن تشابهت فصائل الدم عندهما أخذ بالقافة (تكملة المجموع)

“Bagi kami dimungkinkan memakai sarana dunia kedokteran yang sudah dilegalkan dalam menganalisa golongan darah dua orang (yang mengaku sebagai bapak) beserta darah si ibu. Dan jika terjadi kekaburan pada golongan darah keduanya, maka silahkan menggunakan teori kiyafah”.


Dengan demikian, meskipun kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat mengungkap sesuatu secara detail dan pasti, tetapi juga tidak jarang menghasilkan sesuatu yang masih bersifat dugaan, hopotesis, dan serba kemungkinan. Karena itu, sesuatu yang sifatnya masih mendatangkan keraguan, belum dapat dijadikan dasar dan landasan dalam menentukan sebuah hukum. Sebab, hukum hanya bisa disandarkan pada kepastian (keyakinan). Dan keyakinan adalah syarat mutlak keabsahan sebuah hukum. Maka selama hasil tes DNA dan penelitian laboratorium masih belum mendatangkan kepastian, para ulama kembali berpatokan pada hasil telaahan ahli qiyafah dalam menentukan hubungan nasab.

Dalam diskursus dan wacana-wacana fikih dikenal istilah ahlul qiyafah, yaitu orang-orang yang memiliki keahlian dalam mengidentifikasi anak dengan bapaknya. Bahkan profesi ini sudah dikenal sejak zaman Nabi dan para sahabat. Berikut ini penjelasan sunnah dan beberapan pendapat ulama’ mengenai masalah tersebut :
عن عائشة رضي الله عنها أنها قالت : اختصم سعد بن ابي وقاص وعبد بن زمعة في غلام فقال سعد هذا يارسول الله ابن اخي عتبة بن ابي وقاص عهد الي أنه ابنه انظر الى شبهه وقال عبد بن زمعة هذا اخي يارسول الله ولد على فراش ابي من وليد ته فنظر رسول الله صلعم الى شبهه فرئ شبها بينا بعتبة فقال هو لك يا عبد بن زمعة الولد للفراش و للعاهر الحجر واحتجبي منه يا سودة بنت زمعة فلم تره سودة فقط (رواه البخاري)

“Dari Aisyah ra. Bahwa ia berkatan: Sa’ad bin Abi Waqqash dan Abdu bin Zam’ah berselisih tentang seorang anak laki-laki, Kata Sa’ad : Ya Rasulullah, ini anak saudara laki-laki saya Utbah bin Abi Waqqash, ia telah berpesan kepadaku bahwa bocah tersebut adalah anaknya, lihatlah kemiripan bocah itu. Akan tetapi Abdu Bin Zam’ah berkata : bocah ini saudara laki-laki saya wahai Rasulullah, ia dilahirkan oleh seorang wanita (budak) yang dalam kekuasaan tempat tidur ayah saya. Lalu Rasulullah Saw, meneliti kemiripannya, maka beliau melihat anak itu sangat mirip dengan Utbah, maka beliau berkata : Anak ini saudaramu wahai Abdu Bin Zam’ah, seorang anak adalah milik yang mengusai tempat tidurnya sedangkan yang melakukan perzinahan mendapat kehinaan, dan berhijablah kamu darinya wahai Saudah Binti Zam’ah. Sejak saat itu Saudah tidak pernah melihat anak itu lagi (HR. Bukhori)”


عن عائشة أن النبي صلعم دخل عليها مسرورا تبرق اسارير وجهه فقال ألم ترى أن مجززا نظر أنفا إلى زيد بن حارثة وأسامة بن زيد فقال هذه الإقدام بعضها من بعض قال ابو عيسى هذا حديث حسن صحيح وقد روى ابن عيينة هذا الحديث عن الزهري عن عروة عن عائشة وزاد فيه ألم ترى ان مجززا مر على زيد بن حارثة واسامة بن زيد قد غطيا رؤوسهما وبدت اقدامهما فقال ان هذه الأقدام بعضها من بعض وهكذا حدثنا سعيد بن عبد الرحمن وغير واحد عن سفيان بن عيينة هذا الحديث عن الزهري عن عروة عن عائشة وهذا حديث حسن صحيح وقد احتج بعض اهل العلم بهذا الحديث فى اقامة أمر القافة (رواه الترمذي)

“Dari Aisyah ra. Berkata : Nabi Saw mengunjunginya dengan keadaan suka cita, guratan kegembiraan nampak di wajah beliau. Lalu beliau bersabda: Tidakkah kamu tadi melihat seorang ahli qiyafah (identifikasi nasab) memandang kepada Zaid Bin Haritsah dan Usamah Bin Zaid, lalu berkata : kaki-kaki ini memiliki kesamaan satu dengan yang lain. Abu Isa (Tirmizi) berkata : ini merupakan hadis hasan sahih. Ibnu Uyainah telah meriwayatkan hadis ini dari Az-Zuhri dari Urwah dari Aisyah dengan tambahan : Tidakkah kamu melihat seorang ahli qiyafah melintas di depan Zaid Bin Haritsah dan Usamah Bin Zaid, padahal kepala mereka tertutup, yang terlihat hanya kaki mereka. Lalu ahli qiyafh itu berkata: Sesungguhnya kaki-kaki ini memiliki kesamaan satu dengan yang lain. (HR. Tirmizi)”.


Dari dua hadis tersebut diatas jelaslah bahwa Rasulullah Saw lebih mempercayai ahli qiyafah dan memilih teori qiyafah dalam menentukan nasab. Sekiranya informasi ahli qiyafah masih meragukan, tentu Rasulullah Saw, tidak akan memakainya. Argumen yang sama, juga dipaparkan dalam kitab Bada’i al-Shona’i Juz 6, hal : 372-371 sebagai berkut : “Menurut syariat pendapat seorang fakar qiyafah bisa diterima dalam menentukan nasab (garis keturunan) seseorang. Karena ada diriwayatkan bahwa seorang ahli qiyafah lewat didepan Usamah dan Zaid ketika keduanya berada diruang sempit, sedangkan wajah dan kaki mereka tertutup. Lalu ahli qiyafah itu berkata : Kaki-kaki ini memiliki kemiripan antara satu dengan yang lain. Ketika mendengar hal itu, Rasulullah Saw sangat bergembira sehingga terhihat kegembiraan tersimpul di wajah beliau. Rasulullah Saw telah mengakui validitas pendapat seorang ahli qiyafah, dimana beliau tidak membantah, bahkan menetapkannya dengan menampakkan kegembiraan. Dan juga ada dukungan dari ijma’ Sahabat, karena ada diriwayatkan bahwa sebuah pristiwa terjadi dimasa Khalifah Umar bin Khattab ra. Lantas ia menulis surat kepada Syuraikh (seorang hakim) minta pertimbangan hukum tentang dua orang yang memperebutkan anak. Andai kami bisa menentukan, niscaya kami jelaskan kepada mereka, bahwa bocah ini anak pasangan ini sehingga si anak bisa mewarisi kedua orang tuanya dan merekapun bisa menjadi warisnya. Peristiwa ini terjadi di hadapan para Sahabat dan tidak ada satu riwayat pun yang mengingkarinya, sehingga merupakan ijma’. Karena hak nasab didasarkan pada hak milik asal, dan hal itu dimiliki oleh masing-masing pihak yang bersengketa, sehingga berdasarkan kuatnya hak milik asal itulah hal nasab ditentukan. Adapun kegembiraan Nabi Saw. dan tidak adanya bantahan dan pengingkaran dari beliau, maka ada kemungkinan beliau tidak menganggap informasi ahli qiyafah sebagai hujjah, namun karena hal lain, yaitu bahwa orang-orang kafir suka melempar tuduhan terhadap nasab Usamah ra. Sedangkan mereka meyakini akurasi qiyafah. Nah ketika seorang ahli qiyafah menyatakan demikian, maka nampak kegembiraan Rasululah Saw. karena nampak sudah kesalahan ucapan mereka dengan berdasarkan sesuatu yang merupakan hujjah bagi mereka. Kegembiraan belaiau pada hakekatnya adalah karena sudah tidak ada lagi tuduhan terhadap Usamah dengan berdasarkan hujjah mereka sendiri, dan sesuatu yang bersifat kemungkinan (tidak ada kepastian) tidak layak untuk dijadikan sebagai hujjah (والمحتمل لا يصلح حجة).

Selanjutnya, dijelaskan dalam Al-Burhan Fi Ushulil Fiqh, Juz I, hal : 501-502, yaitu :

فاقصى الامكان في ذلك ان الرسول عليه الصلاة والسلام لو لم يكن معتقدا قبول قول القائف لعده من الزجر والفئل والحدس والتخمين ولما ابعد ان يخطئ في مواضع وان اصاب في مواضع فاذا تركه ولم يرده كان الكلام على الانساب بطريق القيافة فهذا من هذا الوجه قد يدل على أنه مستند الإنساب فهذا هو الممكن فى ذلك

“Kemungkinan yang paling maksimal dalam hal ini adalah Rasulullah Saw sekiranya tidak meyakini akurasi informasi ahlil qiyafah, tentu beliau masih menganggapnya sebagai dugaan, optimisnya, perkiraan, kesimpulan dan taksiran yang cepat, dan dalam banyak peristiwa jauh dari ketidaktepatan, bahkan dalam beberapa hal justru menempati sebuah kebenaran. Jika beliau Saw tidak memakainya, namun juga tidak menolaknya, maka pendapat yang lenbih tepat adalah melalui teori qiyafah. Kesimpulan ini bisa menunjukkan bahwa qiyafah tetap bisa dijadikan sandaran dalam menentukan nasab, dan demikianlah yang mungkin untuk disimpulkan”.


Dalam Kitab Fiqh ala Mazahibil Arba’ah Juz 4, halaman 430, diterangkan :

والمراد بالقافة من لهم بشبه الولد بأبيه هذا ماقاله الفقهاء ولعله يقوم مقامه في زماننا تحليل الدم فاذا امكن معرفة كون دم الطفل من دون دم والده يكون حسنا واذالم يكن معرفة شبهه بواحد منهما اواختلف القافة في امره فان عليها ان تعتد بثلاث حيض بعد ودععه على اي حال (الفقه على المذاهب الاربعة)

“Yang dimaksud dengan ahli qiyafah adalah orang yang memiliki keahlian dalam mengidentifikasi kemiripan seorang anak dengan ayahnya, demikian yang dikatakan oleh para fuqoha. Barangkali dimasa sekarang ini yang bisa menggantikannya adalah tes golongan darah. Jika dimungkinkan mengetahui golongan darah anak dengan tanpa melalui penelitian terhadap darah sang bapak, maka ini bagus. Dan jika tidak diketahui kemiripannya terhadap salah satu orang tua atau terjadi perbedaan pendapat dikalangan ahli qiyafah terhadap suatu kasus, maka si ibu harus menjalani masa iddah selama masa tiga kali haid, terhitung sejak melahirkan dalam kondisi apa pun. (Fiqh alaa Mazahibil Arba’ah)”


Dalam Kitab Thuruqu al-Hukmiyyah fi al-Siyasiyyah al-Syar’iyyah, halalan 333, diterangkan :

والمقصود ان اهل القيافة كاهل الخبرة واهل الخرص والقاسمين وغيرهم ممن اعتمادهم على الامور المشاهدة المرئية لهم ولهم فيها علاماة يختصون بمعرفتها من التماثل والإختلاف والقدر والمساحة وابلغ من ذلك الناس يجتمعون لرؤيته الهلال فيراه من بينهم الواحد والإثنان فيحكم بقوله او قولهما دون بقية الجمع

“Yang dimaksud ahli qiyafah adalah sebagaimana fakar spesialis lainnya seperti juru taksir, juru timbang, dan orang-orang yang dalam pekerjaannya bergantung pada penilaiaan terhadap hal-hal yang sifatnya kasat mata dan bisa dilihat oleh mereka. Dalam menjalankan tugasnya mereka memiliki tanda-tanda tertentu yang secara khusus mereka gunakan untuk mengetahui kemiripan, perbedaan, taksiran, dan ukuran luas. Yang lebih luas dari ini adalah bahwa orang banyak yang berkumpul untuk melihat hilal (ramadhan) ketika satu atau dua orang dari mereka berhasil melihat, maka kepastian bisa diputuskan berdasarkan informasi satu orang tadi atau dengan dua orang tadi, tampa harus menunggu pada informasi orang-orang yang lainnya”.


Selanjutnya dalam Kitab Takmilah al-Majmu’, jilid XV, hal : 311-312, dijelaskan : “Bahwa sarana ilmu pengetahuan di zaman kita dewasa ini telah begitu luas dan dasar-dasar pijakannya pun sudah kuat dan lebih detail serta terperinci, sekalipun seringkali tidak bisa memberikan hasil yang pasti. Karenanya terkadang ilmu modern masih menggunakan teori qiyafah ketika penelitian medis tidak memberikan hasil. Qiyafah merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran yang bersifat legal (asas al-fi’li al-thib al-syar’iy), atau ia merupakan landasan kerja dari dunia kedokteran yang legal (al-thib al-syar’iy). Bagi yang pernah membaca dunia kedokteran legal di kalangan Bangsa Arab atau di luar Arab mendapati dengan jelas baginya akan kebenaran validitas ini…. Dan perlu dicatat bahwa, tes melalui penelitan sampel darah di sini sekalipun didsarkan pada dasar-dasar ilmiah, akan tetapi sifatnya hanya untuk menyatakan “bukan” (salabiyyatun) tidak untuk menyatakan “ya” (ijabiyyatun). Ia hanya untuk mengatakan bahwa “ini bukan bapaknya” dan tidak dapat mengatakan “inilah bapaknya”. Karena bisa saja terjadi orang yang mengaku bapaknya, adalah orang yang memiliki golongan darah sama dengan bocah yang diakui sebagai anak, namun hal ini bisa dimentahkan dengan mengatakan : jika golongan darah anak ini adalah O sedangkan golongan darah orang yang mengaku sebagai bapak adalah B dan si ibu adalah B, maka paramedis dapat menyimpulkan secara pasti bahwa orang ini bukan ayah dari anak tersebut. Namun jika golangan darahnya sama dengan golongan darah anak yang diaku, maka paramedis mengatakan “ada kemungkinan dia adalah bapak bagi si anak tersebut dan ada kemungkinan bapak si anak adalah orang lain” . Bahwa teori qiyafah yang paling bagus adalah dengan mengenali secara detail bagian-bagian anggota tubuh, semisal kedua tangan, kaki, dan ciri-ciri wajah”.
Dari keterangan-keterangan diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa, hasil tes DNA belum dapat dijadikan sandaran dan pegangan dalam menentukan Wali Nasab (untuk contoh kasus di atas), sebab masih mengundang keragu-raguan dan serba ketermungkinan. Sesuatu yang belum pasti tidak dapat dijadikan sandaran hukum (المحتمل لا يصلح حجة). Wali nasab dalam pernikahan ditentukan oleh adanya keabsahan menurut hukum syar’i mengenai hubugan nasab antar wali dengan mawla (mempelai perempuan yang akan diwalikan) dengan diperkuat saksi dan bukti-bukti, bukan berdasarkan pengakuan.
6. Suami istri memiliki anak hasil bayi tabung (tidak pernah berhubungan badan) apakah talaknya beriddah ?

Sebagaimana diketahui bahwa ada dua macam talak yang tidak memiliki iddah, yakni talak suami kepada istrinya qobla dukhul dan talak karena li’an (sumpah). Terkait dengan masalah sepasang suami istri yang telah memiliki anak yang dihasilkan dari proses bayi tabung atau melalui pembuahan yang dititipi pada rahim perempuan lain, hal mana sejak menikah sampai dengan lahirnya anak dimaksud, suami istri tersebut belum pernah berhubungan badan, kemudian si suami menceraikan / mentalak istrinya, maka pertanyaannya : apakah talaknya tersebut termasuk kategori talak qobla dukhul sehingga tidak berimplikasi terhadap adanya iddah, ataukah talak itu termasuk talak ba’da dukhul sehingga diharuskan adanya iddah istri ?

Sebelum menentukan status talak tersebut, tentunya terlebih dahulu harus disepakati bahwa keluarnya sperma melalui cara-cara yang tidak alami (bersetubuh/dukhul) apakah termasuk kategori muhtarom atau tidak. Sebab bila hal ini belum jelas kedudulan hukumnya, maka derivasi (terusan) hukum darinya akan menjadi tidak pasti. Terdapat dua pandangan dalam hal ini :

1) Bila mengacu pada pandangan Imam Ibnu Hajar yang berlandaskan pada pendapat Syaikhuna, bahwa keluar maupun masuknya sperma tidak melalui cara-cara yang dibenarkan syara’ (melalui persetubuhan suami istri secara halal) maka dikategorikan ghair muhtarom, dan perbuatan tersebut dihukumi haram. Maka anak yang lahir dari proses keluar atau masuknya sperma dengan jalan ghair muhtarom dihukumi bukan anak pemilik sperma. Dan demikian pula konsekuensi logis dari pandangan hukum ini bahwa bila si suami mentalak atau menceraikan istrinya sekalipun ia telah memiliki anak, akan tetapi pasangan suami istri tersebut belum pernah melakukan persetubuhan (berjima’) maka status talaknya adalah talak qobla dukhul, karenanya tidak memiliki iddah.
2) Pandangan yang dipegangi dan disepakati oleh musyawirin bahsul masail ini adalah pandangan yang menetapkan bahwa batasan muhtarom atau ghair muhtarom itu hanya terkait dengan cara keluarnya sperma bukan cara masuknya. Menurut jalan berfikir ini bahwa keluarnya sperma tidak melalui persetubuhan sepanjang dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah nikahnya, baik menggunakan tangan atau alat tertentu dikategorikan muhtarom. Ada beberapa penjelasan mengenai hal ini, sebagai berikut :

Dalam Kitab Bughyatul Mustarsyidin halaman 238 dijelaskan :

(فاءدة) قال سم قوله منيه المحترم العبرة فى الإحترام بحال خروجه فقط حتى لو خرج منه مني بوجه محترم كما لو علا زوجته فاخذته اجنبية عالمة بأنه مني اجنبي واستدخلته كان محترما تجب به الغرة ويلحق اباه ومثله مالو ساحقت إمرآته التي نزل فيها مائه اجنبية فنزل في الأجنبية او استنجى بحجر فخرج منه مني عليه فأخذته إمرءة وادخلت ماعليه فرجها (بغية المسترشدين)

“Istilah muhtarom pada sperma adalah tinjauan terhadap cara dikeluarkannya (yaitu dengan jalan bersetubuh atau dengan cara-cara yang dibenarkan syara’). Sama dengan sekiranya mani seseorang (yang telah bercampur dengan indung telur) dalam rahim istrinya lalu diambil (dimasukkan) oleh perempuan lain ke dalam rahimnya, kemudian terjadi pembuahan dan diyakini tidak bercampur dengan indung telur perempuan pemilik rahim, maka anak yang dilahirkannya diilhaqkan kepada pemilik sperma (suami-istri tersebut). Juga ---masuk dalam pengertian muhtarom--- adalah seorang perempuan mengambil sperma suaminya yang ada dalam vaginanya lalu dimasukkan (menggunakan alat) ke dalam perempuan lain, atau seorang lelaki yang beristinja’ menggunakan batu hal mana spermanya nempel di batu tersebut, kemudian batu itu dimasukkan ke dalam vagina perempuan lain (bukan istrinya), bersama-sama dengan mani laki-laki tersebut".


قال ع ش (قوله وكذا لو مسح ذكره الخ) افهم أنه لو ألقت إمرئة مضغة أو علقة فاستدخلتها إمرئة آخرى حرة أو امة . قال ع ش (قوله وكذا لو مسح ذكره الخ) افهم أنه لو ألقت للثانية ولا تصير مستولدة للواطء لو كانت أمة لأن الولد لم ينعقد من مني الواطء ومنيها بل من مني الواطء والموطوءة فهو ولد لهما (نهاية المحتاج)

"Yang dipahami dari pengertian muhtarom, seumpama sperma suami dan indung telur istri yang telah mengalami proses pembuahan menjadi bakal janin atau berwujud segumpal daging lalu dimasukkan ke dalam rahim perempuan lain sampai lahir seorang anak, maka anak tersebut bukanlah anak dari perempuan pemilik rahim, melainkan anak dari suami-istri pemilik sperma".


(قوله واستدخاله) خلافا للنهاية عبارة ولاأثر لوقت استدخاله كما افتى به الولد ولن نقل الماوردي عن الأصحاب اعتبارحاله الإنزال والإستدخال فقد صرحوا بأنه لو استنجى بحجر فأمنى ثم استدخلته أجنبية عالمة بالحال أو انزل فى زوجته فساحقت بنت مثلا فأتت يولد لحقه اه (الشرواني)

"Para ulama menjelaskan, seandainya ada seorang lelaki membersihkan kotorannya dengan batu, sampai keluar spermanya melumuri batu tersebut, kemudian batu itu dimasukkan (ke dalam vaginanya) oleh seorang wanita yang bukan istrinya yang mengetahui keadaan sperma tersebut, atau mengeluarkan sperma di rahim istrinya kemudian istri tersebut melakukan hubungan seks dengan sesama wanita dan ternyata hamil, maka anak itu menjadi anak sah dari lelaki tersebut (suami istri)”.


Berdasarkan pandangan kelompok kedua ini, maka musyawirin menetapkan bahwa talak suami kepada istri yang telah memiliki anak sah dari proses bayi tabung atau sejenisnya, sekalipun belum pernah bersebadan (jima’) maka status talak tersebut adalah talak ba’da dukhul, yang berimplikasi adanya iddah terhadap istri. Sebab keluarnya dan bercampurnya sperma suami dengan indung telur istri dalam hal ini digolongkan sebagai keluarnya secara mohtarom.

Dalam Bujairimi ala al-Iqna’, juz 4 hal 26, dijelaskan :

المراد بالمني المحترم حال خروجه فقط على ما اعتقده م ر وان كان غير محترم حال الدخول وتجب العدة به اذا طلقت الزوجة قبل الوطء على المعتمد خلافا لإبن حجر لأنه يعتبر ان يكون محترما فى الحالين كما فرره شيخنا (البجيرمي على الإقناع)

“Yang dimaksud dengan sperma yang terhormat (tidak haram) itu adalah hanya cara keluarnya saja, sebagaimana yang diyakini Imam Ramli, walaupun tidak terhormat ketika masuk (saat bersetubuh). Karenanya maka wajib beriddah jika wanita tersebut dicerai sebelum disetubuhi sesuai dengan pendapat yang lebih kuat, berbeda dengan pendapat Ibnu hajar yang menganggapnya sebagai sperma terhormat baik saat keluar maupun masuknya sebagaimana yang ditetapkan oleh Syaikhuna”.



7. Kewilayahan Wali Hakim

Kewenangan wali hakim dalam melaksanakan pernikahan terkait dua hal yang menjadi ketentuan, yaitu ; (1) Wali hakim hanya boleh menjadi wali nikah pada pernikahan yang dilaksanakan di wilayah tugasnya; dan (2) Kebolehan itu terkait dengan posisi mempelai perempuan pada saat akad nikah dilaksanakan, bukan mengacu pada asal mempelai wanita, dan juga tidak berpatokan pada posisi mempelai laki-laki. Sehingga misalnya pasangan calon mempelai telah sepakat akan melaksanakan pernikahan di wilayah KUA Kecamatan Gerung, sementara si mempelai wanita berasal dari Kecamatan Lembar dan si mempelai laki-laki beralamat di Kecamatan Labuapi, maka dalam contoh kasus ini, jika pernikahan itu jadi dilaksanakan di wilayah KUA Kecamatan Gerung dan posisi mempelai wanita berada di wilayah Kecamatan Gerung pada saat akad nikah dilangsungkan, maka yang boleh menjadi walinya adalah Kepala KUA Kecamatan Gerung. Berbeda misalnya, karena ada sesuatu dan lain hal, maka pernikahan itu jadi di laksanakan di wilayah KUA Kecamatan Sekotong dan mempelai wanita ada di wilayah itu, maka yang menjadi walinya adalah Kepala KUA Kecamatan Sekotong meskipun sebelumnya, yang disepakati adalah bahwa pernikahan itu akan dilangsungkan di wilayah KUA Kecamatan Gerung. Dan begitu seterusnya. Dengan demikian, dimana posisi mempelai wanita pada saat pelaksanaan akad nikah, maka hakim yang mewilayahi tempat itulah yang boleh menjadi walinya, bukan hakim dari asal mempelai perempuan atau hakim yang beralamat sama dengan mempelai laki-laki.

Dalam Kitab al-Syarqawi Juz 2 halaman 227, dijelaskan :

المراد بالوالي من له ولاية عاما كان أو خاصا كالقلضي والمتولى لعقود الأنكحة أو هذا النكاح بخصوصه فيزوج من هي حالة العقد بمحل ولايته ولا مجتازة ..... فلا يزوج من ليست في محل ولايته ولو لمن هو فيها....فالعبرة بالمرأة دون الزوج


“Yang dimaksud dengan wali hakim itu adalah orang yang memiliki wilayah baik sebagai hakim umum maupun hakim khusus, seperti qadhi dan memiliki kewenangan sebagai wali pernikahan atau ia ditugaskan khusus untuk itu (seperti KUA dalam praktek hukum kita), maka dia (wali hakim) yang boleh menikahkan perempuan itu di wilayah tugasnya dimana akad nikah itu dilaksanakan dan tidak boleh melewati wilayahnya…..maka tidak boleh pernikahan dilaksanakan oleh wali hakim di luar wilayahnya sekalipun ia satu alamat dengan si wanita….karena masalah perwalian wali hakimmengacu pada posisi mempelai perempuan pada waktu akad bukan berpatokan pada posisi mempelai laki-laki”


Dalam kitab Bujaerimi juz III halaman 404, diterangkan :

وهو أنه يزوج إذا كانت المرأة في محل ولايته والزوج خارجه بأن وكل الزوج فعقد الحاكم مع وكيله فالعبرة بالمرأة

“Dan dia (hakim) itu yang boleh menikahkan, bila keberadaan (posisi) mempelai wanita berada di wilayahnya, dan sekalipun mempelai pria tidak berada ditempat itu dan mewakilkannya pada orang lain, maka hakim yang mewilayahi tempat itu yang menikahkan bersama wakil dari mempelai laki-laki”

Lebih lanjut, dapat dilihat penjelasan masalah tersebut pada kitab-kitab dibawah ini :
• Kitab Mughniul Muhtaj juz 4 halaman 252
• Kitab Qalyubi juz 3 halaman 226
• Kitab I’anatut Thalibin jujz III halaman 314
• Kitab Al-bajuri juz II halaman 106
• Kitab Taushih halaman 199
• Kitab Fathul Wahab juz 2 halaman 36



8. Wali Hakim Presiden Perempuan

Untuk diketahui bahwa wilayah hakim dalam pernikahan berada ditangan presiden dan aparat yang ditunjuk olehnya. Sebagaimana diterangkan dalam kitab al-Mughni wa al-Syarah al-Kabir li Ibni Qudamah juz VII halaman 351, dijelaskan :

قال صل الله عليه وسلم : فإن تشاجروا فالسلطان ولي من لا ولي له. أخرجه الأربعة إلا النسائي وصححه أبو عوانة وابن حبان والحاكم. والمراد بالسلطان هنا هو الإمام أو الحاكم أو من فوض إليه ذلك

“Jika mereka bertikai maka sulthan adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali. (HR. Bukhori, Muslim, Abu Dawud, Abu ‘Awanah, Ibnu Hibban dan al-Hakim). Dan yang dimaksud dengan sulthan di sini adalah, imam (penguasa), hakim, atau orang yang mendapatkan mandat (untuk melaksanakan akad nikah)”


Dalam Kitab I’anatut Thalibin juz III halaman 314, juga di jelaskan :

قوله والمراد أي السلطان : من له ولاية أي عامة أو خاصة ..... وحاصل الدفع أن المراد باالسلطان كل من له سلطان وولاية على المرأة عاما كان كالإمام أو خاصا كااقاضي والمتولى لعقود الأنكحة

“Yang dimaksud dengan sulthan adalah, orang yang memiliki kekuasaan, baik umum ataupun khusus,..…. Yakni semua orang yang mempunyai kekuasaan terhadap perempuan, baik secara umum seperti imam, ataupun secara khusus seperti hakim dan orang yang memperoleh mandat untuk melaksaakan akad nikah”


Dalam kitab al-Bajuri, juz II halaman 106 diterangkan :

ثم الحاكم عاما كان أو خاصا كااقاضي أوالمتولى بعقود الأنكحة أو لهذا العقد بخصوصه

“Kemudian hakim baik yang bersifat umum atau yang bersifat khusus seperti qadhi (penghulu) atau orang yang memperoleh mandat untuk melaksanakan akad-akad nikah atau akad tersebut secara khusus”

Kendatipun ada sebagian kalangan meragukan keabsahan hukum wali hakim oleh pejabat yang ditunjuk pemerintah dengan dalih bahwa pemerintahan tersebut bukan pemerintah negara Islam dan bagi kelompok ini, justru lebih menguatkan keberadaan wali tahkim, sebab hanya sultan dari pemerintahan Islam yang boleh menetapkan dan menunjuk wali hakim. Persoalan ini sempat menyita banyak energi umat Islam dan menjadi polemik hukum berkepanjangan sampai pada masa pemerintahan Sukarno. Presiden Sukarno, oleh kelompok ini, dipandang bukan sultan menurut literature fiqih klasik dan Indonesia bukan Negara Islam, sehingga tidak sah menunjuk wali hakim. Pandangan kelompok pertama ini di-counter oleh pendapat para ulama dari kalangan mainstream mewakili faksi mayoritas umat Islam, dengan argumen bahwa presiden sebagai pimpinan tertinggi pemerintahan adalah sama kedudukannya dengan imamatul uzma ---dan bahkan sama dengan khalifah¬--- menurut hukum Islam. Sambil merujuk pendapat al-Mawardi (dalam al-Ahkam al-Shulthaniyyah) ---dengan konsepsinya mengenai khilafah sebagai mekanisme institusional dalam mengganti Nabi dalam memelihara agama dan mengatur dunia--- sebagai pijakan hujjahnya, kelompok yang tersebut belakangan ini memandang bahwa presiden Sukarno sebagai seorang muslim mempunyai tugas dan kewajiban yang sama dengan fungsi khalifah dimaksud. Lebih-lebih bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam adalah manifest dari negeri muslim (sehingga bisa disebut sebagai darul Islam). Meskipun Indonesia bukan negara Islam, tetapi umat Islam di dalamnya dapat dengan maksimal menjalankan syariat agama dan bahkan negara juga mengurus kepentingan agama dan umat Islam.

Polemik hukum tersebut berakhir setelah digelarnya konferensi nasional alim ulama pada tahun 1954 di Cipanas atas prakarsa Menteri Agama, Kiai Masjkur, diputuskan untuk mengangkat Sukarno dan pemerintah sebagai “waliyu al-amri al-daruri bi al-syaukah” (pemerintahan darurat yang efektif secara de facto). Gelar ini melegitimasi pemerintahan presidential Sukarno dan memberinya kedudukan sebagai kepala negara yang sah dalam pandangan hukum Islam, dan oleh karenanya, ipso facto harus dipatuhi semua umat Islam. Keputusan ini semakin meneguhkan kewenangan presiden sebagai kepala negara menetapkan dan menunjuk wali hakim melalui mekanisme yang berlaku

Terkait dengan presiden perempuan, apakah ia boleh menjadi wali dalam pernikahan dan apakah ia boleh mendelegasikan wewenangnya sebagai wali kepada aparat dibawahnya ? dalam hal ini, maka presiden perempuan boleh menjadi wali hakim dalam pernikahan perempuan lain, dikarenakan ia adalah pemimpin tertinggi (waliyah ammah). Tersebut dalam kitab al-Bujairimy ‘alal Khathib juz II halaman 337 :

لا تعقد إمرأة نكاحا ... الا إذا وليت الإمامة العظمى فإن لها أن تزوج غيرها لأنفسها كما أن السلطان لا يعقد لنفسه

“Wanita tidak boleh melakukan akad nikah….kecuali jika ia memegang jabatan tertinggi (raja atau presiden), maka ia boleh mengawinkan wanita lain untuk diri perempuan lain, sebagaimana sulthan tidak bisa mengakad untuk dirinya sendiri”


Demikian pula penjelasan dalam Kitab al-Bajuri juz II halaman 337:

(وقوله ولا غيرها) أي ولا تزوج غيرها لا بولاية ولا وكالة لخبر : لا تزوج المرأة المرأة ولا المرأة نفسها.... نعم’ إن تولت إمرأة الإمامة العظمى والعياذ بالله تعالى نفذت أحكامها للضرورة كما قاله عز الدين بن عبد السلام وغيره وقياسه صحة تزويجها غيرها باللولاية العامة

“Yakni, wanita tidak boleh mengawinkan wanita lain, baik sebagai wali langsung ataupun sebagai wakil. Hal ini sesuai dengan hadits : “Wanita tidak boleh mengawinkan wanita lain dan tidak boleh pula mengawinkan dirinnya sendiri”…. Jika wanita tersebut menduduki jabatan, pemimpin tertinggi (raja: khlifah atau presiden) semoga Allah Swt. melindungi dari adanya (presiden wanita) maka seluruh produk hukumnya boleh dilaksanakan karena darurat. Pendapat ini dianut oleh Izzuddin ibnu Abdus Salam, dan lainnya berdasarkan analogi keabsahan wanita yang memiliki kekuasaan umum untuk mengawinkan wanita lain”

Juga keterangan Kitab al-Bujairimi ala minhaj juz II halaman 337 :

قال ح ل (الحلببي) إلا إذا وليت الإمامة العظمى فإن لها أن تزوج غيرها لأنفسها كما أن السلطاان لا يعقد لنفسه

“Al-Halabi berpendapat, kecuali jika ia menjabat sebagai pemimpin tertinggi (khalifah, raja, perdana menteri, presiden), maka ia boleh mengawinkan wanita lain oleh dirinya, sebagaimana sulthan tidak bisa mengakadi untuk dirinya sendiri”




9. Tasharruf wali nikah perempuan pada lelaki yang akan menjadi suaminya

Sebagaimana penjelasan di muka bahwa wanita ---dalam pandangan tiga Imam Mazhab, yakni Maliki, Syafi’i dan Hambali--- tidak boleh tasharruf (bertindak sendiri) sebagai wali bagi pernikahannya atau wali bagi pernikahan wanita lainnya. Juga wanita tidak boleh mewakilkan kepada lelaki lain untuk menjadi wali dalam pernikahannya, sekalipun ia ridha dengannya. Terkecuali, bila mana wanita menjadi pemimpin tertinggi negara (sebagai presiden, raja atau khalifah), maka ketika itu ia boleh menjadi wali atau mewakilkan kewenangannya menjadi wali nikah kepada petugas yang ditetukan. Berbeda dengan tiga imam tersebut, Imam Hanafi membolehkan perempuan menjadi wali nikah bagi dirinya. Perbedaan pandangan ini terjadi sebab berlainan dalam memahami maksud yang terkandung dalam hadits Rasulullah Saw, yakni : لا نكاح الا بولي وشاهدي عدل Imam Maliki, Syafi’ dan Hambali memahami keberadaan wali dalam pernikahan adalah sebagai syarat sahnya nikah (شرط لصحة النكاح), sementara Imam Hanafi memahaminya sebagai syarat tamam nikah (شرط لتمامه), syarat kesempurnaan nikah. Karenanya, bagi Hanafi, apabila di suatu tempat tidak ada orang lain selain seorang lelaki dan seorang perempuan, maka boleh perempuan menjadi wali nikah bagi dirinya, dengan catatan :
o Karena alasan menjaga kesucian agama (menghindari zina)
o Karena sangat berhajat
o Konteksnya adalah dharurat
o Perempuan itu tidak boleh bertindak (tasharruf) langsung sebagai wali nikah, baik bagi dirinya maupun terhadap wanita lain, melainkan ia harus menyerahkan kewalian itu kepada lelaki melalui akad penyerahan kewalian dirinya.

Tentang permasalah ini dijelaskan dalam kitab Fiqih Ala Mazahibul Arba’ah jilid IV halaman 44 :


إتفق الشافعية والمالكية والحنابلة على أن الولاية في النكاح يشترط لها الذكور فلا تصح ولاية المرأة على أي حال. وخالف الحتفية في ذلك فقالوا : إن المرأة تلي أمر نكاح الصغيرة والصغير ومن في حكمهما من الكبار إذا جنا عند عدم وجود الأولياء من الرجال.....ولكنها لا تباشر العقد بل توكل عنها رجلا يباشره بذلك

“Telah sepakat ulama mazhab Syafi’iyah, Malikiyah dan Hambaliyah tetang perwalian dalam pernikahan dipersyaratkan bahwa walinya laki-laki, maka tidak sah kewalian perempuan dalam pernikahan. Akan tetapi ulama mazhab Hanafi berbeda dengan pandangan tersebut, dan mereka berpendapat bahwa “sesungguhnya wanita menyerahkan perkara perwalian anak perempuan dan laki-laki yang masih kecil dan apa yang terkait dengan keduanya, kepada seorang lelaki yang dewasa, apabila sudah jelas dan pasti mengenai ketiadaan wali dari laki-laki. Sekalipun boleh wanita sebagai wali bagi sebuah pernikahan, akan tetapi tidak boleh bertindak langsung menjadi wali nikah, melainkan si wanita tersebut harus menyerahkan kepada seorang laki-laki yang akan bertugas sebagai wali nikah dimaksud”


Tersebut dalam kitab Bughyatul Musytarsyidin halaman 205 :

بخلاف عندنا فمن حكم أو أفتى بصحته تقض حكمه وردت فتواه وأما تزويجها على مذهب أبي حنيفة فلا ينبغى للمحتاط لدينه أن يتساهل فيرخص في العمل بذلك كما يفعله بعض متفقهة العصرإذ لا ضرورة إلي ذلك....والحاصل أنه لا ينبغي لغير متبحر في العلم عالم بشروط التقليد فتح هذا المسألة و الإفتاء بها فمن عمل ذلك إما مدعي التبحر أو متهور. يجوز التقليد وذهب الغير في العمل في نكاح إمرأة بلا ولي أوبلا شهود بشروطه المارة ومعلوم أن تقليد المذهب الأخر صعب على فقهاء العصر فضلا عن عوامهم فينبغي للمستبرئ لدينه التثبت وسلوك طريق ألإحتياط في مثل ذلك

“Berbeda dengan pandangan kami (mazhab Syafi’i) yang tidak memperbolehkan pernikahan wanita yang mewalikan dirinya. Orang yang berfatwa mengenai kebolehannya, batal demi hukum dan tertolak fatwanya. Adapun pandangan ulama mazhab Hanifi mengenai kebolehan wanita menjadi wali bagi pernikahan dirinya, (bagi kami) demi memelihara agama, tidak pantas untuk mencari-cari kemudahan dan keringan untuk melakukan perbuatan seperti itu (pernikahan perempuan sebagai wali bagi dirinya) seperti yang dilakukan para fuqaha masa kini, karena tidak bisa diberlakukan alasan darurat dalam masalah ini. Kesimpulannya bahwa tidak pantas bagi orang yang tidak memiliki kedalaman ilmu dan pengetahuan mengenai persyaratan bolehnya melakukan taqlid untuk membuka permasalahan ini dan memberi fatwa tentangnya. Barang siapa yang melakukannya maka dia mungkin karena dorongan ilmu atau karena ngawur semata. Pendapat yang membolehkan bertaqlid kepada mazhab lain dalam melakukan pernikahan tampa wali dan saksi dalam pandangan ulama masa kini, berat untuk bisa diterima karena kurangnya penguasaan ilmu mereka. Maka sebaiknya bagi orang yang ingin menjaga kemurnian dan kesucian ajaran agama agar tetap konsisten dan lebih berhati-hati”


Kitab I’anatut Thalibin juz III halaman 319 :

إن لم يوجد ولي ممن مر فيزوجها محكم عدل حر مع خاطبها أمرها ليزوجها منه.....ولو وطىء في نكاح بلا ولي كأن زوجت نفسها ولم يحكم حاكم بصحتها ولا ببطلانه لزمه مهر المثل دون المسمى لفساد النكاح

“Jika tidak terdapat wali lelaki seperti yang tersebut (wali nasab atau wali hakim), maka boleh menyerahkan kewaliannya kepada wali tahkim… seandainya melakukan pernikahan dengan tampa wali (perempuan menikahi dirinya atau menyerahkan kewaliannya kepada mempelai laki-laki), sementara pernikahan ini tidak diisbatkan keabsahannya atau dibatalkan oleh hakim (pengadilan agama), maka diwajibkan bagi suaminya memberi mahar mitsil sebagai konpensasi hukum karena batalnya pernikahan itu demi hukum”




10. Wali nikah anak wathi’ subhat

Anak perempuan sebagai hasil wathi’ subhat (perempuan yang di-wathi’ karena keliru atau tidak sengaja (disangka istrinya oleh laki-laki yang mendukhulnya), maka sebagai walinya manakala anak perempuan dimaksud menikah adalah laki-laki yang mewathi’ ibunya tadi. Sebagaimana keterangan dalam kitab al-Syarqawi Juz II, hal : 328

بخلاف ما لو زنى مكره بطائة فإنه لا يجب عليها عدة ولا يثبت بوطئه نسب الى ان قال وفارق الشبهة بأن ثبوت النسب فيه انما جاء من جهة الظن الواطئ (الشرقاوي على التحرير فى العدة والاستبراء : )

“Berbeda jika seseorang dipaksa untuk berzina dengan wanita, maka wanita tersebut tidak harus beriddah dan persetubuhan yang terjadi tidak menyebabkan nasab (garis keturunan) ....berbeda dengan seseorang yang bersetubuh karena syubhat (wathi’ syubhat) karena adanya penetapan nasab dengan persetubuhan tersebut adalah karena berdasarkan sisi adanya dugaan (bahwa yang disetubuhi tersebut adalah istrinya sendiri)”







11. Wali berwakil hadir dalam majelis akad

Seorang wali yang telah mewakilkan kewaliannya pada seseorang tidak mengapa hadir dalam majelis akad, artinya andaikata wali tersebut hadir, maka hukum nikahnya tetap sah. Kecuali bila si wali tadi hadir sebagai saksi pernikahan tersebut, maka pernikahannya menjadi tidak sah, karena ia pada hukum asalnya ditentukan sebagai akid bukan sebagai saksi. Pada ketika sebagai akid (kewajiban pokok) saja ia mewakilkan kepada orang lain, maka tentu sebagai saksi (bukan kewajiban pokoknya) menjadi tidak layak dan tidak patut. Keterangan dari Kitab Hasyiyah Albajuri :

فلو وكل الاب او الاخ المنفرد فى العقد وحضر مع اخر ليكونا شاهدين لم يصح لأنه متعين للعقد فلا يكون شاهدا )الباجوري على فتح القريب)

“Seandainya si ayah atau saudara mewakilkan kepada orang lain dalam melaksanakan akad (nikah) dan ia hadir bersama orang lain untuk menjadi saksi (rangkap fungsi sebagai orang yang mewakilkan dan sebagai saksi), akadnya tidak sah karena ia ditentuka sebagai akid bukan sebagai saksi”
Juga diterangkan dalam kitab I’anatut Thalibin, juz III halaman 299 :

فلو وكل الأب أو الأخ المنفرد فى النكاح وحضر مع الأخرلم يصح لأنه ولي عاقد فلا يكون شاهدا

“Jikalau ayah atau saudara (seorang diri) mewakilkan (wali anaknya/saudaranya) kepada orang lain dalam melaksanakan akad (nikah) dan ia hadir bersama orang lain untuk menjadi saksi akadnya tidak sah karena ia sebagai pemilik akid (bukan sebagai saksi)”




12. Nikah mahar muqoddam

Akad nikah yang maharnya diserahkan terlebih dahulu oleh mempelai laki-laki, maka akad nikah tersebut sah adanya asalkan antara calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan sepakat kalau hal tersebut sebagai mahar. Ulama berbeda pendapat bilamana pemberian tersebut disalah pahami oleh kedua calon mempelai, semisal, calon mempelai wanita menganggap pemberian itu sebagai lamaran atau hadiah, sementara calon mempeali laki-laki memahaminya sebagai mahar, maka sebagian ulama mengatakan itu hadiah bukan mahar, sebagai lagi berpendapat sebagaimana pendapat yang dianut oleh sebagian besar ulama ahli, menyatakan itu sebagai mahar. Sebagaimana penjelasan dalam kitab I’anatut Thalibin juz III halaman 355 :

لو خطب امرئة ثم ارسل او دفع بلا لفظ اليها مالا قبل العقد اي ولم يقصد التبرع ثم وقع الإعراض منها او منه رجع بما وصلها منه كما صرح به جمع محققون ولو اعطاها مالا فقالت هدية وقال صداقا صدق بيمينه

“Seandainya seorang melamar wanita, kamudian ia mengirimkan atau memberikan sejumlah uang kepadanya sebelum akad nikah tampa disertai suatu pernyataan apapun, dan ia tidak bermaksud untuk bersedekah, kamudian terjadi pengingkaran dari pihak wanita atau lelaki peminang tersebut, maka lelaki itulah yang dimenangkan. Pendapat ini sesuai dengan yang dianut sebagain besar ulama ahli. Seandainya lelaki tersebut memberikan sejumlah harta, kemudian si wanita menyatakannya sebagai hadiah, sedangkan si lelaki menyatakannya sebagai maskawin, maka si lelakilah yang lebih dipercaya dengan disertai sumpah”


Seandainya seorang lelaki melamar wanita dengan memberikan sejumlah harta yang disebut jihaz (pengikat), kemudian pada waktu akad nikah si lelaki menyatakan bahwa pemberian harta pada waktu meminang itu adalah maskawin bagi si wanita, maka dalam hal ini akan sangat bergantung pada niat si lelaki itu pada waktu menyerahkan hartanya. Dijelaskan dalam kitab al-Fatawy al-Kubra, juz IV halaman 111 :

(فأجاب) بأن العبرة نية الخاطب الدافع فإن دفع بنية الهدية ماكته المخطوبة أو بنية إحسانه من المهر حسب منه


“Sesungguhnya yang dijadikan pedoman, adalah niat dari si pemberi. Jika dia memberikan dengan niat sebagai hadiah, maka wanita pinangannya berhak untuk memilikinya. Namun jika diniati sebagai nilai dari maskawin, maka akan dianggap sebagai maskawin darinya”


Lebih lanjut, dapat dicarikan penjelasan kebolehan dan sahnya pernikahan dengan memberikan mahar terlebih dahulu sebelum akad nikah dilaksanakan, pada beberapa kitab, antara lain :
• Bughyatul Musytarsyidin, halaman 314
• Tuhfatul Muhtaj juz VII halaman 378
• Al-Mahalli, juz III halaman 254
• Asnal Mathalib juz III halaman 301
• Al-Bujairimi ‘alal Iqna’ juz III halaman 329
• Al-Syarqawi juz I halaman 264



13. Suami mengaku tidak beristri

Seorang lelaki yang telah beristri mengaku tidak beristri supaya bisa kawin lagi atau agar lamarannya diterima, maka ucapan lelaki tersebut dikatagorikan sebagai ucapan kinayah dalam thalaq yang tentunya bergantung pada niat laki-laki tersebut. Artinya, pada saat lelaki tersebut mengucapkan kata-kata (aku masih bujangan atau aku tidak punya istri) dan terbetik dalam hatinya membenarkan ucapan tadi, maka jatuhlah talak, sebaliknya jika ia tidak berniat talak, maka istrinya tidak tertalak, karena ucapannya tidak jelas mengacu pada perceraian. Sebagaimana penjelasan dalam Kitab Syarah Muhazzab Juz II :

وان قال له رجل الك زوجة ؟ فقال لا فان لم ينو به الطلاق لم تطلق لأنه ليس بصريح وإن نوى به الطلاق وقع لإنه يحتمل الطلاق (المهذب فى باب كناية الطلاق)

“Seandainya seorang lelaki (yang punya istri) ditanyai, apakah anda beristri ? dan ia menjawab tidak, maka jika ia tidak berniat talak, maka istrinya tidak tertalak, karena ucapannya tidak jelas mengacu pada perceraian. Namun jika ia berniat talak, maka talak pun jatuh (secara syar’i), karena ucapannya memang memungkinkan akan bercerai”




14. Wali anak zina perempuan yang ‘iddahnya kurang dari empat tahun

Apabila seorang janda hamil sebelum selesai iddahnya baik menggunakan perhitungan quru’ atau bulan dan belum sampai empat tahun dari sejak dicerai atau ditinggal suaminya, sedang ia tidak pernah menikah lagi, meskipun ia mengaku telah berbuat zina, maka anak yang dikandungnya diilhaqkan (diikutkan) kepada suaminya dan iddahnya diperhitungkan sampai dengan melahirkan kandungannya, berikut pendapat ulama’ mengenai hal tersebut :

• Penjelasan dalam Kitab al-Raudhah

(فان طلقها) باءنا او رجعيا او فسخ نكاحها ولو بلعان (ولم ينف الحمل فولدت لأربع سنين فأقل من) وقت (امكان العلوق قبيل الطلاق) او الفسخ (لحقه) وبان ان العدة لم تنقض ان لم تنكح المرئة اخر او نكحت ولم يمكن كون الولد من الثاني لقيام الامكان سواء أقرت بإنقضاء عدتها قبل ولادتها ام لا لأن النسب حق الولد فلا ينقطع بإقرارها


“Apabila suami menceraikan istrinya, baik secara ba’in atau roj’i atau pernikahan batal atau terjadi li’an dan suami tersebut tidak mengingkari kehamilan, kemudian si istri melahirkan dalam rentang waktu empat tahun atau kurang terhitung dari kemungkinan bersetubuh beberapa saat sebelum perceraian ataupun pembatalan nikah, maka anak tersebut menjadi anaknya dan bahwa iddahnya tidak habis selama istri tersebut belum kawin dengan orang lain atau sempat kawin. Namun anak tersebut tidak mungkin berasal dari suami yang kedua, baik istri tersebut mengakui habisnya iddah atau tidak mengakuinya, karena nasab atau garis keturunan merupakan hak anak dan tidak putus oleh pengakuan ibu”


• Penjelasan Kitab al-Syarwaniy ‘ala al-thuhfah Juz 8, pada pembicaraan mengenai thalaq :

(ولو ابانها) اي زوجته بخلع او ثلاث ولم ينف الحمل (فولدت لأربع سنين) فأقل ولم تتزوج بغيره أو تزوج بغيره ولم يمكن كون الولد من الثاني (لحقه) وبأن وجوب سكناها ونفقتها وان أقرت بإنقطاع العدة لقيام الامكان اذا كثر الحمل اربع سنين بإستقراء الى ان قال : (ولو طلقها رجعيا) فآتت بولد لأربع سنين (لحقه) وبان وجوب نفقتها وسكناها اي وان المرئة معتدة الى الوضع حتى يثبت للزوج رجعتها


“Seandainya suami menceraikan istrinya secara khulu’ atau tiga kali, maka ia tidak boleh mengingkari kehamilan jika isteri melahirkan dalam rentang waktu empat tahun atau kurang, dan si isteri tersebut belum kawin dengan orang lain, namun tidak memungkinkan anak tersebut dari suami kedua, maka anak tersebut harus diikutkan pada suami pertama dan ia berkewajiban memberikan perumahan dan nafkah, meskipun si isteri tersebut mengakui dengan habisnya iddah, sebab waktu kehamilan yang paling lama adalah empat tahun menurut penelitian…jika suami tersebut mentalak isterinya dengan talak raj’i dan kemudian datang membawa anak dalam rentang waktu selama empat tahun, maka anak tersebut harus diikutkan sebagai anaknya dan ia pun berkewajiban menyediakan papan dan pangan. Dan sesungguhnya wanita tersebut beriddah sampai melahirkan sehingga ada ketetapan bagi suami untuk merujuknya kembali”

Berbeda halnya jika janda setelah habis iddah baik talak raj’i maupun lainnya kawin dengan laki-laki lain dan kemudian hamil, maka anak tersebut adalah milik suami kedua, lain halnya bila wanita yang ditalak suaminya hamil kemudian menikah dengan lelaki lain, maka anaknya milik suami pertama, demikian penjelasannya dalam kitab Khasyiyatul Iwadh ‘ala Iqna’ bab Zihar :

وكذا بنت الزوجة ان كانت موجودة قبل تزوجه بأمها لم يصح التشبيه بها لطرو تحريمها عليها بنكاح أمها وان حدثت بعد بأن أبان زوجة فتزوجت بغيره واتت منه ببنت فهي محرمة من حين وجودها فيصح التشبيه بها

“Demikian pula anak perempuan dari seorang isteri (ibu), jika anak tersebut sudah ada sebelum diri si lelaki mengawini ibunya, maka tidak boleh dinisbatkan padanya, karena keharaman atasnya baru terjadi setelah ia mengawini ibunya. Jika kehamilan terjadi sesudahnya, seperti isteri telah diceraikan kemudian kawin dengan diri lelaki tersebut, dan kemudian mengandung anak perempuan darinya, maka anak tersebut menjadi muhrim terhitung sejak keberadaannya, sehingga boleh dinisbatkan kepadanya”


Demikian pula dengan anak zina dari seorang janda yang usia perceraiannya empat tahun atau kurang dan si janda tersebut tidak pernah menikah secara sah dengan lelaki lain sejak dicerai suaminya dulu, maka anak dimaksud diilhaqkan kepada mantan suami si janda tadi, dan menjadi wali nikahnya, bila anak zina dimaksud perempuan. Sama halnya, bila seorang istri mempunyai anak perempuan, kemudian suaminya meninggal, lalu berzina dengan seorang lelaki, setelah dua tahun, mempunyai anak laki-laki, maka anak laki-laki ini adalah saudara kandung (seayah se ibu) dengan anak perempuan tadi, Sebab si istri (janda) belum pernah menikah secara sah dengan lelaki lain sepeninggal suaminya sebelum lewat masa jandanya empat tahun. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin, hal 279 :

فالحاصل ان المولود على فراش الزوج لاحق به مطلقا ان امكن كونه منه ولاينتفي عنه الا باللعان والنفي تارة تجب وتارة يحرم ولاعبرة بإقرار المرئة بالزنا وان صدقها الزوج وظهرت امارته

“Maka disimpulkan bahwa anak yang dilahirkan dari “penguasaan tempat tidur suami, maka nasabnya diikutkan kepadanya secara mutlak. Sebab, anak itu kemungkinan besar berasal dari hasil persetubuhannya, Ketentuan ini tidak dapat dinafikan keciali dengan sumpah li’an. Pengingkaran kadang menjadi wajib, terkadang menjadi haram. Pengakuan istri berzina dengan segala indikatornya yang dibenarkan oleh suami, itu dikesampingkan (tidak dapat dijadikan pertimbangan hukum)”

Atau seorang istri ysng melahirkan anak kemudian suaminya bepergian sampai empat tahun atau kurang, kemudian istri tersebut melahirkan lagi seorang anak kedua dan ia menyatakan (ikrar) bahwa ia tidak bersetubuh dengan seseorang lelaki baik suaminya sendiri maupun orang lain, maka anak tersebut akan menjadi saudara kembar dari anak yang pertama, bila ia lahir sebelum lewat enam bulan (dari kelahiran anak yang pertama) dan menjadi anak dari suami yang berpergian tersebut, sebagaiman dipahami dari penjelasan dalam Kitab al-Bajuri ‘ala Fathil Qorib juz II :

وضابط التوئمين بأن لا يتخلل بينهما ستة اشهر بان ولدا معا او تخلل بيهما دون ستة اشهرفان تخلل بينهما ستة اشهر فاكثرهما حاملان لا توئمان

“Batasan pengertian anak kembar adalah bila diantara kedua anak kembar tersebut tidak berselang selama enam bulan, atau berselang kurang dari enam bulan. Jika diantara keduanya berselang enam bulan atau lebih, maka merupakan dua kehamilan dan bukan anak kembar”


Apabila anak kedua itu lahir setelah berselang enam bulan dan ada kemungkinan bersetubuh dengan suaminya sesudah kelahiran pertama dan sebelum berpergian serta si suami tidak memungkirinya dengan angkat sumpah (li’an), maka anak itu menjadi anak dari suami tersebut. Lain halnya jika tidak dimungkinkan bersetubuh dengan suaminya setelah kelahiran pertama dan atau si suami memungkirinya dengan angkat sumpah (li’an), maka kandungan kedua itu hukumnya kandungan zina dalam arti tidak ada iddah dan boleh dikumpuli, dan juga hukumnya kandungan syubhat dalam arti tidak ada had (pidana) tidak ada qodzaf (dakwaan zina) dan menghindari persangkaan buruk. Seperti dijelaskan dalam Bughyah bab hudud :

فعلم ان كل امرئة حملت واتت بولدان امكن لحوقه بزوجها لحقه ولم ينتف عنه الا بللعان وان لم يمكن كان طالت غيبة الزج بمحل لا يمكن اجتماعهما عادة مان حكم الحمل بالزنا بالنسبة وجوب العدة وجواز نكاحها ووطئها وكالشبهة بالنسبة لدرء الحد والقدف واجتناب سوء الظن

“Maka diketahui bahwa setiap wanita yang hamil dan melahirkan bebrapa anak, jika memang memungkinkan bertemu dengan suaminya maka anak tersebut menjadi anaknya dan suami tersebut tidak boleh mengingkarinya kecuali dengan sumpah li’an. Dan bila tidak mungkin bertemu dengan suaminya, seperti di suatu tempat yang tidak mungkin bertemu dengan istrinya, maka kehamilannya dihukumkan sama dengan zina dalam kaitannya dengan tidak ada kewajiban beriddah, dan kebolehan menikahinya dan menggaulinya, dan bisa pula dihukumi seperti syubhat (kehamilan akibat tampa sengaja untuk berzina) dalam kaitannya dengan tidak adanya pelaksanaan hukum berzina dan tuduhan berzina serta menghindari buruk sangka terhadapnya”





15. Menikahi janda yang tidak haidh lagi sebelum manopaus

Janda yang sudah habis iddahnya, sampai satu setangah tahun tidak haidh lagi sejak bercerai dengan suaminya, disebabkan operasi, sakit, atau menyusui, padahal ia belum sampai tahun lepas dari haidh (sinnil yasi / manopaus) maka janda tersebut tidak boleh menikah lagi dengan lelaki lain sampai ia haidh lagi atau sudah mencapai umur manopaus. Sebagaimana dijelaskan dalam Kitab I’anat al-Thalibin :


اما من انقطع دمها بعلة تعرف كرضاع ومرض فلا تتزوج اتفاقا حتى تحيض او تياس وان طالت المدة

“Adapun wanita yang terputus darah menstruasinya karena sebab yang diketahui seperti menyusui dan sakit, maka disepakati tidak boleh kawin lagi sampai ia berhaidh atau manopaus, walaupun tenggang waktunya lama”


Juga dijelaskan dalam Kitab Talkhishul Murad (Hamisy Bughyah) :


من انقطع دمها لعلة تعرف كرضاع ومرض وخوف وضيق عيش فالمجزوم به فى المذهب ان عدتها بالقراء وانها تصبر حتى تحيض أو تبلغ سن الإياس اثنان وستون سنة فتعتد حين آد بالأشهر


“Wanita yang darah menstruasinya terputus oleh sebab-sebab yang diketahui seperti menyusui, sakit, ketakutan dan tekanan kehidupan yang berat, maka menurut pendapat yang ditetapkan dalam mazhab adalah bahwa iddahnya tiga kesucian, dan wanita tersebut harus bersabar (tidak boleh kawin lagi) sampai ia haidh lagi atau sudah mencapai umur manopaus (sudah berumur sekitar) enam puluh dua tahun. Maka dalam hal ini ia beriddah dengan hitungan bulan”





16. Menikahi anak tiri

Menikahi anak tiri hukumnya tidak sah jika ibunya telah didukhul meskipun jalan duburnya, baik pada akadnya sah maupun akadnya fasid, sebagaimana penjelasan dalam Kitab I’anat al-Thalibin, jilid 3 hal 291 -292 :

(وكذا فصلها) اي الزوجة بنسب او رضاع ولو بواسطة سواء بنت ابنها او بنت ابنتها وان سفلت (ان دخل بها) بان وطئها ولو في الدبور وان كان العقد فاسدا وان لم يطئها لم تحرم بنتها بخلاف امها …….والحاصل تحرم الريبة وهي بنت الزوجة وبناتها وبنت الريب وهو ابن الزوجة وبناتها

“Demikian pula haram menikahi keturan dari sang istri baik keturunannya dari jalur nasab maupun susuan, sekalipun berantarakan satu keturunan dari anak perempuannya dan terus kebawah, apabila sang istri telah pernah digauli meskipun pada duburnya, dan sekalipun pada akad yang fasid (akad yang batal demi hukum), kalau belum pernah di gauli maka tidak haram menikahi putrinya, lain halnya dengan ibunya (ibu mertuanya tetap haram dinikahi, sekalipun sang istri belum digauli, asalkan akad nikahnya sah)” …….“Dan kesimpulannya haram menikahi al-raibah (anak tiri perempuan) yaitu anak perempuan dari istri dan anak keturunannya (cucu perempuan dari anak perempuannya istri), dan haram menikahi bintu al-raib (anak tiri laki-laki) yaitu anak laki-laki dari istri dan keturunannya (cucu perempuan dari anak laki-lakinya istri)”
Ada tiga hal yang menyebabkan haramnya melakukan akad nikah untuk selama-lamanya, yaitu sebab qarobah (keturunan), radha’ah (hubungan susuan) dan mushaharah (hubungan persemendaan). Maka menikahi anak tiri adalah haram hukumnya dan tidak sah apabila ibu dari anak itu sudah didukhul, jika ayahnya belum mencampuri ibu anak tiri tersebut, maka sah hukumnya ayah dari anak itu menikah dengannya. Dalam Kitab Mazahibul Arba’ah jilid IV halaman 50 diterangkan :

المصاهرة فيحرم بها ثلاثة أنواع : النوع الأول فروع نسائه المدخول بهن فيحرم عليه ان يتزوج بنت إمرأته وهي ربيبته سواء كنات في مفالته أو لا ...... أما إذ عقد على أمها ولم يدخل بها كان البنت لا تحرم عليه

“ Wanita karena hubungan mushaharah haram menikahinya karena tiga sebab : pertama, keturunan istri yang telah dicampuri (didukhul), maka haram menikahi anak perempuan istri, yaitu perempuan anak tiri, baik ia dalam tanggungannya (tinggal bersamanya) atau tidak……Adapun jika menikahi ibunya dan belum dicampuri, maka anaknya (anak tiri) tidak haram untuk dinikahi”





17. Imro’atul mafqud

Imro’atul mafqud adalah perempuan yang hilang suaminya dengan ketiadaan berita mengenai keberadaannya. Persoalan yang timbul kemudian adalah bagaimana status ikatan pernikahan dari sang istri yang kehilangan suaminya, jika hilangnya sang suami sampai bertahun-tahun dan tidak ada kabar berita mengenai keberadaanya ? Dalam hal ini ada dua pandangan hukum di kalangan shahabat dan para fuqaha, yaitu :
1) Pandangan mazhab Ahlul Bait, terutama pendapat Ali ra. bahwa si istri yang suaminya hilang dan tidak ada kabar berita sampai bertahun-tahun lamanya adalah si istri tersebut masih tetap statusnya sebagai istri dari si suami yang hilang tersebut sampai ada kepastian dan kejelasan informasi yang akurat, dapat dipertanggung jawabkan dan berdasarkan bukti yang otentik serta saksi-saksi yang kuat, mengenai status hubungan dari pernikahan tersebut, apakah si suami (yang hilang itu) sudah meninggal dunia, atau apakah si suami telah menceraikan istrinya, ataukah si suami telah keluar dari Islam (murtad), dan lain-lain sebab yang dapat memutuskan sebuah pernikahan dalam pandangan hukum syara’. Sepanjang belum ada kepastian hukum mengenai faktor-faktor yang dapat memutuskan ikatan pernikahannya, seperti tersebut diatas, maka si istri tetap setatusnya sebagai istri dari si suami yang hilang itu, dan kepadanya disarankan untuk tetap bersabar menunggu kepastian keberadaan suaminya maupun kejelasan hubungan pernikahannya. Pandangan ini didasarkan pada hadits dari Rasulullah Saw :


وعن المغيرة إبن شعبة قال : قال رسول الله صل الله عليه وسلم : إمرأة المفقود إمرأته ستى يأتيها الليان (أخرجه الدارقطني بإسناد ضعيف)

“Berkata Mughirah ibnu Syu’bah : Rasulullahi Saw. bersabda : “Imroatul mafqud (istri yang hilang/tidak diketahui keberadaan suaminya) tetap menjadi istrinya (dari suami itu) sehingga jelas statusnya (apakah ia masih hidup, meninggal dunia, atau ia telah menceraikan istrinya)”


Para fuqaha yang mengikuti pendangan pada pendapat diatas tentang masalah istri yang hilang suaminya dengan berpatokan pada keterangan Imam Syafi’i bahwa beliau meriwayatkan hadits mauquf dari Ali ra. :

قال علي : إمرأة المفقود إمرأة ابتليت فلتصبر حتى يأتبها موته بيقين

“Berkata Ali ra. :”Perempuan yang hilang suaminya adalah tetap sebagai istri (dari suami yang hilang itu) yang sedang mendapat cobaan (dari Allah Swt), maka hendaklah ia bersabar (dan menunggu) sampai datang kabar kematiannya secara pasti (dengan bukti-bukti otentik)”


2) Pandangan mazhab Umar ra. bahwa istri yang suaminya hilang adalah status pernikahannya tidak serta-merta menjadi putus karena hilangnya sang suami (statusnya tetap sebagai istri dari suami yang hilang itu), meskipun hilangnya sampai bertahun-tahun lamanya. Dan kepada si istri diberi batasan waktu untuk menunggu si suami yang hilang tersebut. Lamanya waktu tunggu terhadap si istri dimaksud adalah sampai empat tahun, dihitung sejak perkara mengenai hilangnya si suami dilaporkan ke hakim. Setelah itu si hakim akan memfasakh pernikahannya dan diiddahkan empat bulan sepuluh hari (diqiyaskan ke iddah sebab kematian).
وعن عمر رضي الله عنه في إمرأة المفقود : تربص أربع سنين ثم تعتد أربعة أشهر وعشر (أخرجه مالك والشافعي)

“Shahabat Umar bin Khattab ra. berpendapat mengenai imro’atul mafqud, bahwa ia menungu (suaminya) sampai masa empat tahun kemudian ia beriddah empat bulan sepuluh hari”


أن مذهب عمر في إمرأة المفقود : تبين من زوجها إذا مضى عليها أربع سنوات من حين رفعت أمرها ثم تعتد العدة. وقد ذهب إلى هذا مالك وأحمد وإسحاق و الشافعي [في روابة] وجماعة. واستندوا لأثر عمر.

“Menurut mazhab Umar bahwa bagi imro’atul mafqud dijatuhkan talaq bain shugra dari suaminya (difasakh oleh hakim ikatan pernikahnnya) apabila telah melewati masa tunggu empat tahun, (masa tunggunya) dihitung sejak perkaranya dilaporkan (ke hakim), kemudian setelah dipasakh ia mulai menghitung iddahnya (empat bulan sepuluh hari). Demikian itu juga menjadi ketetapan hukum dari Imam Malik, Imam Ahmad bin Hambal, Ishaq, Imam Syafi’i (pada salah satu riwayat) dan kebanyakan shahabat. Dan semua mereka berpegangan pada ketetapant Umar ”


Berkata Abu Yusuf (murid Imam Hanafi), Muhammad, dan Abu Hanifah (pada suatu riwayat), dan Imam Syafi’i (pada riwayat yang lain) tidak putus ikatan perkawinan seorang wanita dari suaminya sampai ada kepastian tentang kematian suaminya atau kepastian tentang bahwa ia sudah dicerai oleh suaminya, atau suaminya telah murtad. Masalah ini tidak bisa begitu saja di putusakan kecuali ada keterangan atau saksi yang menguatkannya. Oleh karena pernikahnnya didasaran pada bukti-bukti yang kuat, maka perceraiannya hanya bisa terjadi dengan adanya kepastian dan bukti-bukti yang dapat dipegang kebenarannya mengenai kematian suaminya atau kepastian tentang bahwa ia sudah dicerai oleh suaminya, atau ia dipasakh sebab suaminya telah murtad (Ibanatul Ahkam jilid III halaman 431).

Dengan demikian status pernikahan dari perempuan yang hilang suaminya, tidak dengan sendirinya akan putus (bercerai) sebab hilangnya si suami, dan ia tetap sebagai istri dari si suami yang hilang itu samapai ada kepastian hukum mengenai status pernikahannya dan atau perceraiannya yang disebabkan oleh faktor-faktor kematian si suami, atau dia ditalak oleh si suami, dan lain-lain sesuai ketentuan syara’, berdasarkan pembuktian yang otentik dan persaksian yang kuat. Dan kepada si istri diperkenankan oleh hukum untuk mengajukan perceraiannya ke hakim (pengadilan agama) karena sebab hilangnya si suami dan lebih-lebih si suami pergi dengan tampa izin si istri. Artinya status pernikahan atau perceraian dari perempuan yang hilang suaminya (jika ia akan bercerai dari suaminya itu) hanya bisa ditentukan oleh hakim (pengadilan agama), tidak serta-merta karena alasan hilangnya sang suami.

Berkata Yahya, juga Syaikh Abi Abdillah al-Salam ‘Allausyi berpendapat dalam kitabnya Ibanatul Ahkam jilid III halaman 431:

وقال يحيى : إن ترك المفقود لها ما يقوم بها فهو كالحاضر..... وقال الشيخ أبي عبد الله السلام علوش في كتابه : فإن لم يترك لها ما يقوم بها فسخ الحاكم عند مطالبتها

“Berkata Yahya, jika si suami yang hilang itu meninggalkan cukup nafkah yang dapat menghidupi si istri, maka hal itu sama artinya dengan si suami itu ada (tidak hilang)”….dan Syaikh Abi Abdillah al-Salam ‘Allausyi berkata, jika si suami yang hilang tidak meninggalkan cukup nafkah dan karenanya si istri tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, maka hakim (pengadilan agama) boleh memfasakh pernikahnnya berdasarkan permintaan si istri (gugat cerai)”





18. Nikah berganti klamin

Perubahan jenis kelamin setelah akad nikah adalah tidak mempengaruhi (merusak akad) pernikahan, jika kemudian setelah perubahan kelamin itu ia kembali lagi pada jenis kelamin semula. Misal, seorang lelaki sebelum akad nikah ia dengan jelas berkelamin laki-laki dan selang beberapa waktu setelah itu ia berubah secara alami (tampa rekayasa genetika) menjadi berjenis kelamin wanita, kemudian berubah kembali seperti sebelum akad nikah (menjadi laki-laki) maka perubahan itu tidak merusak akad nikah tersebut, demikian dijelaskan dalam kitab Bujaerimi ‘ala al-Iqna pada bab nikah.

Adapaun mengubah kelamin dengan sengaja, menurut jumhur ulama hukumnya haram, demikian di jelaskan dalam Tafsir Qurthubi juz III halaman 1963:

قال عياض: ويأتى على من ذكره أن من خلق بأصبع زائدة أو عضو زائدة لابجوز له قطعه ولا نزعه لأنه من تغيير خلق الله إلا أن تكون هذه الزوائد مؤلمة فلا بأس بنزعها عند أبي جعفر وغيره

“Imam ‘Iyadh berkata, bahwa orang yang diciptakan dengan jari-jari berlebih atau anggota tubuh yang berlebih, maka ia tidak boleh memotongnya ataupun mencabutnya, karena yang demikian itu berarti mengubah ciptaan allah Swt. Kecuali jika kelebihan itu menyakitkan, maka boleh mencabutnya menurut Imam Ja’far dan lainya”


Dalam tafsir Baidhawi juz II, halaman 117-188, diterangkan:

(ولأمرنهم فليغيرن خلق الله) عن وجهه وصورته أو صفته ويندرج فيه ما قيل وفق الحامى وخصاء العبيد والوشم واللواط والسحق ونحو ذلك وعبارة الشمس والقمروتغيير فطرة الله تعالى هي الإسلام واستعمال الجوارح والقوى فيما لا يعود على النفس كمالا.

“Firman Allah Swt. “dan Aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah Swt.) lalu benar-benar mereka mengubahnya” mulai dari bentuk wajahnya, potongan tubuhnya, atau sifatnya. Termasuk dalam hal ini adalah pencungkilan mata pada binatang, pengebirian hamba sahaya, pembuatan tato dan penggantian kelamin dan lain sebagainya. Dalam al-Syamsu wa al-Qomar disebutkan, dan (termasuk) fitrah Allah Swt. yakni Islam, mempergunakan anggota tubuh dan kekuatan yang tidak kembali lagi sehingga menjadi sempurna”


Selajutnya dijelaskan dalam Tafsir al-Munir Juz I halaman 174 :

ويدخل في هذه الأيات التحنث والسحاقات لأن التحنث عبارة عن ذكر بشبه الأنثى والشحق عبارة عن أنثى تشبه الذكر

“Termasuk dalam pengertian (larangan) ayat ini adalah, mengganti kelamin dirinya secara mutlak, laki-laki menjadi wanita dan wanita menjadikan dirinya sebagai laki-laki”


Di dalam kitab al-Asybah wa al-Nazhair halaman 157, juga dielaskan :

ومنها لا يجوز قطع ذكره وأنثييه لأن الحرج لا بجوز بالشك ذكره أبو الفتح

“Abul Fatah berpendapat, dan diantara yang tidak diperbolehkan adalah memotong alat kelaminnya dan kedua buah zakarnya. Pemotongan tersebut tidak diperbolehkan hanya berdasarkan keraguann (apakah ia termasuk laki-laki sejati atau tidak)”.





19. Nikah dua wali

Bila terjadi pernikahan dengan dua orang wali, baik pernikahan itu di satu tempat atau dilaksanakan di tempat berbeda, maka pernikahan yang sah adalah yang lebih dahulu atau lebih awal dilaksanakan, dengan syarat bahwa kedua wali itu memiliki kedudukan yang sama (sederajat) atau salah satunya di nikahkan oleh hakim. Tersebut dalam kitab Ibanatul Ahkam jilid 3 halaman 266 sebuah hadits meriwayatkan :


وعن الحسن عن سمرة رضي الله تعالى عنه عن النبى صل الله عليه وسلم : أيما إمرأة زوجها وليان فهي للأول منها (رواه احمد والأربعة وحسنه الترمذي)

“Diriwayatkan dari Hasan dari Samrah dari Nabi Saw bersabda : “Perempuan mana saja yang dinikahkan oleh dua orang wali, maka dia menjadi istri dari lelaki yang pernikahannya lebih dahulu”


Sudah menjadi kesepakatan kebanyakan ahli fiqh, bahwa pernikahan yang sah adalah yang akadnya lebih dahulu, baik si perempuan itu sudah dicampuri atau belum oleh suami yang kedua, akan tetapi apabila akad nikahnya terjadi secara bersamaan (baik diketahui secara pasti atau tidak diketahui secara pasti mana yang lebih dahulu) maka pernikahan tersebut menjadi batal. Demikian pula halnya jika salah satu wali itu adalah hakim, maka pernikahan yang dilakukan lebih dahulu yang sah. Berbeda jika bersamaan waktunya atau tidak diketahui secara pasti mana yang lebih dahulu antara pernikahan yang dilakukan hakim dengan pernikahan yang dilakukan walinya sendiri, maka yang sah adalah perkawinan yang dilakukan oleh walinya sendiri. Dalam kitab Syarwani ala Tuhfah Juz VI diterangkan :

لو قدم فقال كنت زوجتها له يقبل بدون بينة لأن الحاكم هنا غير ولي إذ الأصح أنه يزوج بنيابة اقتضتها الولاية . والولي الحاضر لو زوج فقدم آخر غائب وقال كنت زوجت له لم يقبل الا ببينة

“Seandainya ada yang datang kemudian berkata aku telah mengawinkan wanita itu untuknya, maka perkataannya itu bisa diterima dengan tampa adanya saksi, karena hakim disini bukanlah wali, sehingga yang paling benar ia mengawinkannya dengan perwakilan sebagaimana yang dituntut oleh perwalian. Wali yang hadir seandainya mengawinkan, kemudian datang wali yang tidak hadir seraya berkata, “aku telah mengawinkan si perenpuan untuk si dia (lelaki)” maka keterangan wali yang tidak hadir itu tidak bisa diterima kecuali dengan adanya saksi”



وفيه دلالة إلى تصويرالمسألة بما إذا ادعى الولي انه زوجها في الغيبة قبل تزويج الحاكم وقضية ذلك أنه لو ادعى تزويجها بعده فلا أثر له. ويبقى ما لو ادعى التزويج ولم يتبين أنه قبله أو بعده أو علم وقوعهما معا أو علم سبق أحدهما أو لم يتعين أو تعين ثم نسي فهل حكمه إلى أن قال : فإن وقع معا فينبغى تقديم تزويج الولي. (وفي سم بعد ذكر عبارة شرح الروض)

“Hal ini merupakan petunjuk pada penggambaran masalah jika seandainya wali telah mengawinkannya diluar (kediaman pengantin wanita), sebelum prosesi perkawinan yang dilakukan oleh hakim. Masalahnya adalah, jika si wali telah mengawinkannya ---akad nikah yang dilakukan hakim, tidak ada pengaruhnya (perkawinan oleh wali tersebut menjadi tidak sah). Masalah yang tersisa adalah, jika wali mengaku telah mengawinkan, namun tidak jelas apakah sebelum atau sesudah perkawinan oleh hakim atau diketahui waktunya ternyata bersamaan atau salah satu dari keduanya lebih dahulu namun tidak dapat dipastikan atau dapat dipastikan tapi lupa, maka hukum mengatakan bahwa, jika kedua perkawinan terjadi dalam waktu yang bersamaan, seyogyanya mendahulukan keabsahan pernikahan yang dilakukan oleh wali"


Sama halnya hakim ataupun wali mujbirnya tidak boleh mengawinkan seorang janda yang belum dewasa, sekalipun ada persetujuan darinya, sebab izinnya tidak dianggap sah (karena belum dewasa), demikian diterangkan dalam kitab I’anatut Thalibin pada bab nikah:

فلا تزوج الثيب الصغيرة العاقلة الحرة حتى تبلغ لعدم اعتبارإذنها (إعانة الطالبين في باب النكاح)

“Tidak boleh menikahkan janda yang masih kecil, yang sudah pandai dan merdeka sampai ia beranjak dewasa, karena izin darinya tidak diianggap sah”





20. Nikah tahlil dengan aqad talaq ba’da dukhul

Nikah tahlili adalah nikah dengan tujuan mencari kehalalan atau kebolehan bekas suami untuk menikahi bekas istrinya yang sudah di talaq tiga dan habis masa iddahnya, baik thlaq itu terjadi sekali ucapan atau berturut-turut, disertai perjanjian bahwa si suami kedua menceraikan istrinya setelah didukhul, maka hukum nikah tahlili dalam pengertian ini sebagai berikut :

• Jika tidak disertai syarat talak dalam akad nikahnya, maka hukum nikahnya tetap sah, dan bila suami keduanya menceraikan si istri setelah didukhul, maka hukumnya berlaku seperti talak yang lain (ada iddah).
• Bila si sumi kedua waktu akadnya ada niatan/maksud untuk menceraikan si istri, tetapi tidak dinyatakan dalam ucapan/lapadz pada akad, maka hukum nikahnya tetap sah, tetapi makruh, meskipun ada perjanjian sebelum akad nikah antara bekas suami yang pertama dan calon suami yang kedua, bahwa si istri akan ditalak ba’da dukhul. Perjanjian sebelum akad tidak membekas atau memeberi dampak secara hukum terhadap pernikahan yang akadnya sah. Adapun bila terjadi akad ba’da dukhul oleh si suami kedua, meskipun ada perjanjian sebelum akad dengan mantan suami si istri, maka talaknya dihukumi seperti talak biasa dan tetap berlaku iddah bagi si istri yang ditalak tersebut. Berbeda dengan talak qobla dukhul maka tidak ada iddahnya.
• Apabila dalam akad nikanya disertai lapadz talak dengan maksud membebaskan si istri dari ikatan pernikahannya dan memberikan jalan bagi bekas suaminya (suami yang pertama) untuk dapat menikahinya kembali, maka hukum nikahnya tidak sah. Karenanya, bekas suami pertama tidak dapat (tidak sah) mengawini mantan istrinya lagi, sampai dengan sahnya pernikahan kedua dengan lelaki lain.

Dalam kitab al-fiqh ala mazahib al-arba’ah dijelaskan :

الشرط الثاني ان لا يشترط التحليل لفظا في العقد فإذا قال تزوجت فلانة بشرط احلالها لمطلقها أو قال : تزوجتها على إنني إذا وطئتها طلقت بطل العقد ولا تحل للأول بوطئها بناء على هذا العقد الفاسد

“syarat yang kedua dari sahnya pernikahan adalah tidak disertai syarat tahlily (talak) pada lapadz akad nikah, maka apabila si mempelai laki-laki mengucapkan (pada waktu akad nikah) “aku menikahi fulanah sebagai syarat halalnya (bagi bekas suami pertama) melalui talakku kepadanya (setelah akad nikah itu), atau ia mengatakan “aku menikahinya atas bahwasanya jika aku menwathi’nya (menyetubuhinya) maka ia menjadi tertalak, maka batal akadnya dan tidak sah nikahnya, dan tidak halal bagi suami pertamanya menikahi bekas istrinya itu, sekalipun setelah didukhul oleh suami kedua, sebab akad demikian itu termasuk akad fasid / akad batal” .


Dalam kitab al-Syarqawi ‘Alat Thahri, juga dijelaskan :

وكنكاح المحلل بأن يتزوجها على أن يحللها بزوجها الأول بعد الطلاق بشرطه فإن بزوجها بشرط أنه إذا وطئها طلقها بطل النكاح لأنه ضرب من نكاح المتعة (الشرقاوي على التحرير في الأنكحة المكروهة)

“Seperti pernikahan al-muhallil (orang yang menikahi wanita yang sudah ditalak tiga oleh suaminya yang pertama) dengan maksud agar suami yang pertama dapat menikahinya kembali setelah ditalak (oleh si muhallil tersebut) dengan persyaratannya. Jika si suami mensyaratkan bila si muhallil setelah menyetubuhinya harus menceraikannya, maka pernikahannya menjadi batal, karena yang demikian itu termasuk nikah mut’ah (kawin kontrak)”





21. Nikah Muaqqit

Nikah muaqqit adalah pernikahan yang dalam akadnya menyertai batasan waktu, artinya pernikahan dengan batas waktu yang ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua pasangan mempelai dan disebutkan dalam akad. Nikah jenis ini, juga disebut dengan nikah kontrak (nikah mut’ah). Jumhur fuqaha berpendapat, ada 4 macam nikah fasidah (rusak, tidak sah), yakni; nikah syighar (tukar menukar anak perempuan atau saudara perempuan tampa mahar); nikah mut’ah (dibatasi dengan waktu tertentu yang diucapakan dalam akad); nikah yang dilakukan terhadap wanita yang dalam proses kitbah (sedang dalam pinangan) laki-laki; dan nikah muhallil (siasat penghalalan menikahi mantan istri ditalak ba’in). Namun ada juga yang menghalalkan nikah mut’ah, dengan dasar Surat An-Nisa’ ayat 24 yang artinya : “maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah al-ujr (biaya kontrak) kepada mereka” . Selain itu dasar penghalalannya adalah hadits Nabi Saw yang meriwayatkan, ketika terjadi perang Tabuk para shahabat diperkenankan menikahi wanita dengan sistem kontrak waktu.

Ada titik singgung antara nikah mut’ah dengan nikah biasa, pertama, pada nikah mut’ah batas waktu dapat diperpanjang dengan kesepakatan kedua belah pihak, kedua, pada nikah biasa dikenal istilah talaq (cerai) untuk mengakhiri ikatan pernikahan. Nikah mut’ah menurut ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah, khususnya mazhab empat, hukumnya haram dan tidak sah. Dalam kitab al-Umm juz 5 hal 71 dijelaskan :

وكذا كل نكاح الى وقت معلوم أو مجهول فالنكاح مفسوخ لا ميراث بين الزوجين وليس بين الزوجين من أحكام الأزواج طلاق

“Demikian halnya semua nikah yang ditentukan berlangsungnya sampai waktu yang diketahui ataupun yang tidak diketahui (temporer), maka nikahnya tersebut tidak sah, dan tidak ada hak waris ataupun talak antara kedua pasutri”


Di dalam Fatawa Syar’iyyah li al-Syaikhi Hasanain Muhammad Mahluf, juz 2 hal. 7 dijelaskan :

(السؤال) تزوج بعقد وبشهود لمدة محددة فما حكم هذا الزواج شرعا ؟ (الجواب) هذا الزواج المؤقت باطل شرعا كما ذهب إليه جمهور الحنفية والمالكية والحنابلة وفي الهداية والنكاح المؤقت باطل وفي منح الجليل وفسخ النكاح لأجل مسمى ولو بعد الأجل وهو نكاح المتعة وفي المغني لإبن قدامة ولو تزوجها على أن يطلقها في وقت بعينه لم ينعقد النكاح لأن هذا الشرط مانع من بقاء النكاح فأشبه نكاح المتعة


“Pertanyaan : Seseorang kawin dengan akad dan saksi untuk masa tertentu, maka bagaimanakah hukum perkawinan ini manurut syara’ ? Jawaban : Nikah yang ditentukan batas waktunya (temporer) ini batal demi hukum, demikian pandangan hukum dalam mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali. Dalam al-Hidayah nikah yang ditentukan batas waktunya adalah batal. Dalam Minahul Jalil disebutkan, batal nikah yang ditentukan untuk masa tertentu dan termasuk nikah mut’ah. Dalam al-Mugni karya Ibnu Qudamah disebutkan, seandainya ada laki-laki mengawini perempuan untuk diceraikan lagi pada waktu yang telah ditentukan, maka perkawinannya tidak sah karena adanya syarat tersebut telah menghalangi kelanggengan perkawinan, dan serupa dengan nikah mut’ah”


Dalam kitab Rahmatul Ummah, hal 21 dijelaskan :

واجمعوا على ان نكاح المتعة باطل لا خلاف بينهم في ذلك وصفته أن يتزوج إمرأة إلى مدة يقول زوجتك إلى شهر أو سنة ونحو ذلك وهو باطل منسوخ يإجماع العلماء قديما وحديثا

“Para ulama bersepakat, bahwa nikah mut’ah itu tidak sah tampa ada perselisihan pendapat antara mereka. Bentuknya adalah, seseorang mengawini perempuan untuk masa tertentu dengan berkata : “Aku mengawini kamu untuk masa satu bulan, satu tahun, dan semisalnya”. Perkawinan ini tidak sah dan telah dihapus kebolehannya oleh kesepakatan para ulama masa lalu dan sekarang”


Lebih lanjut, penjelasan yang sama juga terdapat dalam kitab I’anat al-Thalbin juz III, halaman 278-279, kitab al-Mizan al-Kubra juz II halaman 113, dan kitab al-Syarwani ala al-Tuhfah juz VII halaman 224.




22. Nikah dipaksa sebab zina

Kawin yang dipaksa disebabkan karena telah berbuat zina, maka hukumnya tidak sah, baik pemaksaannya memenuhi syarat, menurut ahli fikih, atau berdasarkan perintah hakim, meskipun si hakim tidak menakut-nakutinya. Syarat sahnya nikah adalah dengan suka rela dan atas dasar kemauan mempelai. Keterangan dari kitab Tanwirul Qulub bab “arkanun nikah” :

وأن يكون محتارا فلايصح نكاح مكره

“Maka si suami harus dalam keadaan dapat memilih. Tidak sah pernikahan orang yang terpaksa”


Dalam Bughyatul Musytarsyidin dijelaskan :

أمره الحاكم بالطلاق فطلق لم يقع وإن لم يتحدده ولا فرق بين قدرة الحاكم على إجباره حسا أم لا إذ هو إكراه شرعا

“Jika seseorang diperintah oleh hakim untuk talak kemudian ia menjatuhkan talak, maka talaknya tidak jatuh, meskipun hakim tersebut tidak mengintimidasinya. Dan tidak berbeda antara hakim yang berkemampuan untuk memaksanya secara emosional atau tidak, karena yang demikian itu secara syar’i sudah termasuk pemaksaan”


Dalam kitab Nihayatuz Zain halaman 321, ada penjelasan mengenai parameter kondisi yang dikategorikan syara’ sebagai keterpaksaan, yakni :

والضابط أن كل ما يسهل فعله على المكره بفتح الراء ليس إكراها وعكسه إكراها

“Ketentuannya adalah apa pun yang mudah dilakukan oleh orang yang terpaksa, tidak termasuk paksaan, sebaliknya (bila sulit dilakukan) maka termasuk kategori terpaksa”


Lebih-lebih jika masalahnya bahwa wanita itu orang baik-baik dan terhormat, tetapi karena godaan lelaki hidung belang dan pencoleng ia akhirnya terjebak dalam perbuatan zina. Dalam hal ini tentunya akan muncul peramasalahan tidak sekufu’nya antara kedua calon mempelai, bila tidak sekufu’ maka tidak boleh dipaksa pernikahnnya. Dalam kitab Bujairimi Hasyiyyah Fathul Wahab dijelaskan bahwa laki-laki yang fasik tidak sekufu’ dengan wanita afifah :

فليس فاسق كفؤ عفيفة (البجيرمي على المنهج في الكفائة)

“Maka tidaklah orang fasik itu sepadan/selevel dengan wanita terhormat”


Bagaimana hukum nikahnya, bila yang memaksakan itu adalah wali mujbir ? hukumnya boleh tapi makruh, asal tidak ada kemungkinan akan timbul bahaya. Artinya pernikahan yang dipaksakan oleh wali mujbir hukumnya tetap sah, tetapi tindakan pemaksaan itu dihukumi makruh. Dalam kitab Bujairimi ala Iqna’ juz III, diterangkan:

أما مجرد كراهتها من غير ضرر فلا يؤثر لكن يكره لويها أن يزوجها به كما نص عليه في الأم ويسن استئذان البكر إذا كانت مكلفة لحديث مسلم : والبكر يستئمرها أبوها وهو محمول على الندب تطييبا لخاطرها إه~.

“Adapun sekedar ketidak sukaan wanita tampa hal yang dharuri (terpaksa), maka tidak berpengaruh (terhadap keabsahan perkawinannya), akan tetapi dimakruhkan bagi walinya untuk mengawinkannya sebagaimana ditegaskan dalam kitab al-Umm, Disunatkan meminta izin kepada perawan jika memang sudah dewasa berdasarkan hadits Muslim : “seorang ayah harus meminta persetujuan dari anaknya yang masih perawan”. Hadits ini dipahami sebagai “sunnah” demi menjaga dan menghargai perasaan” .


Ketidaksetujuan si gadis terhadap calon suami pilihan ayahnya, karena adanya permusuhan bathin antara si gadis dengan lelaki calon suaminya, maka permusuhan tersebut tidak termasuk katagori dharury, yang akan menyebabkan tidak sahnya pernikahan jika dilangsungkan, kecuali ada izin si gadis. Adapun permusuhan zahir adalah permusuhan yang tidak sembunyi dan diketahui oleh penduduk setempat serta akan membawa kemudharatan bila dilangsungkan pernikahan, maka dilarang bagi wali menikahkan anaknya apabila ada permusuhan lahiriah dimaksud antara kedua calon mempelai. Dalam kitab I’anatut Thalibhin bab nikah dan kitab Jamal Hasyiyah Fathul Wahhab, diterangkan :

قوله حيث لا عداوة ظاهرة أي بينها فإن وجدت العداوة الظاهرة وهي التي لا تخفى على أهل محلتها فليس له تزويجها إلا بإذنها بخلاف غير الظاهرة وهي التي خفيت على أهل محلتها فلا تؤثر لأن الولي يحتاط لخوف العارله ولغيره. ويشترط أيضا أن لا يكون بينها وبين الزوج عداوة ولو غير ظاهرة . وإنما لم يعتبر ظهورالعداوة فيه كما اعتبر في الولي لأن عداوته الخفية تحمله على إضرارها بما لا يحتمل بسبب المعاشرة

“pernyataan, sekiranya tidak ada permusuhan yang jelas, yakni antara keduanya (suami-istri), jika terdapat permusuhan yang jelas, yakni yang tidak tersembunyi di kalangan penduduk setempat, maka si wali tidak ada otoritas untuk mengawinkannya kecuali dengan seizinnya (wanita). Berbeda jika permusuhan itu tidak jelas, yakni yang tersembunyi, tidak diketahui oleh pnduduk setempat, maka tidak ada peengaruhnya sama-sekali, karena si wali akan berhati-hati oleh adanya celaan terhadapnya dan terhadap yang lain”


ويشترط لصحة العقد حينئذ عدم عداوة ظاهرة من الولي لها بأن يطلع عليها أهل محلتها إلى أن قال: وخرج بالعداوة الكراهة لنحو بخل أو عمي أو تشوه خلقة فيكره التزويج فقط قال في شرح الروض ولا حاحة لإشتراط عدم عداوة الزوج لأن شفاقة الولي تدعوه إلى أنه لا يزوجها من عدوها . إه~. قوله ليس بينها عداوة أي بينها وبين الولي . والمراد بالطهارة أن يعرفها أهل محلتها والباطنة خلافها. وقال الجمل أيضا في كتاب الشهادة من الجزء الخامس: وفرق بين العداوة والبغضاء بأن الغداوة هي التي تقضى إلى التعدي بالأفعال. والبغضاء هي العداوة الكامنة في القلب.إه~.

“Dan disyaratkan bagi sahnya akad, tidak adanya rasa permusuhan yang jelas dari pihak wali terhadap si wanita, dengan permusuhan yang sampai diketahui oleh penduduk setempat…berbeda dengan permusuhan, adalah rasa tidak suka, misalnya karena kikir, buta atau buruk rupa/fisik, maka hukum mengawinkannya hanya makruh saja. Dalam Syarah al-Raudh disebutkan, tidak perlu mensyaratkan tidak adanya rasa permusuhan suami, karena kasih saying si wali akan dapat mengajaknya, hanya saja ia tidak boleh mengawinkannya dengan musuhnya. Yang dimaksud dengan tidak ada permusuhan yang jelas antara si perempuan dengan walinya adalah permsuhan umum yang diketahui oleh penduduk setempat. Sedangkan permusuhan batin adalah sebaliknya. Dan menurut pengarang kitab al-Jamal, bab al-shahadah jilid V, disebutkan terdapat perbedaan antara al-‘adawah (permusuhan) dan al-baghdha’ (kebencian). Al-‘adawah adalah yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan dengan melakukan suatu tindakan, sedangkan al-baghdha’ adalah permusuhan yang terpendam dalam hati”


Bagaimana pula jika seorang gadis berselisih dengan wali mujbirnya dalam soal perkawinannya. Ia menunjuk seorang pemuda yang sekufu sedangkan walinya menunjuk pemuda lain yang kufu pula, kemudian gadis tersebut kawin dengan lelaki yang dipilihnya dengan wali hakim. Persoalannya, apakah perselisihan itu merupakan permusuhan yang nyata sehingga wali mujbir tidak dapat mengawinkan tampa izinnya, dan apakah penolakan wali dianggap sebagai adhal sehingga dapat kawin dengan wali hakim ? Menurut keterangan dalam kitab Fathul Mu’in pada kupasan tentang syahadah dan pada kitab I’anat al-Thalibin juz III pada bab “wilayatun nikah” bahwa perselisihan tersebut tidak boleh dianggap sebagai permusuhan, baik lahir maupun batin, dan tidak boleh dikawinkan dengan wali hakim :

وأما حد العداوة كما في فتح المعين : وترد الشهادة من عدو على عدوه عداوة دنيوية لا له وهو من يحزن بفرحه وعكسه أي من يفرح بحزنه . إه~ . وإنما انتناع الولي عن تزويجها بمعينها ليس إلا لرعاية مصلحتها عنده لا لعداوته لها (فتح المعين’ كتاب الشهادة)

“Adapun batas permusuhan, sebagaimana tersebut dalam kitab Fathul Mu’in, adalah : kesaksian itu ditolak bila berasal dari orang yang saling bermusuhan dengan permusuhan yang bersifat duniawi, tandanya dia merasa senang jika musuhnya susuah dan merasa susah dengan kesenangannya. Sesungguhnya pelarangan wali (ayah) dari perkawinan putrinya dengan lelaki pilihannya sendiri adalah semata-mata untuk menjaga maslahah/kepentingan putrinya itu sendiri dan bukan karena memusuhinya”


لا يزوج القاضي إن عضل مجبر من تزويجها بكفء عينته وقد عين هو كفأ آخر غير معينها وإن كان معينه دون معينها كفأة إه~ . يعني لو عينت للولي المجبر كفاء وهو عين لها كفاء آخر غير كفئها لا يكون عاضلا بذلك لا يزوجها القاضي بل تبقى الولاية له. وذلك لأن نظره على من نظرها. فقد يكون معينه أصلح من معينها (إعانة الطالبين على فتح المعين في باب ولاية النكاح)

“Seorang hakim tidak boleh mengawinkan jika wali mujbir (ayah) tidak setuju mengawinkan putrinya dengan lelaki yang sepadan hasil pilihannya sendiri. Sedangkan si ayah sudah memiliki lelaki lain yang juga sekufu. Walaupun laki-laki pilihan ayah kekufu’annya (kesepadanannya) lebih rendah dibandingkan pilihan putrinya. Yakni kalau si putri menetukan laki-laki yang sepadan sedangkan si ayah menentukan laki-laki lain yang juga sepadan, maka si ayah tidak termasuk adhal (enggan menjadi wali) sehingga hakim tidak boleh mengawinkannya, karena hak perwaliannya tetap berada dipihak ayah, yang demikian itu, karena penilaian ayah diatas penilaian putrinya, sehingga pilihannya dianggap lebih layak daripada laki-laki pilihan putrinya”




23. Nikah wanita hamil dengan lelaki yang bukan menghamilinya

Jika ada wanita hamil diluar nikah (hamil karena zina) seharusnya dinikahkan dengan lelaki yang menghamilinya, dan nikahnya sah dengan tanpa ada khilaf ulama. Andaipun bila perempuan tersebut menikah dengan lelaki yang bukan menghamilinya, maka hukum nikahnya tetap sah, karena buntingan hasil perbuatan zina dianggap tidak ada. Demikian dijelaskan dalam kitab Raudhatut Thalibin juz VI halaman 351 :

فرع لو نكح حاملا من الزنا صح نكاحه بلا خلاف لأن حمال الزنا كالمعدوم

“Jikalau wanita hamil karena zina menikah dengan lelaki yang menghamilinya maka nikahnya sah dengan tampa ada khilaf ulama, karena kehamilan sebab zina dianggap tidak ada (tidak ada efek hukum terhdap pernikahnnya)”.


Adapun pernikahan wanitta hamil sebab zina dengan lelaki yang bukan menghamilinya, ulama mengilhaqkan kebolehan hukum menikahnya pada hukum bolehnya menikah wanita hamil sebab zina dengan lelaki yang menghamilinya. Terkait dengan pernikahan ini, ada dua pandangan; (1) sah nikahnya wanita hamil sebab zina dengan lelaki yang menghamilinya atau dengan lelaki yang lain, akan tetapi setelah akad nikah tidak boleh berhubungan badan sampai dengan kelahiran anak yang dikandung tersebut, untuk menjaga agar tidak terjadi percampuran sperma, dan karenanya akan mempengaruhi status hubungan nasab / mawaris; (2) pandangan yang mengatakan boleh berhubungan badan layaknya suami istri setelah akad nikah, karena kehamilan diluar nikah (sebab zina) tidak dianggap ada oleh hukum.



24. Pernikahan imro’ah wuludul ‘am dengan ayah biologisnya

Wuludul ‘am (anak umum) atau lazim disebut “anak ibu” adalah istilah bagi anak yang lahir diluar pernikahan yang sah, atau anak yang belum cukup umur dalam kandungan ibunya secara syar’i, yakni enam bulam menurut jumhur ulama Syafi’iyyah. Singkat kata anak dimaksud, dalam “bahasa sosial” sering dinamakan “anak zina”. Dengan demikian, secara hukum anak tersebut tidak memiliki ayah, ia hanya punya hubungan keperdataan dan hubungan nasab dengan ibunya. Adapun istilah “ayah biologis” adalah laki-laki (ayah) pemilik sperma yang menjadi anak tersebut, tetapi tidak ada ikatan pernikahan dengan ibunya.

Sekiranya anak tersebut wanita, maka bolehkan ia menikah dengan ayah biologisnya dan siapakan yang menjadi wali nikahnya ? Pernikahan si perempuan dengan ayah biologisnya (laki-laki yang tidak ada ikatan pernikahan dengan ibu si perempuan) hukumnya sah dan yang menjadi wali adalah hakim, karena anak tersebut bukan anak halal dari bapak biologisnya (anak yang lahir dari spermanya di luar ikatan perkawinan). Dalam kitab Mughniul Muhtaj juz III halaman 175 dijelaskan :

والمخلوقة من زناه تحل له لأنها أجنبية عنه إذ لا حرمة لماء الزنا

“Anak perempuan yang lahir dari hasil zinanya ia halal menikahinya, karena anak itu termasuk orang lain baginya (tidak ada hubungan nasab, karena lahir diluar ikatan perkawinan dengan ibunya). Air sperma yang keluar karena zina tidak dihormati (gair muhtarom)”




25. Rumah tangga beda agama

Sebelum lahirnya undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pernikahan Islam non Islam popular dengan sebutan pernikahan campuran, tapi kini dalam undang-undang No. 1 tahun 1974 istilah pernikahan campuran hanya berlaku bagi pasangan perkawinan antara warga Negara Indonesia (laki atau perempuan) dengan warga asing, tidak lagi meliputi pengertian pernikahan antar pasangan yang berbeda agama. Pernikahan pasangan yang berbeda agama tidak dibenarkan menurut undang-undang maupun ijma’ ulama, kecuali bila salah satunya mengikuti agama pasangannya dan melaksanakan akad nikah sesuai ajaran agamanya.

Sekalipun pernikahan antar agama tidak dibolehkan di Indonesia, akan tetapi dalam kenyataanya banyak rumah tangga beda agama antara suami dengan sang istri (si suami Islam si istri non Islam, atau sebaliknya) ---dimana dulu waktu akad nikah memilih salah satu agama, kemudian masing-masing pasangan kembali ke agama asalnya setelah berumah tangga. Bagaiman hukum rumah tangga beda agama seperti demikian ? Dalam diskursus fikih klasik sudah banyak dikupas secara luas mengenai kedudukan suami istri non Islam kemudian masuk Islam secara bersamaan atau salah satunya lebih dahulu masuk Islam, baru yang lainya menyusul, atau salah satunya memeluk Islam yang lain tidak. Terkait yang terakhir, yakni jika salah satu dari suami atau istri beragama Islam yang lain non Islam dan keduanya terikat pernikahan (dalam satu rumah tangga), maka ikatan pernikahan tersebut menjadi putus sejak salah satunya (suami atau istri) masuk Islam (ketentuan putusnya ikatan pernikahan dimaksud berlaku setelah melewati hitungan masa iddah).

Dalam kitab Syarqawi ala al-Thahrir jilid II halaman 257 diterangkan :


فإن جمعها الإسلام بأن أسلم الأخر أيضا ولو تبعا في العدة دام النكاح والا حصلت الفرقة من إسلام أولهما للإجماع كما أشار إليه الشافعي وغيره والفرقة فيما ذكر فرقة فسخة لا فرقة طلاق

“Jika keduanya (suami istri non Islam) masuk Islam (secara bersamaan), atau salah satunya menyusul memeluk Islam pada (hitungan) masa iddah (jarak waktu salah satunya masuk Islam tidak melebihi hitungan masa iddah biasa), maka tetap nikahnya (tidak perlu tajdid). Tetapi bila salah satu dari keduanya yang menyusul masuk Islam melewati masa iddah maka terjadilah “percerai” demi hukum (cerai sebab beda agama) disebabkan salah satunya lebih dahulu masuk Islam (baru yang lainnya menyusul setelah melewati masa iddah). Ketetapan ini berdasarkan ijma’, sebagaimana menurut Imam Syafi’i dan lainnya. Dan adapun “perceraian” yang dimaksud di sini adalah pasakh bukan talak”


Dalam al-Muhazzab, juz II halaman 73 dijelaskan :

والفرقة الواقعة بإختلاف الدين فسخ لأنها فرقة عريت عن لفظ الطلاق ونيته فكانت فسخا كسائر الفسوخ

“Perceraian yang terjadi karena perbedaan agama termasuk fasakh, karena perceraian itu bebas dari (tidak terjadi karena) lafadz talak dan juga tidak diniatkan (tetapi dipisahkan oleh hakim karena alasan hukum/agama). Oleh karena perceraian sebab perbedaan agama termasuk pasakh, maka berlaku ketentuan dan hukum fasakh”




26. Nikah diluar Islam dan implikasi hukum setelah masuk Islam

Ijma’ ulama menetapkan bahwa pernikahan yang terjadi sebelum suami istri (keluarga) masuk Islam tetap sah dan tidak perlu ditajdid setelah memeluk agama Islam. Dalam kitab Syarqawi ala al-Thahrir jilid II halaman 257 diterangkan :

وإن أسلم قبل الدخول أو بعده معا والعية بأخر اللفظ دام النكاح بينهما للإجماع كما حكاه إبن المنذر وغيره.

“Dan apabila suami-istri masuk Islam secara bersamaan, baik sebelum bercampur atau setelahnya, maka tetap nikahnya (tidak perlu tajdid) berdasarkan ijma’, sebagaimana riwayat (pendapat) Ibnu Munzir dan lainya”


Dalam al-Muhazzab, juz II halaman 73 dijelaskan :


روي عبد الله بن شبرمة : كان الناس كانوا على عهد رسول الله صل الله عليه وسلم يسلم الرجل قبل المرأة والمرأة قبل الرجل فأيهما أسلم قبل انقضاء عدة المرأة فهي إمرئه

“Abdullah bin Syibramah meriwayatkan, bahwa pada zaman Rasulullah Saw. orang-orang (suami istri) masuk Islam, adalah si laki-laki (suami) masuk Islam sebelum wanita (istrinya) dan si wanita (istri) masuk Islam sebelum laki-laki (suaminya), masing-masing keduanya memeluk Islam sebelum habis hitungan masa iddah istrinya (melewati waktu sekira masa iddah), maka mereka tetap suami istri (tidak jatuh talak/pasakh)”


Dalam kitab Mughni al-Muhtaj jilid IV halaman 320 :


روي الشافعي رضي الله تعالى عنه : أن صفوان إبن أمية وعكرمة بن أبي جهل وحكيم بن حزامة أسلمت زوجة كل منهم قبله ثم أسلم بعدها بنحو شهر واستقروا على النكاح


“Imam Syafi’i ra. meriwayatkan bahwa Shafwan bin Umayyah, ‘Akramah bin Abi Jahal dan Hakim bin Hazam, adalah istri masing-maisng dari mereka masuk Islam sebelum mereka, lalu mereka menyusul masuk Islam kira-kira sebulan kemudian, dan mereka tetap dalam ikatan pernikahan (tidak jatuh talak/fasakh)”







BAB III
PENUTUP


A. SIMPULAN

1). Jika ditarik benang merah historis, genealogi paradigma pemikiran hukum Islam mulai terbentuk pada masa shahabat, yang terdistingsi menjadi dua kecendrungan, yakni pertama, alhlul hadits (mazhab haditsi) yang berpusat di Hijaz, adalah kecendrungan berfikir dengan bersandarkan pada wahyu atau teks-teks agama, lebih mendahulukan naql (teks) dari pada aql (konteks). Kedua, ahlul ra’yu (mazhab ra’yi) yang berpusat di Irak, merupakan kebalikan dari pertama, yakni mendahulukan penalaran logis dengan mencari relevansi realitas sambil mengaitkan dengan maksud teks. Dua kecederungan tersebut berlanjut pada masa tabi’in, tabi’it tabi’in, hingga masa kodifikasi hukum (era imam mazhab). Bahkan kecendrungan itu tampak pada state of maind umat Islam dewasa ini. Dari dua model, corak dan tipologi pemikiran umat Islam tersebut adalah yang pertama (corak berfikir secara tekstual) masih mendominasi maind set mayoritas ulama dan kaum cendikia. Hal itu dipengaruhi oleh prototife pemikiran tiga tokoh besar, yakni Imam Syafi’i, Imam Asy’ari dan Al-Ghazali, dimana ketiganya lebih bercorak hadisi daripada ra’yi (an-naqlu muqaddamun ala al-aql). Hanafi dan Maliki bercorak empiris pragmatis, karena gagasan-gagasan hukumnya didasarkan pada pertimbangan tradisi lokal, sementara Syafi’i dan Hambali bercorak idealis, karena cara berfikirnya lebih didasarkan pada aide-ide yang berasal dari al-Qur’an dan al-Sunnah, lebih banyak memperhatikan teks dari pada mempertimbangkan konteks. Kendati demikian, dari ke-empat imam mazhab tersebut, ada kesamaan dan perbedaan dalam beristinbhat, yaitu; (1) Mereka sama dalam memposisikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber dan rujukan hukum paling utama, meskipun dalam menyikapi As-sunnah (terutama hadits dha’if) masih diperselisihkan diantara ke-empat imam mazhab, yaitu; pertama, Imam Hanafi dan Imam Syafi’iy tidak memperbolehkan. Hanafi lebih cenderung menggunakan ijma’ dan qiyas, sementara Syafi’i memperbolehkan pada masalah “fadhaailul amal”; kedua Imam Hambali, boleh. Asalkan jangan terlalu kedhaifannya, demikian juga menurut Maliki, boleh, bila tidak bertentangan dengan amalan Ahlul Madinah; (2) Mengenai selain al-Qur’an dan al-Sunnah, dalam menentukan sumber hukum. Imam Hanafi memakai ijma’ shahabat, qiyas dan istihsan. Imam Maliki menggunakan amalan Ahlul Madinah, qiyas dan mashlahah mursalah. Imam Syafi’i memakai ijma’ para mujtahidin dan qiyas. Imam Hambali menggunakan ijma’ shahabat dan qiyas.

2). Realitas nalar fikih di Indonesia, masih didominasi oleh fikih Syafi’iyah, tak terkecuali pemikiran fikih munakahat. Aturan-aturan menyangkut pernikahan, baik Undang-undang No. 1 tahun 1974, maupun Kompilasi Hukum Islam, hampir 80 % dihegemoni oleh pemikiran model Syafi’iyyah. Pemikiran mazhab lain dipakai sejauh masalah yang dikaji tidak dikupas dalam terma Syafi’iyah, terutama dalam mencandra persoalan-persoalan diniyah waqi’iyyah maupun masalah-masalah yang bersentuhan langsung dengan mashlahah ammah (kepentingan umum). Diperlukan sperangkat pemahaman yang komprehensif dan kemampuan metodologis untuk menangkap maksud dan tujuan syari’ah (maqashidus syar’i) terutama yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, guna menjawab berbagai persoalan kontemporer. Karena itu, Cara terbaik untuk memahami ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah adalah dengan sistem bermazhab. Bermazhab itu ada dua, yaitu bermazahab secara qouly dan secara manhaji. Secara umum dalam memecahkan persoalan hukum di bidang munakahat, masih berpatokan pada cara berpikir menurut mazhab qauli. Bagi orang awam dianjurkan untuk bermazhab secara qauli, sedangakan bagi ulama yang telah memenuhi kualifikasi sebagai mujtahid mutlak dipersilahkan untuk bermazhab secara manhaji. Bermazhab secara manhaji dilakukan secara kolektif (istinbat jama’i) setelah dalam masalah yang dibahas tidak ditemukan aqwal (pendapat) dari mazhab empat. Jika terdapat aqwal namun masih mukhtalaf fiha, maka ditempuh taqrir jama’i (penyelesaian pendapat secara kolektif). Bermazhab secara manhaji maupun qauli dilakukan dalam bingkai al-mazahib al-arba’ah. Munculnya gagasan bermazhab secara manhaji, didasarkan pada paradigma; Pertama, para ulama menyadari bahwa hukum Islam yang terabstraksikan dalam kitab-kitab fikih lebih merupakan produk sejarah yang dalam batas-batas tertentu diletakkan sebagai justifikasi terhadap tuntutan perubahan sosial, budaya dan politik. Oleh karena itu, dalam konteks ini hukum Islam dituntut lebih akomodatif terhadap persoalan-persoalan umat tampa harus kehilangan prinsip-prinsip dasarnya. Fakta empiris berupa perbedaan pendapat diantara ulama yang tertuang dalam kitab-kitab syarah, hasyiyah dan ta’liqat, baik yang berbentuk kritik, penolakan (radd) maupun perlawanan merupakan indikasi kuat bahwa latar belakang sosio-budaya dan sosio-politik sangat mempengaruhi bagaimana keputusan hukum difatwakan. Para ulama harus berani melakukan “ijtihad” dalam rangka memecahkan persoalan baru yang sering muncul, agar hukum Islam tidak kehilangan elan vital dan aktualisasinya. Sebab apabila hukum Islam tidak kontekstual dalam arti tidak mampu memberikan jawaban yang memuaskan, akan secara perlahan-lahan ditinggal umat Islam. Kedua, rumusan fikih yang dikonstruksi ratusan tahun yang lalu jelas tidak lagi memadai untuk menjawab persoalan yang terjadi saat ini. Hal tersebut disebabkan karena fikih yang selama ini berkembang dan beredar di Indonesia sarat dengan fikih Hijah, Mesir ataupun India. Sebagai contoh, Kitab I’anatutthalibin syarah dari Kitab Fathul Mu’in, dikarang oleh ulama dari India. Sehingga sangat logis jika banyak dari produk-produk hukumnya tersebut tidak maching dengan kondisi obyektif di Indonesia. Kalaupun dipaksakan, maka akan terjadi banyak masalah-masalah yang tidak ditemukan jawabannya (mauquf). Dan ini, sangat dihindari oleh ulama. Sehingga perlu rumusan “fikih baru” yang dapat mengakomodir semua persoalan yang terus bermunculan.

3). Dalam kajian substansi hukum munakahat terhadap 25 (dua puluh lima) topik bahasan dalam bahsul masail ini, menggunakan dua model pendekatan dalam kajian hukum, yaitu pendekatan qauli dan pendekatan manhaji. Pendekatan qauli adalah metode analisa hukum dengan mengambil jawaban langsung pada teks-teks kitab kuning. Kajian hukum menggunakan pendekatan qauli mengikuti ketentuan; pertama, mengambil pendapat yang lebih maslahat dan atau yang lebih kuat; kedua sedapat mungkin dengan merujuk pemikiran hukum secara berurutan dengan memilih; pendapat yang disepakati oleh al-Syaikhani (al-Nawawi dan al-Rafi’i); jika tidak ada, mengambil pendapat yang dipegangi al-Nawawi saja; atau pendapat yang dipegang al-Rafi’i saja. Lalu, pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama’; atau pendapat ulama’ yang terpandai; atau pendapat ulama’ yang paling wira’i. Di dalam menentukan status hukum persoalan yang dihadapi, pendekatan qauli menggunakan langkah-langkah sebagai berikut; pertama, dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan di sana hanya terdapat satu qaul/wajh, maka dipakailah qaul/wajh itu sebagaimana diterangkan dalam ibarat kitab tersebut. Kedua, dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan di sana ternyata terdapat lebih dari satu qaul/wajh, maka dilakukan taqrir jama’i untuk memilih satu qaul/wajh. Adapun topik permasalahan yang menggunakan pendekatan qauli ini adalah :
• Kewilayahan Wali Hakim
• Wali Hakim Presiden Wanita
• Tasharruf wali nikah prempuan pada lelaki yang akan menjadi suaminya
• Wali nikah anak wathi’ subhat
• Wali berwakil hadir dalam majelis akad
• Nikah mahar muqoddam
• Suami mengaku tidak beristri
• Wali anak zina perempuan yang ‘iddahnya kurang dari empat tahun
• Menikahi janda yang tidak haid lagi sebelum menopaus
• Menikahi anak tiri
• Imro’atul mafqud
• Nikah dua wali
• Nikah tahlil dengan aqad talaq ba’da dukhul
• Nikah Muaqqit
• Nikah dipaksa sebab zina
• Nikah wanita hamil dengan lelaki yang bukan menghamilinya
• Pernikahan imro’ah wuludul ‘am dengan ayah biologisnya
• Rumah tangga beda agama
• Nikah diluar Islam dan implikasi hukum setelah masuk Islam

Sedangkan pendekatan manhaji digunakan apabila tidak ditemukan jawaban dan penjelasan terhadap masalah-masalah hukum di kitab-kitab kuning. Metode ini memakai teknik telaahan hukum dengan berbasiskan pada penalaran (ra’yu) menggunakan rumusan-rumusan ushul fiqh dan qawaidul fiqh. Metode analisis dengan pendekatan manhaji memakai teknik; pertama, ilhaq al-masail bi nazaairiha, yaitu mengaitkan penalarannya dengan masalah yang sepadan secara jama’i oleh para ahlinya. Hal ini dilakukan bila mana tidak ada qaul/wajh sama sekali yang memberikan penyelesaian. Kedua, Istimbat jama’i dengan prosedur bermazhab manhaji oleh para ahlinya, dipergunakan manakala tidak ada qaul/wajh sama sekali dan tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka harus dilakukan telaahan hukum melalui “ijtihad”. Penerapan metode ilhaq dan metode manhaj harus dibarengi atau dilandasi oleh keberanian moral untuk melakukan i’adatun nazar (penafsiran ulang) terhadap teks-teks kitab kuning. Adapun topik-topik yang dikaji dengan pendekatan manhaji ini adalah masalah seputar :
• Ijab dan Qabul pada nikah, thalaq dan ruju’ jarak jauh melalui HP, SMS, telephon. Internet, dan teleconference.
• Taukil wali jarak jauh via alat komunikasi
• Wali nikah anak titipan dalam rahim perempuan lain
• Wali nikah bayi tabung dan nasabnya
• Penentuan wali nasab berdasarkan tes DNA
• Nikah berganti kelamin
• Suami istri memiliki anak hasil bayi tabung (tidak pernah berhubungan badan) apakah talaknya beriddah ?


B. Rekomendasi

a) Realitas pemikiran hukum Islam yang terabstraksikan dalam kitab-kitab fikih, baik yang bersifat idealis-teoritis, maupun yang bercorak paktis pragmatis, senantiasa berdialog dengan dimensi ruang dan waktu, berinteraksi dengan realitas sejarah. Karenanya, ia lebih merupakan produk sejarah sebagai respon terhadap tuntutan perubahan sosial, budaya dan politik ketika itu, bahkan dalam batas-batas tertentu diletakkan sebagai legitimasi kehendak rekayasa sosial dari penguasa. Munculnya persoalan baru dalam berbagai aspek kehidupan umat sebagai akibat modernisasi dan globalisasi, tentu belum teragendakan dalam diskursus kitab-kitab fikih. Rumusan fikih yang dikonstruksi ratusan tahun yang lalu jelas tidak lagi memadai untuk menjawab persoalan yang terjadi saat ini. Oleh karena itu, sangat mendesak kiranya untuk segera dilakukan reinterpretasi atau tafsir ulang terhadap teks-teks kitab kuning agar lebih akomodatif terhadap persoalan-persoalan umat tampa harus kehilangan prinsip-prinsip dasarnya, sehingga hukum Islam tidak kehilangan aktualisasi dan elan vitalnya. Mengadakan kajian kritis terhadap kitab kuning, hendaknya mengikuti prosedur sebagai berikut; Pertama, teks kitab harus dipahami secara sesuai dengan konteks sosial historisnya. Kedua, perlu dikembangkan kemampuan observasi dan analisa terhadap teks kitab. Ketiga, perlu dilaksanakan studi konvaratif (muqabalah) mengenai masalah-masalah yang mukhtalaf ‘anhu (debatable) dengan kitab lain. Keempat, perlu dilakukan kajian lintas disiplin ilmu terkait dengan materi yang tercantum dalam kitab. Kelima, menghadapkan kajian teks kitab klasik dengan wacana aktual dan bahasa yang komunikatif.

b) Bahsul masail kali ini, khususnya kajian subtasi hukum munakahat, selain merumuskan jawaban hukum terhadap persoalan baru yang belum terabstraksikan dalam kitab-kitab kuning, juga penegasan hukum terhadap masalah-masalah lama yang masih aktual. Disamping itu, dalam bahsul masail ini, juga dilakukan pengembangan wawasan berfikir kitab kuning melalui pendekatan analisis diskursus dan studi kritis. Terhadap apa yang sudah dihasilkan dalam bahsul masail ini, kaitan dengan munakahat, bukan merupakan produk dari sebuah jawaban final, ia masih terbuka ruang untuk dikritisi dan didialogkan, terutama dengan berbagai disiplin ilmu lain. Selain masih memerlukan pengayaan referensi. Selanjutnya, kajian ini perlu ditelaah dan dibahas secara elaboratif dalam forum-forum diniah dan ilmiah yang lebih besar dengan melibatkan para tuan guru, ulama, cendekia, kalangan akademisi dan para ahli dari berbagai disiplin ilmu agar tercapai konstruk pemikiran hukum Islam yang lebih akomodatif dan konperehensif. Wallahu a’lamu. Selamat mengkaji !!!






Lampiran : 1


STRUKTUR PERSONALIA
FORUM KOMUNIKASI KEPALA KUA (K-3)
KABUPATEN LOMBOK BARAT

Pelindung/Pembina : Drs. H. Muslim, M.Ag
(Kepala Kantor Dep. Agama Kab. Lombok Barat)
Penasehat : Drs. H. Burhanul Islam (Kasubag TU)
M. Abu Arif Aini, S.Ag, M.Pd (Kasi Urais) Ex. Oppicio
Konsideran : Ust. Lutfi (Kep. KUA Kec. Gunung Sari)
H. Lalu Sahwan (Kep. KUA Kec. Gerung)

Ketua : M. Abu Arif Aini, S.Ag, M.Pd (Kasi Urais)
Sekretaris : Khalilurrahman, S.Ag, M.Ag (Kep. KUA Kec. Narmada)
Bendahara : Hambali, S.Ag (Kep. KUA Kec. Kediri)

Anggota-Anggota : 1. Drs. H. Djuaini, SH, M.Pd (Kep. KUA Kec. Sekotong)
2. Drs. H. Lalu Mustakim (Kep. KUA Kec. Kuripan)
3. Ikbaluddin, S.Ag (Kep. KUA Kec. Labuapi)
4. Isnarto Mardainingrat, S.Ag (Kep. KUA Kec. Lingsar)
5. H. Mujtahidin, Lc. (Kep. KUA Kec. Batu Layar)
6. Amal Tajalli, SH. (Kep. KUA Kec. Pemenang)
7. Drs. Selamet Bastomi (Kep. KUA Kec. Tanjung)
8. Sadikin, SH (Kep. KUA Kec. Gangga)
9. L.M. Sidik, S.Ag (Kep. KUA Kec. Kayangan)
10. Ahmudin, S.Sos. (Kep. KUA Kec. Bayan)
11. Baehaki, S.Ag (Kep. KUA Kec. Lembar)